Makna Terminologi Santri dalam Nasihat Para Kiyai

 
Makna Terminologi Santri dalam Nasihat Para Kiyai
Sumber Gambar: lirboyo.net, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Secara umum "santri" adalah julukan seorang yang sedang menempuh belajar ilmu agama di pondok pesantren. Biasanya selain menuntut ilmu agama, santri diwajibkan juga untuk tinggal di asrama. Tapi ada juga yang sekadar mengaji dan tidak menetap di dalam pesantren, yakni "santri kalong", alias hanya ikut mengaji saja.

Selama di Pondok Pesantren santri dididik untuk hidup disiplin dan dapat mengatur waktu dalam belajar. Selain itu, santri dituntut untuk selalu hidup sederhana, seperti dalam makanan, pakaian, dan lain-lain. Tidak berlebihan dalam berbagai hal. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, istilah santri mengalami perubahan, atau lebih tepatnya perluasan. Banyak orang yang mengaku santri, meski tidak pernah mondok sekali pun, tapi hanya sekadar mendapatkan ijazah atau petuah dari seorang kiyai. Meski demikian banyak kiyai juga memang menerima hal itu. Demikian itu dilakukan, tidak lain adalah sebagai alternatif dakwah agar banyak orang tertarik dan merasa nyaman dengan dunia kesantrian.

Berikut ini makna yang terkandung dalam terminologi santri menurut pandangan dan nasihat beberapa kiyai nusantara:

"Orang berilmu adalah orang yang niat belajarnya karena mencari rida Allah SWT, bersih hatinya, dan wara’. Bukan bermaksud untuk kepentingan duniawi, seperti untuk memperkaya, mendapatkan jabatan dan memperbesar pengaruh di hadapan orang lain. Bahkan, memperbanyak tidur dan makan bukanlah adab seorang santri karena hal itu akan menghalangi ilmu. Niat yang benar dan membersihkan hati merupakan adab santri terhadap dirinya" (KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng, dalam Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hlm. 25-26).

"Sing kudu sam’an wa tha’atan marang gurune, sendiko dawuh. ((Santri itu) harus mendengarkan dan taat kepada gurunya, menuruti perintahnya)." (KH. Muhammad Romli Tamim, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan, Jombang yang wafat pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H/6 April 1958 M)

"Sing nduwe roso kangen, sing nduwe roso tresno, sing nduwe roso abot marang gurune. ((Santri itu) harus punya rasa kangen, punya rasa cinta, dan punya rasa berat berpisah dengan gurunya)." (Dr. KH. A. Musta'in Romli, SH, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan, Jombang yang wafat pada tanggal 21 Januari 1985 M)

"Sing iso neruske amaliahe sing dicintai lan diistiqomahke gurune. ((Santri itu) harus bisa meneruskan amaliyah yang dicintai dan di istiqomahkan gurunya)." (KH. Muhammad Munawwir, Pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta yang wafat 11 Jumadil Akhir 1360 H / 6 Juli 1942 M)

"Sing kudu madep mantep mancep mituhu gurune. ((Santri itu) harus menghadap dengan optimis menancap menurut atau senang dengan gurunya)." (KH. Muntaha Al-Hafidh, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Al-Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo yang wafat pada tanggal 29 Desember 2004 M)

"Sing na'dhimi lan jogo martabate, ora ngersulo tur ora ngerasani marang gurune. ((Santri itu) harus menghormati dan menjaga martabatnya, tidak sambatan, dan tidak ngerasani gurunya)." (Dr. KH. M. Sahal Mahfudz, Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sejak 1999 hingga 2014 dan Ketua Umum MUI Pusat periode 2000-2014, wafat 24 Januari 2014 M umur 76 tahun di Pati)

"Sing nduwe roso seneng karo ngaji. Sebab dengan ngaji itulah si murid mensalikan dirinya melalui suluk ngajinya kepada gurunya." (KH. Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, wafat 6 Agustus 2019 M, Jannatul Ma'la Mekkah)

"Meskipun dia mondok atau tidak mondok, tetapi akhlaknya santri dia adalah santri." (Dr. KH. Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang dan Mustasyar PBNU 2022 - 2027)

"Santri yang mempunyai dan tumbuh rasa mahabbah kepada Allah dan Kanjeng Rasul Muhammad SAW, melalui perantara gurunya." (KH. Muhammad Kholil As’ad Syamsul Arifin, Pondok Pesantren Wali Songo Panji, Situbondo)

"Dadi murid sing wajib salah! karena dari kesalahan itulah si murid bisa memperbaiki dan evaluasi kesalahannya terhadap gurunya. Serta bagaimana kita menyenangkan hati guru dan membuat hati guru ridho terhadap kita. karena ridhone guru derajate murid, bendune (benci) guru apese (tidak beruntung) murid." (KH. Kahar Pesapen Surabaya, Mursyid Sholawat Muhammad Rohmatan Lil Al-Amin dan Sholawat Adhimiyyah, wafat tahun 2015)

"Jadilah santri dan murid yang mempunyai rasa semangat beribadah dan mengaji. Serta berkhidmahlah kepada gurumu dengan ketawadhlu’anmu." (KH. Shodiq Hamzah, Pimpinan Pondok Pesantren Assodiqiyah Kaligawe Gayamsari Kota Semarang)

Tidak ada celah santri untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Justru, label santri itu mengejawntahkan makna yang tersirat di dalam terminologi santri itu sendiri sebagaimana dinasihatkan oleh para kiyai di atas.

Semoga kita menjadi bagian dari santri yang meneladani para kiyai dan mengindahkan nasihat-nasihatnya untuk kepentingan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Amin. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 17 Januari 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim