Kesabaran, Hakikat Kesadaran Dalam Musibah

 
Kesabaran, Hakikat Kesadaran Dalam Musibah
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Dari seorang ulama besar tabi'in, Abu Zurarah Mush'ab bin Sa'ad bin Abi Waqash, Az Zuhriy Al Madaniy atau Mush’ab bin Sa’id Radhiyallahu Anhu (wafat 103 H / 721 M di Kufah Irak) dari ayahnya (Abu Ishaq Farisul Islam Sa'ad bin Abi Waqash Malik bin Uhaib bin 'Abdu Manaf bin Zuhrah Az -Zuhriy Al-Qurasyiy Radhiyallahu Anhu, wafat 55 H / 674 M di Madinah) ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, Imam Ad Darimi dan Imam Ahmad bin Hambal rahimahumullah)

Setiap orang pasti mengalami ujian dalam hidupnya. Inilah sunnatullah faktualitas ujian hidup, dengan aneka ragam bentuk dan jenisnya. Kesadaran sebagai insan yang beriman, pasti akan bisa memahami bahwa semua ujian apapun yang ada, yang datang kepada mereka adalah takdir Allah subhanahu wa ta'ala. Di balik ragam cobaan tersebut, kadang ada yang kalah, dengan banyak mengeluh dan menyalahkan keadaan, kadang pula dapat meninggikan derajat seorang muslim di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Bahkan mengedepankan sikap husnudhon bahwa di balik cobaan tersebut, ada tanda-tanda bahwa Allah subhanahu wa ta'ala semakin menyayangi dirinya dan memilih dirinya, agar menjadi hamba yang berkualitas 'indallah.

Ada maqalah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (17 Maret 599 M, Ka'bah, Mekkah - 29 Januari 661 M, Grand Mosque of Kufa, Kufah, Irak) mengatakan:

الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.

“Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.” (Termaktub dalam kitab Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis karya Hafidhul Maghrib Al-Imam Al-Alim Al-Faqih Al-Muhaddits Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul-Barr al-Namari al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki atau Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah, 29 November 978 M - 2 Desember 1071 M Spanyol)

Bagi orang yang beriman, seringkali dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta'ala, karena orang yang beriman mudah melakukan perintah dan menjauhi larangan. Semakin tinggi kualitas imannya, maka akan semakin berat pula tingkatan ujiannya. Tetapi, ujian terberat yang dihadapi, pasti akan dibalas dengan pahala yang besar pula. Untuk mencapai kuantitas "ganjaran" tersebut, ada kesadaran laku yang diimplementasikan dengan modal pengorbanan dan kesabaran. Sehingga, kewajiban kita adalah bersabar, bersabar dan bersabar, sambil meningkatkan ibadah sholatnya. Perilaku sabar tersebut, menurut hakikat kesadaran, merupakan tanda keimanan, kesempurnaan tauhidnya dan yaqinan billah.

Ada suatu hadits riwayat dari Sahabat Anas bin Malik bin an-Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundab bin 'Amir bin Ghanm bin 'Adi bin Malik bin Taimullah bin Tsa'labah bin 'Amr bin al-Khazraj atau Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu (612 M, Madinah - 709 M, Basra, Irak), Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini Asy-Syafi'i atau Imam Ibnu Majah rahimahullah, wafat 19 Februari 887 M, Qazvin Iran)

Kesadaran muncul, jika kita sangat memahami kandungan hikmah adanya ujian demi ujian, maka hanya ada satu jalur kemaslahatan, yaitu laku sabar dan terus bersabar, itu solusinya berjangka panjang ilaa yaumil qiyamah. Ingatlah janji Allah subhanahu wa ta'ala dalam Al-Qur'an:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10)

Dalam kitab Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim atau Tafsir Ibnu Katsir, karya Imaduddin Abu Al-Fida Al-Hafizh Al-Muhaddits Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat 18 Februari 1373 M Damaskus, Suriah), ada beberapa maqalah ulama besar tentang ganjaran orang sabar, sebagai berikut:

1. Syaikhul Islam Al-Alim Al-Allamah Abdurrahman bin Amr bin Yahya Al-Auza’i atau Imam Al Auza’i rahimahullah (707 M, Damaskus, Suriah - 774 M, Beirut, Libanon), mengatakan bahwa ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang.

2. Imam Allamah al-Hafidz Abu Halid Abul Walid Abdul Malik ibnu ʿAbdul Aziz ibnu Jurayj al-Qursy al-Umawi Maulahum al-Makki atau Maula Umayyah bin Khalid atau Imam Ibnu Juraij rahimahullah (80 - 150 H / 699 - 768 M Makkah, usia 70 tahun), mengatakan bahwa pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi ia akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga.

3. Sedangkan Ismail bin Musa al-Fazari as-Suddi Al-Kufi atau Imam As-Suddi rahimahullah (wafat 145 H / 762 M di Kufah), mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.

Dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, karya Al-Hafidh Al-Imam Syaikhul Islam Amirul Mukminin Fi Hadits Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar al-Kinani al-‘Asqalani al-Mishri asy-Syafi’i atau Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah (18 Februari 1372 M - 2 Februari 1449 M Kairo, Mesir), riwayat dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ عليه الصلاة والسلام: {الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى}.

“Yang namanya sabar, seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah). Inilah hakikat waktu dimulainya sikap sabar yang sebenarnya, bukan ketika kita mengeluh lebih dulu, di awal kedatangan musibah.

Ummahatul Mukminin Sayyidah Ummu Salamah (Hindun binti Abi Umayyah Al-Makhzumiyyah) Radhiyallahu Anha (596 - 680 M, Jannatul Baqi' Madinah), salah satu istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah, lalu ia mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa (Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik), maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.’ Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi Asy-Syafi'i atau Imam Muslim rahimahullah, wafat 5 Mei 875 M, Naisabur, Iran)

Do’a yang disebutkan dalam hadits di atas semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih baik.

"Terkena musibah itu berat, tetapi lebih berat dari itu adalah kehilangan ganjaran (pahala)" (Dawuh KH. Marzuqi Mustamar @ngaos_abah)

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kita semua, taufik dan hidayah-Nya, untuk selalu ridho dengan takdir Allah subhanahu wa ta'ala meskipun yang kita rasa pahit. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala, senantiasa tiada henti memberikan kita kemudahan untuk bersabar di awal-awal datangnya musibah, walaupun itu mungkin terasa berat dihadapi. Jika seseorang mengaku beriman, pasti memiliki keyakinan yang mantap pada Allah subhanahu wa ta'ala dan sangat meyakini adanya ruang besar hikmah di balik setiap musibah dan ujian, dan selalu istiqomah memilih jalan kesabaran.

 رَبَّنا أَفْرِغْ عَلَينا صَبْرًا وثَبِّتْ أَقْدَامنا

“Ya Tuhan kami, berikanlah kesabaran dalam diri kami. dan berikanlah kami pendirian yang kokoh.”

Semoga bermanfaat.

Oleh: Al-Faqir Gus Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama'ah Sarinyala Kabupaten Gresik


Editor: Daniel Simatupang