Jack Ma: Kami Ingin Menjadi Nomor Satu!

 
Jack Ma: Kami Ingin Menjadi Nomor Satu!

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Apa yang Tidak Mungkin Bagi Jack Ma dan Alibaba? Bagaimana Jack Ma bisa melakukan itu semua? Padahal jika melihat masa lalunya, Ma bukan hanya tak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman bisnis sama sekali. Pada usia 35 tahun, yang Ma punya hanya sebuah situs web China, di Kota Hangzhou.

Kedua orangtua Jack Ma adalah seniman pingtan: pendongeng kisah-kisah tradisional menggunakan kombinasi narasi dan lagu. Perjuangan terberat seorang Ma muda kala itu adalah mencari cara agar bisa masuk universitas dan mengenyam pendidikan formal di bangku kuliah.

Setelah akhirnya berhasil mendapatkan tempat di Hangzhou Teachers’ Institute, ia lulus dari jurusan Bahsa Inggris pada 1988. Di pertengahan 1990-an, setelah beberapa kali mengajar Bahasa Inggris dan berbagai pekerjaan sampingan lainnya, ia dipertemukan dengan profesi sebagai penerjemah. Tahun 1995, dalam sebuah perjalanan ke Seattle untuk menjadi penerjemah bagi delgasi tim perdagangan China, Jack Ma “berkenalan” dengan internet untuk pertama kalinya.

Jaringan internet baru ditemukan tiga tahun sebelumnya dan Google belum ada. Web mesin pencari (search engine) terbatas hanya dapat menampilkan judul dan headline sebuah informasi, tidak teks penuh dari halaman web yang dituju. Ma lantas “iseng” mencari tahu tentang negaranya, China, melalui internet. Ia tidak menemukan apapun.

Merasakan adanya suatu peluang, Ma meminjam uang sebesar 2.000 dollar atau Rp27 juta dan membuat Laman China, situs web yang berisi informasi bisnis. Situs web tersebut menuliskan cukup detail daftar perusahaan-perusahaan China yang berminat mencari pembeli dari luar negeri.

Beberapa waktu kemudian, ketika total pengguna internet di China masih kurang dari satu juga orang, bisnis ini hanya menarik minat sedikit orang. Tak heran jika lantas bisnis ini tutup di tahun keduanya.

Namun, setidaknya, Ma sudah cukup tahu ke mana ia akan melangkah. Awal tahun 1999, ia mengumpulkan 18 orang di apartemennya di Hangzhou. Kepada mereka, Ma mempresentasikan gagasannya mengenai bisnis e-commerce yang aan emnggunakan internet guna menghubungkan perusahaan-perusahaan manufaktur di China, khususnya pabrik-pabrik kecil, dengan potensi pembeli di seluruh dunia.

Ma, dengan menggunakan kemampuan legendarisnya berhasil meyakinkan 18 orang tersebut untuk mendukung rencananya. Dari mereka, Ma berhasil mengumpulkan 60.000 dollar atau Rp810 juta, sebagai komitmen kerja sama. Semua ia lakukan hanya dalma diskusi berdurasi dua jam. Pada saat itulah, Alibaba lahir.

Segera setelah itu, ia semakin giat menceritakan gagasannya kepada lebih banyak orang. “Kami tidak mau menjadi nomor satu di China. Kami ingin menjadi nomor satu di dunia,” tutur Ma kepada surat kabar Hong Kong, South China Morning Post, beberapa bulan kemudian saat jumlah pegawainya masih kurang dari 20 orang.

Dalam waktu satu tahun, Ma sudah mengumpulkan segala sumber daya dan dukungan krusial yang ia butuhkan untuk menjalani bisnis. Pertama, ia mengajak rekannya Joe Tsai, pengacara asal Taiwan dengan segudang pengalaman seputar investasi untuk bergabung dalam direksi. Lantas, dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki Tsai, Ma memersuasi Goldman Sach untuk membeli 23% saham perusahaannya dengan nilai 5 juta dollar (sekitar Rp67,5 miliar) dan Japan Softbank untuk membeli saham 31% senilai 20 juta dollar atau sekitar 270 miliar.

Dari situ Alibaba punya cukup uang untuk menghadapi periode berat yang datang saat mengawali bisnis dotcom. Dengan bergabungnya China dalam WTO di akhir 2001, Ma melihat Alibaba semakin gemilang. Sebab semakin banyak pembeli potensial dari banyak negara yang mulai mencari produk-produk berkualitas bagus dari China.

Akhir tahun 2007, empat tahun setelah Taobao diluncurkan dan Alipay mulai berjalan, Ma berhasil memasukkan Alibaba.com di pasar Hong Kong dengan modal 1,5 dollar miliar atau Rp20,3 triliun, dan dalam waktu singkat menjadi sebuah perusahaan dengan nilai 26 miliar dolar atau Rp351 triliun.

Keberuntungan ini sempat merosot seiring dengan resesi ekonomi yang terjadi di seluruh negar di dunia, yang kemudian diikuti pula dengan krisis global. Sejak saat itu, Alibaba menggeser konsentrasi bisnisnya, dari B2B menjadi e-commerce yang berorientasi pada konsumen. Begitu eBay berhasil ditaklukkan, grup Alibaba menguatkan bisnis yang dijalankan Taobao, Tmall, serta rangkaian bisnis e-commerce yang lebih kecil lainnya.

Keuntungan yang berlimpah pertama kali dirasakan grup Alibaba di tahun 2009. Pendapatan pun semakin mengalir deras di tahun-tahun berikutnya. Dengan prakiraan pasar e-commerce China yang akan bertambah lima kali lipat menjadi senilai 10 triliun Yuan atau sekitar 1,63 triliun atau sekitar Rp22.000 triliun di tahun 2020, maka bisa dipastikan pula pendapatan dan keuntungan grup Alibaba akan meningkat berkali-kali lipat pula.


Sumber: Edward Tse. China’s Disruptors; Bagaimana Alibaba, Xiaomi, Tencent, dan Perusahaan Lain Mengubah Aturan Bisnis, penj. Vela Andapita. Jakarta: PT Gramedia, 2018.