Sebuah Pesan Kehidupan

 
Sebuah Pesan Kehidupan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Manusia adalah makhluk wujud yang dulu tidak ada, dan sekarang ada. Dan perlu ditekankan dalam memahami hal itu bahwa penyebab suatu keadaan terjadi bukanlah karena manusia, melainkan sebab-sebab terjadinya suatu kejadian di muka bumi ialah karena Allah.

Dalam sebuah pengajian Gus Baha pernah menerangakan, bahwa gambaran Fir’aun itu adalah orang yang pakai status sebagaimana yang diajarkan oleh Allah kepada kita. Fir’aun itu adalah makhluk yang sekarang ada, tapi sebelumnya dia itu tidak ada. Padahal sebelum ada Fir’aun sudah ada bumi, ada langit, dan ada matahari. Sebelum ada Yesus sudah ada bumi, ada matahari.

Dari hal tersebut, kemudian kita menemukan sebuah kenyataan bahwa penciptaan langit dan bumi itu bukanlah karena penyebabnya Fir’aun. Tidak sama sekali. Kenapa demikian? Karena dia ada setelah adanya langit dan bumi, begitu juga dengan Yesus, begitu juga dengan semuanya. Maka pemahaman yang demikian ini perlu untuk disampaikan secara massif agar umat Islam tercerahkan.

Saat ini banyak orang hidup dengan kondisi yang sama, namun merasakan situasi yang berbeda. Sebut saja, misalnya ketika zaman Pilpres 2019, banyak orang yang sudah kaya sebelum Pak Jokowi jadi presiden, begitu juga sebelum Pak SBY jadi presiden, atau sebelum Pak Soekarno jadi presiden dan seterusnya. Begitu juga dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian orang. Namun manusia sering kali lupa bahwa yang memberikan kekayaan dan yang memiskinkan mereka itu tidak lain adalah Allah, bukan situasi yang sedang dirasakan saat itu.

Demikianlah, sebagaimana ada sebuah penegasan di dalam Al-Qur'an:

وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى وَاَنَّهٗ هُوَ اَمَاتَ وَاَحْيَاۙ وَاَنَّهٗ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْاُنْثٰىۙ

“Bahwa sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). Bahwa sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis. Bahwa sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. Bahwa sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan.” (QS. An-Najm: 42-45)

Jadi keadaan miskin itu tidak lain adalah karena kehendak Allah, begitu pula dengan keadaan kaya, tentu juga karena kehendak Allah. Semuanya itu karena kehendak Allah. Tapi dalam konteks modern ini, kita sering terjebak oleh hukum modern kalau pemimpinnya ini dan begini atau begitu, maka akan sejahtera rakyatnya, padahal konsep yang benar tidaklah demikian. 

Situasi modern saat ini juga membuat manusia lebih mudah merasakan takutnya kematian, padahal kematian adalah kenikmatan yang harusnya perlu disyukuri, sebab dengan begitu kita dapat segera bertemu dengan Allah.

“Artinya gini, yasudah ya Allah ketika saya hidup tidak tahu kenapa saya hidup pasti engkau yang menghidupkan, ketika saya mati tidak tahu kenapa saya mati pasti emgkau yang menghidupkan dan mematikan. Maka saya akan baik-baik saja di akhirat, karena ketika saya di dunia Tuhannya Engkau, di akhirat pun Tuhannya Engkau dan sifat Engkau tidak berubah tetap arrahmun nur rahimin,” tegas Gus Baha dalam sebuah pengajiannya.

Oleh karena itu, dulu ketika para wali itu hendak meninggal, mereka tetap dalam keadaan senang. Mereka benar-benar memahami bahwa di dunia ini milik Allah, begitu pula di akhirat, tentu juga milik Allah. Inilah yang tergambar dari penegasan dalam doa berikut; "Inna sholati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Robbil 'alamin," (Sungguh shalatku dan segala ibadahku, dan hidup serta matiku tidak lain adalah karena Tuhan Alam Semesta).

Mengubah mindset tentang hal itu memang sangatlah perlu. Sebab dengan begitu kita dapat melihat kematian sebagai sesuatu yang biasa saja, bukan hal yang menakutkan. Memberikan status kepada diri sendiri “wa mamati lillahi Robbil 'alamin” mungkin akan lebih baik daripada mengatakan, kehidupan adalah momen untuk mencari kesejahteraan, kehidupan adalah momen untuk mencari karir, dan lain sebagainya.

Apalagi di zaman sekarang, terkadang ketika kita mendengar kritikan atau celaan orang lain terbesit pikiran, “kok sengsara sekali,” padahal jika dipahami lebih jauh hal tersebut adalah kesalahan besar.

Alkisah Imam Syafi'i pernah mendapat seorang teman yang munafik. Ketika di depan beliau orang itu terlihat sangat baik, namun ketika sudah di luar orang itu malah menjelek-jelekkan Imam Syafi'i.

Suatu saat datanglah muridnya yang mengadukan hal tersebut, “Wahai Imam Syafi'i, orang yang memuji-muji Anda itu kalau di luar, ternyata memaki-maki anda.”

Mendengar hal itu, justru Imam Syafii malah tertawa senang sekali. Hal ini membuat muridnya terheran. Lalu Imam Syafi'i menjawab, “Berarti saya kan berwibawa, karena di depanku dia tidak berani menjelek-jelekkanku.”

Saat itu sang murid membantah, “tapi itu kan bahaya bagi Anda, karena orang itu memfitnah Anda begini dan begitu.”

Akhirnya Imam Syafii menjawab dengan penjelasan argumentatif, “Ketahuilah bahwa yang kritiknya bahaya itu adalah kritiknya Allah SWT. Kalau yang selain-Nya, itu tidak berbahaya. Karena selain Allah itu adalah makhluk, dan itu tentu dha'if dan tidak penting. Jika kamu sampai tersiksa akibat dikritik orang, itu karena kamu menganggap makhluk itu penting, ini bodohnya kamu.” []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 02 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim