Hal-hal yang Menggugurkan Kewajiban Nafkah

 
Hal-hal yang Menggugurkan Kewajiban Nafkah
Sumber Gambar: Lukas dari Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu kewajiban suami pada istri adalah memberi nafkah, namun dalam beberapa keadaan kewajiban ini bisa gugur. Lalu, kapan saja suami tidak lagi wajib menafkahi istrinya.

1. Nusuz (durhaka istri)

Salah satu dampak nusuz adalah gugurnya hak istri untuk mendapatkan nafkah. Jika di pagi hari istri melakukan nusyudz maka gugur hak nafkahnya pada hari itu walau pun di tengah hari istri kembali taat. Begitupula jika di awal musim istri melakukan nusyudz maka gugur hak mendapatkan pakaian pada musim itu walau pun di pertengahan musim ia kembali taat. Suami yang tetap memberikan nafkah karena tidak mengetahui bahwa nafkah gugur karena nusyudz boleh meminta kembali nafkah tersebut setelah mengetahui.

Nusuz yang menggugurkan nafkah beragam. Yang terutama adalah jika istri menolak melayani segala jenis kegiatan seksual tanpa ada uzur meskipun hanya menolak untuk dicium. Berbeda jika istri menolak karena ada uzur seperti sakit misalnya, ia tetap berhak mendapatkan nafkah. Termasuk nusyudz yang adalah jika istri tidak secara penuh melakukan tamkin (penyerahan diri). Seperti istri yang hanya bersedia melakukan hubungan suami-istri di malam hari tidak mau di siang hari, atau bersedia untuk disetubuhi namun tidak mau dicumbu. Semua ini dapat mengugurkan nafkah asalkan suami tidak memaksa melakukan kegiatan seksual dengan istri yang nusyudz tersebut. Jika suami tetap melakukannya walau pun hanya sebentar, ia tetap wajib memberikan nafkah di hari itu dan juga memberikan pakaian di musim itu secara sempurna.

Semua hal yang mencegah istri untuk tamkin kepada suami walau pun dilakukan tanpa sekehendak istri dapat mengugurkan nafkah. Jadi, suami tidak wajib menafkahi istri jika ia diculik atau dipenjara baik secara zalim atau karena sebab ia melakukan kejahatan, karena tidak mungkinnya tamkin dari istri ketika itu. Begitupula jika istri disetubuhi secara syubhat , di masa iddah dari persetubuhan syubhat, suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri.

Bentuk nusuz pengugur nafkah lain adalah kaburnya istri dari rumah. Begitu pula apabila istri keluar rumah tanpa izin suami dan tanpa ada prasangka suami merelakan. Sama saja baik rumah yang ditempati adalah rumah suami, atau rumah yang suami merelakan istrinya tinggal di sana seperti rumah ayah dari istri atau bahkan rumah milik istri sendiri.

Keluarnya istri tanpa kerelaan suami merupakan maksiat walau pun untuk menziarahi orang shaleh atau bahkan menghadiri majelis zikir. Istri boleh keluar rumah tanpa izin suami hanya jika dalam keadaaan darurat. Bentuk keadaan darurat seperti ketika ada ada indikasi rumah akan roboh karena sebab terlalu tua atau gempa, atau takut atas jiwa dan hartanya karena ada pencuri. Begitu pula jika ia keluar menuju hakim untuk menuntut haknya dari suami.

Termasuk alasan yang memperbolehkan istri keluar walau pun tanpa izin suami adalah mempelajari ilmu yang wajib seperti ilmu akidah yang wajib, ilmu tentang shalat, puasa, zakat dan hajinya agar ibadahnya sah. Keluar untuk menuntut ilmu yang tidak wajib atau masalah yang tidak mendesak bukan termasuk uzur. Ini semua jika suami atau mahram tidak bisa mengajarkannya, tidak bersedia memintakan fatwa untuknya dan tidak pula mengizinkannya keluar. Serupa dengan ini jika istri keluar untuk mencari nafkah dengan berdagang atau pekerjaan halal lain jika suami tidak bisa mencukupi kebutuhan nafkah istri. Ia boleh keluar walau pun suami tidak megizinkan.

Apabila suami bepergian jauh, istri boleh keluar untuk mengunjungi kerabat selama suami tidak melarangnya sebelum bepergian. Ini bukan termasuk nusyudz dan tidak memutus nafkah. Apabila suami ada bersamanya, istri tidak boleh keluar tanpa izin walau pun untuk menghadiri jenazah orang tuanya. Sebab masih mungkin baginya untuk meminta izin terlebih dahulu. Jika ia keluar tanpa izin maka ia dianggap nusyudz dan gugur nafkahnya.

Di antara nusyudz yang memutuskan nafkah adalah jika istri melakukan perjalanan jauh sampai batas luar daerah tanpa izin suami kecuali dalam keadaan darurat. Yaitu ketika suami berada jauh dan semua penghuni daerahnya mengungsi atau pindah, atau tersisa di sana orang-orang yang istri tidak merasa aman terhadap mereka atas jiwa dan hartanya. Dalam keadaan ini istri boleh ikut berpindah ke luar dan ia masih berhak menerima nafkah. Gugur pula kewajiban nafkah jika istri melakukan perjalanan dengan izin suami namun tujuan perjalanan itu adalah untuk kepentingan istri seperti silaturahim dengan keluarga istri atau untuk kepentingan orang lain. Dalam keadaan ini suami tidak wajib memberi nafkah karena istri tidak mungkin tamkin ketika bepergian. Berbeda jika suami mengizinkan istri bepergian sendiri untuk menyelesaikan kepentingan suami, dalam keadaan ini istri tetap wajib diberi nafkah, sebab istri telah melakukan tamkin (penyerahan diri) hanya saja suami yang menyiakan haknya.

Apabila suami ikut bepergian dengan istri walau pun tujuan bepergiannya adalah untuk kepentingan istri maka tidak gugur kewajiban nafkah. Kecuali jika suami melarangnya ikut namun istri tetap keluar sedangkan suami tidak mampu mengembalikannya. Dalam keadaan ini istri dianggap nusyudz dan terputus nafkahnya.

Jika istri menolak ajakan untuk pindah bersama suami maka gugur hak nafkahnya. Namun apabila suami bercumbu istri di masa penolakan tersebut, maka istri tetap wajib dinafkahi. Sebab percumbuannya itu dianggap sebagai bentuk kerelaan suami atas penolakan berpindah.

Termasuk nusyudz yang memutuskan nafkah jika istri mengaku telah talak bain (yang tidak mungkin rujuk) dari suami dengan dusta karena pengakuan itu pastinya didasari ketidak-sukaan terhadap suami. Adapun sekedar caci maki atau menyakiti dengan lisan maka itu tidak termasuk nusyudz dan tidak pula mengugurkan nafkah. Mungkin saja itu didasari akhlaknya yang buruk bukan karena ketidak sukaan terhadap suami. Ia hanya perlu diberikan didikan saja, dan yang berhak mendidikanya adalah suami sendiri. Tidak perlu melaporkan cacian istri kepada hakim karena itu hanya menimbulkan kesulitan, aib dan akan menyulitkan hubungan keduanya setelahnya.

Hal lain yang mengugurkan nafkah adalah nusuznya istri dengan murtad naudzu billahi min dzalik . Istri bisa kembali mendapatkan nafkah dengan kembali masuk ke dalam Islam sebelum selesainya iddah dengan syarat memberitahukan kepada suami. Begitupula jika seorang istri melakukan nusyudz di rumah seperti menolak disetubuhi kemudian suaminya pergi jauh. Ia bisa kembali mendapatkan nafkah dengan kembali taat kepada suaminya dengan cara memberitahukan kepada suaminya.

2. Usia

Pencegah nafkah kedua adalah usia istri yang masih kecil baik suami sama kecilnya atau sudah besar. Yang dimaksud kecil dalam masalah ini adalah yang belum sampai batas usia mampu untuk bersetubuh. Istri yang masih kecil tidak wajib diberi nafkah karena tidak mungkin suami memenuhi kebutuhan seksual darinya. Jika istri sudah besar yakni mungkin untuk disetubuhi sedangkan suami masih kecil maka istri berhak mendapatkan nafkah asalkan ia melakukan tamkin (penyerahan diri) kepada suami melalui wali dari suaminya.

3. Ibadah

Pencegah nafkah ketiga adalah terhalangnya istri dari tamkin karena sebab ibadah. Yang dibahas pertama adalah masalah haji dan umrah. Istri yang melakukan ihram haji atau umrah tidak lepas dari dua keadaan:

a. Dengan izin dari suami. Hukum masalah ini sama dengan hukum istri yang bepergian karena kepentingan dirinya. Jika suami ikut bersamanya, ia tetap berhak mendapatkan nafkahnya, tapi jika ia pergi sendiri maka nafkahnya gugur.

b. Tanpa izin suami. Jika istri melakukan ihram tanpa izizn suami maka suami boleh memerintahkan untuk ber tahallul (keluar dari ihram) baik dari haji sunah maupun haji wajib menurut pendapat yang kuat. Ini karena hak suami atas istri harus dilakukan segera sedangkan kewajiban haji tidak harus segera. Jika suami tidak memerintahkan tahallul, istri tetap berhak mendapatkan nafkah selama ia masih berada di rumah. Apabila istri telah keluar rumah untuk melakukan haji atau umrah maka gugur nafkahnya kecuali jika suami ikut bersama dengannya.

Masalah kedua adalah puasa. Suami tidak berhak mencegah istri untuk berpuasa Ramadhan. Dengan berpuasa Ramadhan istri tetap wajib diberi nafkah. Adapun puasa qodho Ramadhan, apabila waktu untuk mengqodho sudah sempit sekiranya tidak tersisa dari bulan Syakban kecuali seukuran hari yang ia tinggalkan maka suami tidak boleh melarangnya dan istri tetap berhak mendapatkan nafkah. Jika waktu untuk mengqodho masih lapang maka hukumnya sama dengan puasa sunah.

Mengenai puasa sunah, istri tidak boleh berpuasa sunah kecuali dengan izin suami. Jika suami mengizinkan, nafkahnya tidak gugur. Jika istri berpuasa tanpa izin, suami berhak memerintahkan untuk membatalkan puasanya, jika istri membatalkan puasa maka ia tetap mendapatkan nafkah. Jika tidak maka ia nafkahnya gugur. Dikecualikan dari masalah ini puasa sunah yang ditekankan setiap tahun seperti puasa Asyura dan puasa Arofah, suami tidak boleh melarang istri untuk melakukannya. Sedangkan puasa Senin dan Kamis, boleh bagi suami melarang istri untuk melakukannya.

Jika seorang lelaki melakukan akad nikah ketika istrinya dalam keadaan puasa sunah, maka ia tidak boleh memaksa untuk membatalkan puasa.

Mengenai puasa nadzar. Jika ketika nadzar istri tidak menentukan hari maka suami suami boleh melarang karena puasnya tidak harus dilakukan segera. Namun, jika istri menentukan hari saat bernadzar, maka hukumnya diperinci: Jika nadzarnya dilakukan sebelum nikah atau setelah nikah dengan izin suami maka suami tidak boleh melarangnya. Tapi jika nadzarnya dilakukan setelah nikah tanpa izin suami maka suami boleh melarangnya. Jika istri tetap melakukan puasa nadzar tanpa izin dan menolak ketika diperintahkan untuk membatalkan puasanya maka gugur nafkahnya.

Adapun puasa kafaroh, suami boleh melarang istri untuk melakukannya karena kewajiban melakukan puasa kafaroh tidak harus segera.

Masalah ketiga adalah shalat. Suami tidak boleh melarang istri melakukan shalat lima waktu atau menunda shalat lima waktu dari awal waktu. Ini karena masa melakukan shalat sebentar berbeda dengan ibadah haji dan puasa sunah.

Mengenai sahalat sunah ratibah (qabliyah dan badiyah), menurut pendapat yang shahih, suami tidak boleh melarangnya. Ini adalah sunah yang sangat ditekankan, namun suami boleh melarang istri memanjangkan shalatnya.

Suami boleh melarang istri melakukan shalat sunah mutlak . Begitupula diperbolehkan bagi suami melarang istri untuk keluar melaksanakan Shalat Ied atau Shalat Gerhana namun tidak boleh melarang untuk melakukannya keduanya di rumah. Adapun masalah shalat qodho dan shalat nadzar, hukumnya sama dengan masalah puasa qodho dan nadzar.

Masalah keempat adalah itikaf. Jika istri keluar untuk beritikaf sendirian dengan izin suami maka gugur nafkahnya. Berbeda jika suami ikut keluar bersamanya, ia tetap berhak mendapatkan nafkah.

Apabila istri melakukan itikaf tanpa izin suami maka hukumnya diperinci: Jika itikafnya adalah itikaf sunah atau nadzar mutlak (yang tidak menentukan waktu), atau nadzar muayan (yang menentukan waktu) namun dinazari setelah nikah tanpa izin suami maka gugur nafkahnya. Jika nadzarnya adalah nadzar muayan yang dilakukan sebelum menikah maka tidak gugur nafkahnya.

4. Iddah

Pencegah nafkah yang keempat adalah iddah. Iddah ada bermacam-macam. Apabila wanita berada dalam masa iddah raj`iyah (yang masih bisa dirujuk) maka ia masih berhak mendapatkan nafkah, pakaian, tempat tinggal dan semua yang diberikan kepada istri kecuali peralatan kebersihan sampai berakhirnya masa iddah. Baik ia sedang hamil atau tidak. Dikecualikan jika dalam masa iddah rajiyah ia melakukan nusyuz seperti keluar rumah tanpa izin, melakukan safar (bepergian) atau murtad maka gugur nafkahnya. Dalam masalah ini penolakan berhubungan seksual tidak mengugurkan nafkah karena memang dalam masa iddah tidak boleh terjadi hubungan seksual kecuali setelah rujuk.

Jika iddahnya adalah iddah bain (yang tidak bisa rujuk) baik karena sebab khulu atau karena sebab talak tiga, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan pakaian namun ia tetap wajib diberi tempat tinggal sampai berakhir iddah. Dikecualikan apabila ia dalam keadaan hamil maka suami wajib memberikannya nafkah serta pakaian sampai melahirkan selama tidak melakukan nusyudz . Jika mantan suami mengira ia hamil kemudian memberinya nafkah di masa iddah namun ternyata ia tidak hamil, maka ia boleh meminta kembali apa yang telah diberikan.

Adapun wanita yang mengalami iddah wafat, ia tidak mendapatkan nafkah apa pun meskipun ia sedang hamil.


Sumber: kitab Fiqh syafiiyah.