Melacak Kembali Jejaring Ulama Diponegoro (Bagian 1)

 
Melacak Kembali Jejaring Ulama Diponegoro (Bagian 1)
Sumber Gambar: Lukisan Pangeran Dipenogoro/Mts Negeri 1 Klaten

Laduni.ID, Jakarta – Sultan Abdul Hamid atau Pangeran Diponegoro telah meletakkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara dalam bingkai kehidupan beragama. Sebagai seorang Jawa, dia sangat mencintai dan menghormati sejarah, budaya, adat dan tradisi Jawa.

Sebagai seorang muslim dia sangat meneladani perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang bangsawan, putra seorang raja, dia sangat memahami bagaimana selayaknya melindungi harkat dan martabat bangsanya.

Zainul Milal Bizawie mencoba mengungkapkan itu semua dalam sebuah tulisan yang runut, untuk menggali kembali warisan Pangeran Diponegoro dan para laskar ulama dan santri. Warisan itu adalah sebuah jaringan pesantren dan ulama yang meneruskan cita-cita Pangeran Diponegoro.

Tidak berlebihan bila apa yang dilakukan oleh para bangsawan, para ulama dan santri dalam berjuang melawan penjajah Belanda, menjadi cikal bakal kesadaran nasional dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Sebuah kesadaran untuk tetap menjunjung tinggi budaya, adat dan tradisi tanpa harus meninggalkan keislaman.

Setahun lebih sudah Zainul Milal Bizawie meluncurkan buku yang berjudul Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19.  Peluncuran diadakan di Auditorium 2 Gedung Perpusnas RI, Jakarta Pusat, Kamis (25/7) 2020. 

Peluncuran buku dengan tebal 444 halaman ini dihadiri sejumlah tokoh, di antaranya Ki Roni Sodewo, Ketua Umum Patra Padi (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro), KH Miftah Faqih (Katib Syuriyah PBNU), M Ikhsan Tanggok (Akademisi UIN Syarif Hidayatullah), Wawan Hari Purwanto (Jubir BIN), Zastrouw Al-Ngatawi (Buduyawan), Rumadi Ahmad (Ketua Lakpesdam PBNU), Ahmad Suaedy (Dekan Unusia Jakarta), dan A Ginanjar Sya’ban (Direktur Islam Nusantara Center). Masing-masing dari mereka mengemukakan testimoninya. 

Zainul menyatakan bahwa penulisan sejarah, termasuk tentang tokoh Diponegoro menjadi pekerjaan yang besar bagi Nahdliyin. Sebab, selama ini sejarah yang ada terputus, sehingga Nahdliyin, khususnya santri sudah saatnya untuk mengungkapkan yang terputus itu kepada publik.

“Supaya peran kita, sebagai santri benar-benar diketahui, sehingga santri yang juga memiliki negara ini berhak mengisi dan memimpin negara ini,” kata Zainul.

Diponegoro adalah sosok yang bukan hanya pejuang yang memperjuangkan politik atau keratonnya, melainkan juga seornag ulama yang mengetahui dan ingin menegakkan nilai-nilai Islam di Indonesia mengingat saat itu kolonial sangat zalim. Bahwa pemerintahan itu harus mengikuti nilai-nilai keislaman, khususnya penegakkan keadilan karena kolonial (penjajah) selama ini menindas bangsa kita dan menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang tertinggal jauh dari negara lainnya. 

Karya Zainul ini diharapkan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat luas, dan membuat generasi penerus membaca dan menjadikan Diponegoro sebagai seorang yang inspiratif dan dapat mengambil hikmahnya. Harapannya pembaca mengetahui bahwa Diponegoro seorang santri dan muslim yang taat dan tidak terpisah dengan ksatria itu.

Di tengah kecenderungan menguatnya isu-isu radikalisme yang terkait gerakan transnasional, politik identitas, serta belum tuntasnya pertanyaan seputar hubungan antara agama dan negara, terasa sangat penting menyimak isi buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad Ke-19 yang ditulis Zainul Milal Bizawie.

Pada buku ini terpapar sebuah jawaban tentang betapa sungguh beralasannya mereka yang khawatir terhadap kekuatan Islam beserta gerakannya di ranah politik.

Toh, melalui spektrum perjuangan Pangeran Diponegoro yang merupakan ulama, pengikut tarekat Syattariyah, kaum terdidik, dan bangsawan, penulis menyuguhkan potret Islam yang revolusioner, memiliki dukungan sangat luas, tapi juga teduh serta nasionalis meski gerakan itu dapat dikaitkan dengan gerakan di luar Nusantara.

Paparan sejarah setebal 444 halaman ini seakan hendak mengingatkan kembali perihal keharmonisan pola hubungan antara agama (Islam) dan negara. Jelas bahwa politik memang tidak bisa dipisahkan dengan agama.

Selain bukan dua kutub yang harus dibenturkan, agama justru terbukti dapat memainkan peran strategis untuk kepentingan negara dan paling mampu mengisi ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau kekuasaan terhadap sisi paling rahasia pada diri setiap warga.

Melalui kiprah pahlawan nasional yang juga dikenal dengan nama Sultan Abdul Hamid Herucokro ini, penulis yang memetakan jejaring, memperhatikan transmisi ideologi dan kultural, mendapati bahwa wajah Islam di Nusantara memang khas.

Sambil mengkritik pandangan orientalis yang melihat Islam di Nusantara sebagai sinkretis serta jauh dari bentuk asli yang berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Menurut Zainul Milal Bizawie, “Karakteristik Islam di Nusantara justru layak dijadikan model dan cara pandang membangun dan mengkaji berbagai persoalan dunia.” (h. 18)

Oleh: Aji Setiawan


Editor: Daniel Simatupang