Tipologi dan Pemaknaan Tasawuf

 
Tipologi dan Pemaknaan Tasawuf
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Para ahli dan pemerhati tasawuf memiliki perbedaan dalam mencari asal kata dan pengertian tasawuf secara etimologi dan juga terminologi. Secara etimologis, kebanyakan para pengkaji tasawuf menyandarkan asal kata tasawuf pada kata-kata Şaff (baris). Kata ini dinisbatkan pada para sufi karena ia selalu berada dalam barisan terdepan dalam mencari keridhoaan Ilahi. Ahl al-Şuffah, nama yang diberikan kepada kalangan sahabat yang memilih hidup miskin dan sederhana terutama pada masa awal islam.

Eksistensi tasawuf di dunia Islam masih menjadi domain utama sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Keberadaanya yang tidak pernah punah seiring dengan derasnya kritikan dan penolakan terhadap konsep-konsep dan ajarannya.

Dunia pencarian Tuhan ini terus berevolusi, menawarkan kebenaran intuitif yang sering dicari manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektual. Di saat pilihan rasionalitas tidak menemukan jawaban, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali dijadikan alternatif pilihan.

Jika akal dapat memahami adanya Tuhan secara rasional, maka kalbu dapat merasakan kehadiran Tuhan, dan bahkan merasakan keintiman bersama-Nya. Ajaran pokok tasawuf ini, oleh kaum sufi dipahami melalui pendekatan yang bervariasi. Variasi pendekatan ini pada gilirannya membentuk karakter-karakter tertentu sehingga melahirkan dua tipe tasawuf, yakni tasawuf falsafi dan tasawuf sunni. Kemudian tasawuf sunni dibagi lagi ke dalam dua tipe, yaitu tasawuf akhlaqi dan tasawuf ‘amali.

Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam bertasawuf yang menggabungkan antara visi mistik dan visi yang rasional. Tasawuf ini merupakan hasil dari pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang diungkapkan dengan bahasa filosofis. Tasawuf ini tidak bisa dikatakan sebagai Tasawuf yang murni, karena telah menggunakan pendekatan pikiran dan rasio, namun juga tidak bisa dikatakan filsafat seutuhnya karena didasarkan pada rasa. Dengan kata lain Tasawuf Falsafi merupakan penggabungan antara rasa dan rasio.

Tasawuf jenis ini kadang disebut dengan istilah Irfan atau Gnostik. Pola yang berkembang bukan semata perjalanan ruhaniah subjektif, namun pengalaman-pengalaman tersebut di tulis dan diinterpretasi bahkan sebagian karya di klaim sebagai hasil dari proses ruhaniah itu sendiri. Seperti Fusush al-Hikam yang dinyatakan Ibn Arabi di dapat langsung dari Rasulullah SAW melalui pengalaman ruhaninya.

Tasawuf falsafi ini banyak mengonsepsikan pemahaman ajaranya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq). Kendatipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikiranya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan intepretasi dan ungkapan yang samar-samar serta sulit dipahami dengan orang lain.

Tasawuf Amali

Tasawuf ‘amali disebut juga dengan tasawuf tathbīqi (terapan), yaitu tasawuf yang membahas bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui dzikir dan wirid dengan harapan memperoleh ridha Ilahi.

Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf amali adalah ajaran yang dianut oleh pengikut tarekat (ashhâbut turuq), yang meliputi menjauhi sifaf-sifat tercela, mengutamakan mujahadah, dengan menghadap Allah secara bersungguh-sungguh.

Tasawuf ‘amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaqi, karena seseorang yang ingin berhubungan dengan Allah SWT maka ia harus membersihkan jiwanya untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan. Seseorang harus mentaati dan melaksanakan Syariat atau ketentuan-ketentuan agama.

Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut Thariqah sebagai jalan menuju Tuhan. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada Syari’ah dan amalan- amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti Syariat dan akhir Thariqah.

Tasawuf Salafi

Istilah salafiyyah seringkali dipertukarkan dengan istilah reformasi (islah) dan pembaharuan (tajdid) yang merupakan istilah yang fundamental dalam pandangan “mendahului”. Al-Qur’an menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu. Salaf adalah leluhur yang saleh (as-salaf assalih). Dalam pengertian yang luas, salaf bermakna kembali kepada Islam “sejati” yang telah dipraktikkan oleh generasi pendiri muslim, yakni Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

 Keinginan untuk menangkap kembali esensi Islam di masa-masa awal seringkali dilabelkan dengan “salafisme”, sebuah istilah yang diambil dari bahasa Arab, as-salaf as-salih (righteous ancestors). Karena salaf memperoleh pengetahuan Islam langsung dari Nabi Muhammad, dengan demikian praktik yang mereka lakukan masih suci. Di generasi berikutnya, Islam telah tercemar oleh elemen-elemen budaya dan agama asing sehingga menyimpang jauh dari hukum Tuhan.

Di kalangan salafi menganggap dirinya sebagai pembaharu. Salafisme digunakan untuk menggambarkan sebuah organisasi yang sangat luas, mulai dari kelompok-kelompok yang teguh berdakwah dan berpartipasi secara damai dalam pemilihan umum hingga kelompok yang meyakini bahwa jihad dengan menggunakan kekerasan (violent jihad) adalah satu-satunya jalan umat muslim untuk melindungi diri dan memperoleh tujuan.

Pemaknaan Tasawuf

Dalam kenyataannya, tasawuf sering dipahami sebagai praktik zuhud, yaitu sikap hidup asketis. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang sufi adalah seorang zâhid, namun demikian, seorang zahid tidak secara otomatis adalah seorang sufi. Sebab, zuhud hanya merupakan wasilah atau bentuk upaya penjernihan jiwa dari godaan dunia sehingga mampu melakukan musyahadah kepada Allah. Dengan demikian, orang yang berpakaian sederhana, makan sederhana, atau bertempat tinggal di rumah.

Selain itu, tasawuf juga tidak jarang diartikan sebagai ajaran budi pekerti, sehingga seorang sufi dianggap orang yang banyak melakukan ibadah, upacara-upacara ritual. Abu Muhammad al-Jariri, misalnya, menjelaskan bahwa tasawuf adalah hal memasuki atau menghiasi diri dengan akhlak yang luhur dan keluar dari akhlak yang rendah.

Sedangkan Abu Husein an-Nuri menjelaskan bahwa tasawuf adalah kebebasan, kemuliaan, meninggalkan perasaan terbebani dalam setiap perbuatan melaksanakan perintah syara’, dermawan, dan murah hati. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Hasan al-Basri dikenal sebagai seorang sufi karena ia memiliki akhlak yang terpuji.

Hal lain yang cukup aneh adalah bahwa tasawuf justru sering dikaitkan dengan kekeramatan, hal-hal aneh, atau perilaku tidak lumrah yang dimiliki oleh seseorang. Kekeramatan atau hal-hal yang bersifat supranatural ini, seperti kemampuan terbang tanpa sayap, berjalan di atas air, memperpendek jarak dengan melipat bumi, atau mengetahui hal-hal gaib yang memang terkadang terjadi dalam kehidupan sehari-hari juga sering dijadikan indikasi untuk menilai kesufian seseorang.

Artinya, orang yang mampu melakukan hal-hal aneh yang tidak mampu dilakukan oleh orang kebanyakan sering disebut sebagai orang sufi. Padahal indikator-indikator itu tidak selalu merupakan cerminan seorang sufi, seseorang merasa puas atau bangga dengan semua anugerah tersebut berarti ia adalah orang yang tertipu dan terjebak dalam permainan setan dan jelas bahwa dia bukanlah seorang sufi.

Model-model pemaknaan tasawuf sebagaimana diuraikan di atas sebenarnya lebih didasarkan pada bentuk-bentuk atau indikasi yang keluar dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai sufi. Dalam hal ini, barangkali kita patut mencermati definisi tentang tasawuf yang dirumuskan oleh Abu Bakar al-Kattani. Menurutnya, tasawuf adalah shafa (kejernihan hati) dan musyahadah (menyaksikan Allah).

Dengan demikian, tasawuf dalam pandangan al-Kattani memiliki dua aspek utama, yakni shafa (kejernihan hati) dan musyahadah (menyaksikan Allah). Shafa dalam tasawuf diposisikan sebagai wasilah (sarana atau jalan yang mengantarkan pada suatu tujuan). Jika arti ini dipahami dalam perspektif tasawuf maka maknanya adalah sarana, teknik, cara, dan upaya penyucian jiwa menuju Allah.

Oleh: Amirah Dzaky Ilma, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang