Gus Nadir: Problem Kita Saat ini Bukanlah Soal Teks Keagamaan, tapi Soal Kemanusiaan

 
Gus Nadir: Problem Kita Saat ini Bukanlah Soal Teks Keagamaan, tapi Soal Kemanusiaan
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Habib Ali al-Jufri menulis buku berjudul "al-Insaniyyah qabla at-tadayyun" atau "Kemanusiaan mendahului sikap religius". Perlu digarisbawahi bahwa beliau menyebut al-insaniyyah qobla at-tadayyun, bukan qobla ad-din. Jadi yang dimaksud adalah bukan kemanusiaan mendahului agama, tetapi sikap religius. Sebab bagi beliau agama itu nomor satu.

Namun beliau hendak memisahkan antara agama dengan pandangan dan sikap keberagamaan. Religion dan religiosity itu dua hal yang terkait tapi tetap harus dibedakan.

Dalil dan pandangan beliau tentang ini didasarkan pada hadits Nabi SAW dalam musnad Ahmad, Hadis Nomor 16402. Berikut kutipan ringkasnya dari buku beliau:

‎١٦٤٠٢ - حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ الدِّمَشْقِيِّ وَعَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُمَا سَمِعَا أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ فَتَلَطَّفْتُ لَهُ حَتَّى دَخَلْتُ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْتَ فَقَالَ نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَقُلْتُ وَمَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْتُ بِمَاذَا أَرْسَلَكَ فَقَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ وَتُحْقَنَ الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ قُلْتُ نِعْمَ مَا أَرْسَلَكَ بِهِ وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُكَ أَفَأَمْكُثُ مَعَكَ أَمْ مَا تَرَى فَقَالَ قَدْ تَرَى كَرَاهَةَ النَّاسِ لِمَا جِئْتُ بِهِ فَامْكُثْ فِي أَهْلِكَ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِي قَدْ خَرَجْتُ مَخْرَجِي فَأْتِنِي فَذَكَرَ الْحَدِيثَ

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy dari Yahya bin Abu 'Amr As-Syaibani dari Abu Sallam Ad-Dimasyqi dan 'Amr bin Abdullah sesungguhnya keduanya telah mendengar Abu Umamah Al Bahili menceritakan dari hadis 'Amr bin 'Abasah As-Sulami berkata; "Saya sangat membenci Tuhan-Tuhan kaumku pada Masa Jahiliyyah," lalu dia menyebutkan haditsnya. ('Amr bin 'Abasah As-Sulami) berkata; lalu saya bertanya tentang keberadaan Nabi, dan saya pun mendapatkan Nabi dalam keadaan menyembunyikan diri dari keramaian orang. Saya berusaha menemuinya dengan cara menyamar hingga saya bisa menemuinya, saya ucapkan salam kepadanya, lalu saya bertanya,

"Apa (status/kedudukan) Anda?”

Beliau menjawab, "Nabi."

Saya ('Amr bin 'Abasah) berkata; "Apakah Nabi itu?"

Beliau menjawab, "Rasulullah."

Saya bertanya, "Siapakah yang mengutus kamu?"

Beliau menjawab, "Allah Azzawajalla."

Saya bertanya, "Dengan apa?"

Beliau menjawab, "Agar kamu menyambung silaturrahim, melindungi darah, mengamankan jalan, berhala dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya sesuatupun."

Saya berkata, "Sangat bagus risalah yang karenanya kau diutus. Saya bersaksi sesungguhnya saya beriman kepadamu, dan saya mempercayaimu. Apakah saya harus tinggal bersamamu atau bagaimana pendapatmu?" Maka Nabi SAW bersabda, "Kamu telah melihat kebencian orang-orang atas apa yang saya bawa, maka tinggallah di keluargamu. Jika suatu hari nanti kamu mendengarku dan saya telah keluar dari tempat persembunyianku, datangilah saya," lalu dia menyebutkan hadis secara lengkap.

Habib Ali menjelaskan, bahwa cara Rasulullah menjelaskan risalahnya itu dengan menyebut ketiga hal mendasar dulu.

Pertama, menyambung Silaturrahim. Ini dimaknai Habib Ali sebagai jaminan keamanan masyarakat. Kedua, melindungi darah. Ini dimaknai Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan. Dan ketiga, mengamankan jalan. Ini berarti, menurut Habib Ali, keamanan publik.

Setelah itu barulah Rasul menjawab mengenai religiositas, yaitu menghancurkan berhala (ini bagian amar ma’ruf nahi munkar), dan sikap kukuh bertauhid hanya menyembah Allah (ini masuk wilayah dakwah).

Berdasarkan riwayat, yang menurut Syekh Arnaut statusnya Sahih ini, Habib Ali al-Jufri menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya. Kita pun memahami bahwa semua manusia dijamin keamanan dan kehormatannya, baik di level keluarga-kolega, maupun masyarakat. Setiap orang harus dihormati darahnya, hartanya, keluarganya, dan status sosialnya.

Islam menghendaki setiap orang aman dan nyaman berjalan-jalan di pasar, jalan raya, dan area publik lainnya tanpa khawatir akan dibully, dinistakan, atau diserang kehormatannya. Maupun terkena tindak kriminal seperti pencopetan, serangan teroris, atau bahkan sekadar sandal hilang di Masjid.

Dengan jaminan sosial, kehidupan dan keamanan publik itu barulah kemudian orang bisa beragama dengan khusyu’ dan aman serta nyaman. Hati yang adem akan membuat sikap keberagamaan kita juga adem.

Dengan kata lain, problem yang kita hadapi dewasa ini bukan soal teks keagamaan, tapi soal kemanusiaan kita yang merasa terancam, tidak aman dan tidak nyaman. Ini menggerus kemanusiaan kita sehingga kita tidak lagi jernih, adil dan beradab dalam memahami teks keagamaan. Pada gilirannya, sikap keberagamaan kita dipengaruhi oleh sehat atau sakitnya kemanusiaan kita. Itu sebabnya Rasulullah menyentuh sisi kemanusiaan kita terlebih dahulu dengan ajaran menyambung silaturrahmi, melindungi darah sesama manusia, dan mengamankan jalan raya.

Pesan Habib Ali dalam bukunya ini cocok dengan penjelasan para Kiai NU seperti Gus Mus, misalnya, yang menekankan dakwah kita itu bertujuan untuk memanusiakan kembali kemanusiaan kita. Sayang, saat ini kita mengalami krisis kemanusiaan dan malah asyik saling memaki.

Oleh: Gus Nadirsyah Hosen


Editor: Daniel Simatupang