Pawang Hujan, Sejarah, dan Cara Menyikapinya

 
Pawang Hujan, Sejarah, dan Cara Menyikapinya
Sumber Gambar: Ilustrasi/Megapolitan

Laduni.ID, Jakarta – Event balapan internasional MotoGP Indonesia 2022 di Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) telah usai digelar. Miguel Oliveira hadir sebagai pemenang di urutan pertama, disusul Fabio Quartararo di posisi kedua, dan Johann Zarco di posisi ketiga.

Namun, topik “pawang hujan” seakan tak surut dari perbincangan meski perhelatan balapan internasional tersebut telah selesai digelar. Ada yang sebagian menganggapnya syirik dan memalukan, namun adapula yang menyebutnya sebagai kearifan lokal yang patut dibanggakan. Sebenarnya bagaimana sejarah awal lahirnya “pawang hujan” ini?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “pawang” menjurus kepada orang-orang yang memiliki keahlian khusus yang berkaitan dengan ilmu ghaib, seperti dukun, mualim perahu, pemburu buaya, penjinak ular, dan lain sebagainya. Sedangkan “pawang hujan” adalah sebutan bagi orang yang mampu mengendalikan cuaca.

Dalam jurnal yang berjudul Tradisi Nyarang Hujan Masyarakat Muslim Banten (Studi di Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglan) disebutkan bahwa ritual terkait hujan sudah lama dilakukan secara turun temurun. Saking lamanya, tidak diketahui sejak kapan bermulanya tradisi ini. Alasan mengapa tradisi ini masih mengakar hingga sekarang adalah karena masyarakat Indonesia tidak mudah meninggalkan kebiasaan nenek moyang mereka. Sehingga tradisi seperti ritual hujan terjadi dari generasi ke generasi.

Ritual terkait hujan ini sudah sejak dulu digunakan untuk membuat sebuah acara atau hajatan berjalan lancar tanpa hujan. Peran dari pawang hujan juga bukan untuk menolak hujan, melainkan memindahkannya ke tempat lain.

Walau teknologi semakin canggih dan maju, posisi pawang hujan seakan tak pernah tergantikan di hati masyarakat Indonesia. Padahal metode seperti penyemaian awan dengan partikel mikroskopis bisa saja dilakukan untuk memodifikasi cuaca, namun peran pawang hujan dalam acara berskala nasional, bahkan internasional, pun tak pernah ketinggalan. Sebelum ajang MotoGP sekarang ini, pada 20 Oktober 1973 silam pawang hujan juga mengambil peran pada acara pertandingan antara Muhammad Ali lawan Rudi Lubbers di Gelora Bung Karno.

Sebelum ada Mbak Rara Istiani Wulandari sebagai pawang hujan dalam acara MotoGP Indonesia 2022, NTB telah memiliki sendiri pada tahun 1980-an. Dia adalah Lalu Katar, seorang pensiunan pegawai kehutanan. Dalam Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas, dan Ajaran Hidup saat acara kepresidenan (Soeharto) di NTB, Lalu Katar selalu dipanggil untuk melaksanakan tugasnya.

Cerita memodifikasi cuaca juga pernah hadir dari para kiai, dalam Karomah Para Kiai disebutkan bahwa kiai yang memiliki karomah juga mampu melakukan modifikasi cuaca. Namun semua tetap dikembalikan kepada Sang Pemiliki Kuasa.

Jika Kiai Mahrus Aly Lirboyo terkenal bisa menghentikan hujan, maka Kiai As’ad Samsul Arifin terkenal bisa mendatangkan hujan. Kejadiannya ketika Presiden Soeharto hendak menghadiri Muktamar NU ke-27 pada Desember 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Terkait ritual hujan, syirik atau tidaknya itu tergantung pada I’tiqod dari masing-masing individu. Jika makan nasi saja mempunyai I’tiqod bahwa yang mengenyangkan (hakikat) adalah nasi, maka hal tersebut juga dapat dikatakan syirik.

Tanpa sadar, kita saat ini sering sekali membuat kesyirikan seperti, jika tak bekerja maka tak bisa makan, jika tak sekolah tinggi maka tidak mendapat kerjaan yang layak, atau jika tak bekerja maka tidak mendapat rezeki. Ucapan-ucapan seperti itulah yang terkadang yang tidak disadari, namun dapat menjadi syirik atau tidaknya tergantung orang yang mengucapkannya.

Bagi orang mukmin (yang beriman kepada Allah), ada beberapa ucapan yang kelihatannya mengandung kesyirikan (kalam hakiki) akan tetapi dihukumi kalam majaz.

Contoh:

انبت المطر البقل

“Hujan telah menumbuhkan sayuran.”

Mestinya,

انبت الله البقل

“Allah telah menumbuhkan sayuran.”

Tetapi, ucapan-ucapan tersebut belum tentu menjadikannya musyrik jika yang mengucapkannya tetap mengimani bahwa hakikat segalanya adalah Allah SWT.

Jika sosok seperti Mbak Rara dan Lalu Katar dianggap syirik, maka datanglah kepada kiai untuk berdoa dan meminta kepada Allah agar hujan dipindah di lokasi lain.


Editor: Daniel Simatupang