Mari Menutupi Aib Orang Lain

 
Mari Menutupi Aib Orang Lain
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Sekarang ini kita menyaksikan, betapa mudahnya seseorang membuka aib sesama, melempar tudingan, mencari-cari kesalahan orang lain, menyebarluaskannya dan bahkan menjadikannya sebagai lelucon, tanpa menyadari akan bahayanya. Mereka berbicara tanpa mengindahkan larangan agama, berbicara tanpa fakta nyata dan hanya mengikuti hawa nafsunya saja, mereka tidak menyadari bahwa semua perkataan yang mereka ucapkan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Salah satu bahaya lisan yang sedang merebak luas adalah tentang ghibah dan mengumbar aib sesama. Ini terjadi di mana saja, baik di pasar, warung, halaman rumah, dapur, ruang tamu, tempat kerja, dan bahkan di masjid dan mushola. Ironisnya, hal ini sudah dianggap biasa dan menjadi hidangan keseharian dalam pergaulan. Juga tak kalah serunya dengan adanya acara-acara infotainment tentang ghibah di berbagai media masa, kerapkali menyebut-nyebut keburukan orang lain.

Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT memberikan peringatan di dalam Al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dan janganlah kamu menggunjing (ghibah) sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh karena itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat: 12)

Asbabun nuzul ayat tersebut, diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij, bahwa ayat ini (Qs. al-Hujurat: 12) turun berkenaan dengan peristiwa salah seorang sahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Salman al-Farisi, yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang menggunjing perbuatannya. Maka turunlah ayat tersebut yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan aib orang lain.

Selaras dengan larangan Allah SWT di atas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga melarang mengumbar aib orang lain. Sebagaimana hadis-Nya:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا

“Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.” (HR. Bukhari)

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata aib itu memiliki arti malu, cela, noda, salah ataupun keliru. Menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib (العيب) bermakna cacat atau kekurangan. Bentuk jamaknya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa Arab disebut ma’ib. Sementara itu dalam Kitab ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:

مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا

“Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaannya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan.”

Secara psikologis, jika kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu penjelasan. Seringkali aib sendiri, maupun orang lain, secara sadar/tidak sadar kita sebarkan ke orang lain, bahkan diviralkan ke media massa.

Aib merupakan sesuatu yang digambarkan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang, jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu yang membawa kepada efek psikologis yang negatif. Korban akan merasa terzalimi, disudutkan dan bahkan dilemahkan jati dirinya.

Aib terbagi menjadi dua, yaitu aib khalqiyah yang bersifat kodrati. Dimana aib ini merupakan aib karena terdapat cacat disalah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain, sedangkan yang kedua yaitu aib khuluqiyah yang bersifat fi’li (prilaku) yang merupakan aib dari perbuatan maksiat, baik yang dilakukan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.

Sebagaimana al-kisah Zulaikha yang menggoda Nabi Yusuf a.s, Allah tidak menyebutkan sama sekali namanya di dalam Al-Qur’an dikarenakan Zulaikha masih memiliki rasa malu. Hal ini dibuktikan dengan menutup tirai sebelum menggoda Nabi Yusuf. Zulaikha malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya.

Bayangkan, Allah menutupi aib Zulaikha yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya di dalam al-Qur’an. Maka introspeksilah diri kita, mungkin karena masih memiliki rasa malu, maka Allah tidak membuka identitas kita. Mungkin tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali Allah telah menutup dosa-dosa kita.

Maka, bertanyalah pada diri kita sendiri, apakah kita tampak baik di hadapan orang lain? Apakah semua itu karena begitu banyaknya kebaikan yang kita lakukan? Atau karena Allah telah menutupi aib kita? Hanya diri kita yang bisa menjawabnya.

Mengumbar aib sama halnya "Membubuhkan arang dimuka orang." Mereka bongkar aib apa saja atau hal buruk sesiapa saja di depan orang banyak. Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang sibuk mencari aib orang lain, bagaikan seekor lalat yang selalu mencari tempat yang kotor.

Maryam binti Thariq meriwayatkan bahwa seorang wanita menemui Aisyah r.a, “Wahai Aisyah,” kata wanita itu, “Ketika aku sedang pergi haji menuju Baitullah, laki-laki yang menyewakan kendaraan untuk jamaah haji itu sengaja menyentuh betisku…” Belum selesai kalimat itu, Aisyah langsung menghentikannya, “Sudah, cukup.” Aisyah kemudian berpaling dan menyuruh wanita tersebut keluar.

Setelah itu, ummul mukminin juga keluar dan mengumpulkan para wanita mukminah lantas menasehati mereka semua, “Wahai wanita-wanita mukminah, jika kalian berbuat salah, janganlah sekali-kali menceritakannya kepada orang lain. Mintalah ampunan kepada Allah dan bertaubatlah. Manusia seringkali menginginkan membuka aibnya dan tidak menutupinya. Sedangkan Allah bermaksud menutupinya dan tidak membukanya.”

Sungguh indahnya keteladanan Aisyah r.a dalam menutupi aib kaum wanita, yang layak untuk kita tiru. Pantas saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan pernyataan akan kemuliaan bagi yang mau menutupi aib sesama, melalui hadits yang berbunyi:

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا, سَتَرَهُ اَللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Barangsiapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Selain menutup aib orang lain memiliki keutamaan akan menutup aib kita di dunia dan akhirat, juga memiliki fadhilah seperti menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup. Hal ini sebagaimana yang disinyalir oleh hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:

“Siapa melihat aurat (aib orang lain) lalu menutupinya, maka seakan-akan ia menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup.” (HR. Abu Daud).

Untuk itu, mari kita jauhi ghibah, dusta, prasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain serta menyebarluaskan aib sesama. Jagalah aib orang lain sebagaimana kita menjaga aib pribadi. Dan mari kita amalkan doa yang biasa dibaca Rasulullah pada pagi dan petang agar Allah menutupi aib diri dan sesama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِى

“Yaa Allah sesungguhnya aku meminta kepada Mu ‘Afiyah di dunia dan akhirat. Yaa Allah aku memohon kepada Mu ‘‘Afwaa dan ‘Afiyah pada urusan agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku (aib-aibku)”

Demikian uraian yang singkat ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Oleh: Rakimin Al-Jawiy, S.Pd.i., M.Si, Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang