Safar Nuqlah dan Safar Ḥajah

 
Safar Nuqlah dan Safar Ḥajah
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Safar itu ada dua macam yaitu safar nuqlah (سَفَرُ النُّقْلَةِ) dan safar hajah (سَفَرُ الْحَاجَةِ). Makna safar nuqlah adalah safar yang bertujuan untuk menetap. Dengan kata lain safar nuqlah adalah safar yang tujuannya pindah secara permanan. Misalnya safar para transmigran, safar istri untuk mengikuti tempat tinggal suami, safar pencari suaka politik, safar pengungsi yang dibantai di negeri asal dan semisalnya. Safar jenis ini boleh juga dinamakan safar intiqāl atau safar iqamah.

Makna safar ḥajah adalah safar yang tidak bertujuan menetap. Hanya singgah di satu tempat atau beberapa tempat untuk berbagai kepentingan, setelah itu pulang. Tidak dibedakan apakah kepentingan tersebut untuk melaksanakan yang wajib, sunah maupun mubah. Juga tidak dibedakan apakah jaraknya jauh ataukah dekat, durasinya sebentar ataukah lama. Contoh safar hajah adalah safar untuk jihad, haji, silaturahmi, mengunjungi teman, berobat, sekolah, kuliah, berdagang, tamasya/rekreasi, dan semisalnya.

Pembedaan safar nuqlah dengan safar hajah dalam fikih dikaitkan dengan sejumlah hukum seperti hukum salat qaṣar, hukum ḥaḍanah (pengasuhan anak) dan fikih poligami dan lain-lain. Contoh penggunaan konsepsi safar nuqlah dan safar hajah dalam fikih ḥaḍanah (pengasuhan anak) adalah sebagai berikut.

Jika ada pasangan suami-istri yang bercerai sementara mereka punya anak yang masih balita, maka hukum asalnya anak ikut ibu. Tetapi jika salah satu di antara mereka hendak melakukan safar, maka hukum anak ikut siapa bisa berubah. Dalam hal ini harus diteliti jenis safarnya.

Jika safarnya jenis safar hajah, maka anak harus ikut yang mukim. Tidak peduli yang melakukan safar apakah ayah ataukah ibu. Jika yang melakukan safar hajah adalah ayah, berarti anak tetap ikut ibu. Jika yang melakukan safar hajah adalah ibu, berarti ayah berhak mengambil anaknya untuk tinggal bersamanya.

Adapun jika jenis safarnya berupa safar nuqlah, maka harus diteliti jaraknya. Jika jaraknya masih kurang dari jarak safar, maka ibu masih berhak mengasuh anak, tetapi jika jarak safar sudah mencapai jarak qaṣar (sekitar 88 km) atau lebih, maka ayah berhak mengambil anak secara paksa dan tinggal bersama ayah. Al-Nawawī berkata,

فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ أَحَدُهُمَا سَفَرًا، أَوْ أَرَادَا سَفَرًا يَخْتَلِفُ فِيهِ بَلَدُهُمَا، فَيُنْظَرُ، إِنْ كَانَ سَفَرَ حَاجَةٍ، كَحَجٍّ وَغَزْوٍ وَتِجَارَةٍ، لَمْ يُسَافِرْ بِالْوَلَدِ، لِمَا فِي السَّفَرِ مِنَ الْخَطَرِ وَالْمَشَقَّةِ، بَلْ يَكُونُ مَعَ الْمُقِيمِ إِلَى أَنْ يَعُودَ الْمُسَافِرُ، سَوَاءٌ طَالَتْ مُدَّةُ السَّفَرِ أَمْ قَصُرَتْ، وَعَنِ الشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ وَجْهٌ أَنَّ لِلْأَبِ أَنْ يُسَافِرَ بِهِ إِذَا طَالَ سَفَرُهُ. وَإِنْ كَانَ سَفَرَ نُقْلَةٍ، نُظِرَ؛ إِنْ كَانَ يَنْتَقِلُ إِلَى مَسَافَةِ الْقَصْرِ، فَلِلْأَبِ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنَ الْأُمِّ وَيَسْتَصْحِبَهُ مَعَهُ، سَوَاءٌ كَانَ الْمُنْتَقِلُ الْأَبُ أَوِ الْأُمُّ، أَوْ أَحَدُهُمَا إِلَى بَلَدٍ وَالْآخَرُ إِلَى آخَرَ، احْتِيَاطًا لِلنَّسَبِ، فَإِنَّ النَّسَبَ يَتَحَفَّظُ بِالْأَبَاءِ، وَلِمَصْلَحَةِ التَّأْدِيبِ وَالتَّعْلِيمِ، وَسُهُولَةِ الْقِيَامِ بِنَفَقَتِهِ وَمُؤْنَتِهِ، وَسَوَاءٌ نَكَحَهَا فِي بَلَدِهَا أَوْ فِي الْغُرْبَةِ، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (9/ 106)

Artinya: “Adapun jika salah satu dari keduanya (mantan pasangan suami-istri itu) hendak melakukan safar atau dua-duanya ingin melakukan safar padahal negeri keduanya berbeda, maka harus diteliti. Jika safarnya adalah safar hajah seperti untuk berhaji, berjihad atau berdagang maka yang safar tidak boleh mengajak anaknya. Alasannya, safar itu membahayakan dan menyusahkan. Jadi anak (harus) ikut orang tua yang bermukim sampai orang tua yang safar itu pulang. (hukum tetap berlaku seperti ini) Tidak peduli apakah durasi safar itu lama ataukah sebentar. Syekh Abu Muhammad punya pendapat lain yakni bahwa ayah punya hak untuk mengajak anaknya untuk ikut safar jika durasi safar lama. Akan tetapi jika safarnya untuk nuqlah maka perlu diteliti. Jika safarnya itu berpindah ke lokasi tujuan sejauh jarak qaṣar, maka ayah punya hak mengambil paksa dari ibu untuk menemaninya.  (hukum tetap berlaku seperti ini) Tidak dipedulikan apakah yang berpindah itu ayah ataukah ibu atau salah satu di antara keduanya ke suatu negeri sementara yang lain ke negeri yang lain. (hukum ini yang diterapkan) Sebagai bentuk menjaga nasab karena nasab itu dijaga dari jalur ayah. Juga untuk kemasalahatan pendidikan pekerti dan pendidikan ilmunya. Juga mempertimbangkan kemudahan untuk mengurus nafkah dan kebutuhannya. Juga tidak dibedakan dan apakah menikahi mantan istrinya itu di negerinya atau dalam pengasingan.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 106)

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)


Editor: Daniel Simatupang