KH. Husein Muhammad: Menemui Syams Tabrizi (bagian 3)

 
KH. Husein Muhammad: Menemui Syams Tabrizi (bagian 3)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Lalu aku melanjutkan cerita tentang Syeikh Syams Tabrizi sejauh yang aku tahu. Ada banyak cerita orang mengenai sang Darwish ini. Konon ada yang bilang, “dia seorang wali terbesar pada zamannya,” (Kana Farid Zamanihi fi al-Wilayah wa Kasyf al-Qalb).

Meski demikian dia merasa tak pernah puas atas pengetahuannya sendiri. Maka dia mengelana ke berbagai penjuru, mencari kesempurnaan hidup. Di setiap tempat yang dikunjunginya, ia selalu ziarah ke kuburan orang-orang besar, menyampaikan salam, lalu bertemu para wali yang masih hidup di tempat itu.

Di atas pusara para kekasih Tuhan itu dia membaca salam, memuji Tuhan dan berzikir. Kadang seperti bercakap-cakap dengan seseorang, meski ia tak ada di situ. Karena pengembaraannya yang sering itu, orang menyebutnya “Syams al-Thair” (Syamsuddin sang burung). Ini juga yang dilakukan “al-Syeikh al-Akbar”, Ibnu Arabi. 

Syams sengaja datang ke Konya, ibu kota Anatolia, mencari seseorang yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Ketika tiba di Konya, ia menyewa kamar murah pada seorang pedagang gula di daerah itu. Di kamar itu hanya ada selembar tikar yang sudah lapuk dan sebuah kendi, tempat minum yang terbuat dari tanah. Setiap keluar kamar, ia selalu meletakkan beberapa koin uang di depan kamarnya dan membawa kunci yang diikat pada saputangan, lalu diletakkan di belakang punggungnya, untuk menunjukkan bahwa ia seorang pedagang besar. Di kota ini ia sering duduk di warung-warung dan kafe-kafe, sambil bercerita hal-hal aneh.

Pikiran-pikirannya sering membuat orang marah, karena tidak sama dengan pikiran umum. Kata-katanya lebih sering menggunakan bahasa metaforis yang tidak mudah dipahami orang pada umumnya, kecuali mereka yang terpelajar dan telah belajar sastra. Ia seperti Aththar, Fariduddin Aththar, penulis buku “Mantiq al-Thair” (Percakapan Burung) yang sangat terkenal itu.

Suatu hari ia mengatakan kepada teman-temannya, para ahli fiqh:

ان الشريعة كالشمعة, توفر لنا نورا. لكن يجب الا ننسى أن الشمعة تساعدنا على الانتقال من مكان الى مكان آخر فى الظلام. وإذا نسينا إلى أين نحن ذاهبون وركزنا على الشمعة, فما النفع من ذلك؟

“Syari’ah itu bagaikan lilin yang menyala. Ia memberi kita cahaya. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa lilin harus kita bawa untuk menerangi tempat lain yang gelap. Bila kita lupa ke mana kita akan pergi dan kita hanya berhenti memandangi lilin itu, maka apa gunanya ia?”

Pada saat lain ia mengatakan:

ان الطريق الى الحقيقة يمر من القلب لا من الرأس. فاجعل قلبك لا عقلك دليلك الرئيسى. واجه تحد. أن معرفتك بنفسك ستقودك الى معرفة الله.

“Jalan menuju Kebenaran itu melewati hati, bukan kepala. Maka jadikan hatimu, bukan kepalamu, petunjukmu yang utama. Hadapkanlah ia, kau akan sampai. Hatimu itu ada dalam jiwamu. Pengetahuanmu tentang jiwamu akan mengantarkanmu mengetahui Tuhan, Sang Kebenaran itu.”

Kamis, 2 September 2021

Oleh: KH Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang