Asal Mula Surat An-Nahl Ayat 90 Sebagai Penutup Terakhir Khutbah

 
Asal Mula Surat An-Nahl Ayat 90 Sebagai Penutup Terakhir Khutbah
Sumber Gambar: id.pngtree.com (ilustrasi foto seorang khutbah di atas mimbar)

Laduni.ID, Jakarta - Ketika zaman kekuasaan Bani Umayyah atau kekhalifahan Umayyah (kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin, yang memerintah dari tahun 661 M sampai 750 M di Jazirah Arab dan sekitarnya), wacana ujaran kebencian dengan caci maki terhadap Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah (wafat 661 M di Kufah Iraq) direproduksi melalui mimbar-mimbar khutbah Jumat. Semuanya bermuara faktor kesinambungan politik yang berbeda.

Bahkan, sudah menjadi kebiasaan para khatib masa itu, ketika menutup khutbah dengan mencaci maki menantu dan sepupu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam itu. Gerakan provokasi ini cukup efektif dan meluas di daerah kekuasaan dinasti Umayyah, sehingga membuat kegaduhan ditengah kaum muslimin.

Namun demikian, situasi sosial dan politik berubah signifikan, ketika kekhalifahan Bani Umayyah dipimpin Sayyidina Umar bin Abdul Aziz atau Umar II rahimahullah (2 November 682 M / 26 Safar 63 H di Madinah - 5 Februari 720 M / 20 Rajab 101 H dalam usia 37 tahun di makamkan di The Cathedral of St. Simeon Stylite, Aleppo Suriah) yang memerintah tahun 717 - 720 M, dari Bani Umayyah cabang Marwani. Putra dari Abdul 'Aziz bin Marwan (647 - 705 M) dan Laila binti Ashim bin 'Umar bin Khattab radliyallahu anhum.

Meskipun menjabat hanya sebentar, kurang lebih 2 tahun 137 hari sebagai Khalifah, banyak sekali prestasi inovatif yang dicapainya, hingga beliau begitu dicintai oleh rakyatnya dan mendapat sebutan "Khulafaur Rasyidin Kelima".

Umar bin Abdul Aziz, selain sebagai umara Khalifah, ia juga orang shaleh, yang juga merupakan cicit dari Khalifah kedua, yaitu Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu anhu (wafat 3 November 644 M, Masjid Nabawi Madinah).

Budaya caci maki dan ujaran kebencian di mimbar-mimbar khutbah, dihentikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Maka, ia melarang mimbar Jumat dijadikan tempat dan ajang kampanye politik, ujaran kebencian, caci maki dan hoaks. Beliau lantas menyisipkan ayat 90 dari surat an-Nahl dalam setiap Khutbah Jumat.

Menurutnya, Jum'at adalah Sayyidul Ayyaam, hari agung penghulu hari, bagi umat Islam. Shalat Jumat dan khutbah Jum'at adalah momen ibadah yang penting, karena pada waktu itu umat Islam sedang berkumpul. Pesan ketakwaan harus diutamakan karena menjadi salah satu rukun khutbah.

Dan Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menggunakan Surat An-Nahl ayat 90 sebagai penutup khutbah Jum'at terakhir. Terobosan yang berani tersebut, kemudian menjadi tradisi penutup khutbah hingga sekarang, terutama dijadikan tradisi penutup khutbah oleh Nahdlatul ulama hingga sekarang.

Sejarah tersebut, ditulis salah satunya oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi Al-Maliki rahimahullah (wafat 1230 H / 1814 M), dalam kitab Hasyiyah Ad-Daasuqi ‘alasy Syarhil Kabiir menerangkan bahwa, pada saat-saat yang menggelisahkan umat Islam kala itu,  Umar bin Abdul Aziz membuat suatu terobosan. Ia adalah orang yang pertama kali membaca Surat an-Nahl ayat 90 sebagai penutup khutbah yang sebelumnya diisi dengan kata-kata kasar.

Ayat tersebut cukup akrab di telinga kaum muslimin yaitu :

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Allah memerintahkan berbuat adil, berbuat kebajikan, bermurah hati kepada kerabat dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Ia mengajarkanmu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Riwayat yang hampir sama, juga disebutkan oleh Al-Imam Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Mufassir Jalaluddin  Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin Al-Misri As-Suyuthi Asy-Syafi'i Al-Asy'ari atau Imam As-Suyuthi rahimahullah (3 Oktober 1445 M - 18 Oktober 1505 M, Kairo, Mesir) dalam kitab Tarikh Khulafa (Sejarah Para Khalifah) halaman 182 sebagai berikut :

كان بنو أمية يسبون علي بن أبي طالب في الخطبة فلما ولي عمر بن عبد العزيز أبطله، وكتب إلى نوابه بإبطاله، وقرأ مكانه: {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَان} الآية، [النحل: 90] ، فاستمرت قراءتها في الخطبة إلى الآن.

"Dahulu kelompok bani umayyah, sering kali mencela sayidina Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu di atas mimbar-mimbar khutbah Jum’at mereka, tatkala Sayidina Umar Bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, beliau menggusur kebiasan buruk tersebut, lalu beliau menulis surat kepada para wakilnya untuk mengganti kebiasan tercela itu dengan membaca surat An-Nahl ayat 90. Dari sejak itu seada-adanya khatib membaca ayat tersebut di atas mimbar sampai sekarang."

Juga termaktub dalam kitab Ittihaful Amajid Bi Nafaisil Fawaid karya Al-Qadhi Abu Mun'yah As-Sakunjiy At-Tijaniy rahimahullah, jilid 2 halaman 28.

Al-Hafidh Al-Muhaddits Imaduddin Abul Fida'

Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Al-Bashri Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat 18 Februari 1373 M di Damaskus, Suriah), menafsirkan kata "Al-Baghyu" dalam ayat tersebut, sebagai "permusuhan terhadap umat manusia". Dalam sebuah hadits disebutkan : “Tidak ada dosa yang paling layak untuk disegerakan Allah siksanya di dunia, di samping siksa yang disiapkan untuk pelakunya di akhirat, selain al-baghyu (sikap permusuhan) dan pemutusan silaturahmi.”

Mengapa Surat An-Nahl Ayat 90

Dalam kitab Tafsir Jalalain, karya Al-Imam Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Syihabuddin Ahmad bin Kamaluddin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim Al-Abbasi Al-Anshari Al-Mahalli Al-Qahiri Asy-Syafi'i atau Imam Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah (wafat 5 Juli 1460 M di Kairo, Mesir) dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafi'i rahimahullah diterangkan :

(Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil) bertauhid atau berlaku adil dengan sesungguhnya (dan berbuat kebaikan) menunaikan fardhu-fardhu, atau hendaknya kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits (memberi) bantuan (kepada kaum kerabat) famili; mereka disebutkan secara khusus di sini, sebagai pertanda bahwa mereka harus dipentingkan terlebih dahulu (dan Allah melarang dari perbuatan keji) yakni zina (dan kemungkaran) menurut hukum syariat, yaitu berupa perbuatan kekafiran dan kemaksiatan (dan permusuhan) menganiaya orang lain. Lafal AL-BAGHYU disebutkan di sini secara khusus, sebagai pertanda, bahwa ia harus lebih dijauhi; dan demikian pula halnya dengan penyebutan lafal AL-FAHSYAA (Dia memberi pengajaran kepada kalian) melalui perintah dan larangan-Nya (agar kalian dapat mengambil pelajaran) mengambil pelajaran dari hal tersebut. Di dalam lafal “Tadzakkaruuna” menurut bentuk asalnya ialah huruf tanya diidghamkan kepada huruf dzal. Di dalam kitab Al-Mustadrak disebutkan suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Masud radliyallahu anhu yang telah mengatakan, bahwa ayat ini yakni ayat 90 surah An-Nahl, adalah ayat yang paling padat mengandung anjuran melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan di dalam Al-Qur'an.

Selain itu, sebab dalam ayat tersebut sudah mencakup seluruh kebaikan dan keburukan. Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta'ala memberi tiga perintah kebaikan dan tiga larangan keburukan.

Tiga perintah kebaikan itu adalah :

1. Berbuat adil (العدل)
2. Berbuat ihsan (الإحسان)
3. Membantu orang lain terutama pada kerabat terdekat (وإيتاء ذي القربى)

Tiga larangan itu adalah :

1.Berbuat keji (الفحشاء)
2.Mengerjakan kemunkaran (المنكر)
3.Melakukan kezhaliman (البغي)

Banyak Yang Tidak Mengerti

Ayat yang mulia ini, sering kali dikutip oleh para khatib jum’at pada waktu khutbah yang kedua. Anehnya, banyak jamaah jum’at yang langsung terbangun mengangkat kepala dan memelekkan mata mendengar ayat ini, karena sadar bahwa khutbah akan segera berakhir. Sayangnya, ayat yang sangat penting ini berlalu begitu saja di telinga, tanpa ada upaya untuk merenungi dan memahaminya.

Jika diperhatikan surat an-Nahl ayat 90 ini, mendidik dan mengantarkan kita (para pencinta Al-Qur’an) kepada sumber inspirasi terbaru bahwa terdapat tiga sumber kebaikan yang harus diterapkan dalam setiap ranah kehidupan, dan juga tiga sumber kejahatan yang harus dijauhkan dari setiap lini kehidupan.

Ayat ini merupakan kaidah, di mana masalah juz’iyyah (satuan) masuk ke dalamnya. Oleh karena itu, setiap perkara yang mengandung keadilan, ihsan, dan memberi kepada kerabat, maka hal ini termasuk yang diperintahkan Allah, sedangkan setiap perkara yang mengandung perkara keji, munkar atau zalim kepada manusia, maka hal ini termasuk yang dilarang Allah subhanahu wa ta'ala. Mahasuci Allah, yang menjadikan dalam firman-Nya petunjuk, cahaya, dan pembeda antara hak dan batil.

Umar bin Abdul Aziz dengan demikian telah membuat langkah cerdas dan arif. Ia membuat tradisi baru dengan muatan pesan yang sangat substansial dan universal. Ayat ini masih terdengar sampai sekarang di mayoritas mimbar khutbah Jumat di berbagai belahan dunia. Wallahu A'lam. Semoga bermanfaat !!


Sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik