NII dan Akar Pendukung ISIS

 
NII dan Akar Pendukung ISIS

LADUNI.ID, Jakarta - Contoh paling mengemuka dari kelompok sel-sel jihad adalah kelompok di belakang pemboman di Sibolga pada Maret 2019 lalu. Kisah pemboman Sibolga dimulai oleh Asmar Husain alias Abu Hamzah, seorang ahli teknik listrik dan mantan anggota Darul Islam/Negara Islam Indonesia (NII) di Sibolga. Ia meninggalkan NII pada Tahun 2008 karena merasa organisasi itu lebih mementingkan bantuan daripada menyerukan jihad.

Tahun 2018 ia memasuki pertengahan usia tigapuluhan, dia dan istrinya, Marnita Sari Boru Hutauruk alias Solimah, dan beberapa temannya di Sibolga menjadi tertarik pada ISIS sejak tahun 2016 dan mulai mencari jaringan di internet untuk belajar lebih banyak tentang ISIS. Setelah juru bicara ISIS Abu Muhammad Al-Adnani mengeluarkan seruan kepada pendukungnya untuk mengambil amaliah di wilayah masing-masing jika mereka tidak dapat pergi ke Suriah, Abu Hamzah dan teman-temannya bersumpah setia (baiat) kepada al-Baghdadi dan memutuskan untuk melakukan serangan bom di Sibolga.

Abu Hamzah akan membuat bom, sementara seorang teman, Azmil Khair alias Ameng, membantu membiayai pembelian bahan peledak dari kegiatan bisnisnya. Mereka membeli "bubuk hitam" dalam jumlah besar (campuran kalium nitrat, karbon dan belerang) dari sebuah toko kimia di Sibolga. Abu Hamzah telah merencanakan menggunakan triacetone triperoxide (TATP), juga dikenal sebagai "ibu Setan", peledak favorit pembom ISIS dan yang digunakan dalam bom Sri Lanka, tetapi menolaknya karena dia tahu itu bisa sangat tidak stabil.

Dibantu oleh istrinya yang setidaknya sama radikal sepertinya, dia mengubah rumahnya menjadi semacam laboratorium bom. Sepanjang 2016 dan 2017, ia dan istrinya berhasil mencampur lebih dari 400 kg bahan peledak. Tetapi Abu Hamzah tidak puas dengan hasilnya karena bomnya masih berdaya ledak rendah.

Dia mempelajari bahan-bahannya dari internet lagi untuk membuatnya lebih kuat dan menemukannya, dengan menambahkan beberapa bahan kimia, termasuk bubuk aluminium. Pada 2018, Abu Hamzah telah berhasil menyiapkan sekitar 100 kg bahan berdaya ledak tinggi. Dia juga membuat beberapa detonator, menggunakan keterampilan listriknya. Kemudian pada Mei 2018, bom bunuh diri Surabaya terjadi, yang melibatkan tiga keluarga yang menyerang gereja atau dalam satu kasus, meninggal ketika bom meledak sebelum waktunya.

Pemboman tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan pendukung ISIS, terutama setelah Aman Abdurrahman, ulama radikal yang ditahan dan pendiri Jama`ah Ansharut Daulah (JAD), mengutuk serangan itu karena melibatkan perempuan dan anak-anak sebagai pembom. Abu Hamzah telah membahas masalah ini dengan istrinya, tetapi dia berpendapat bahwa keputusan Aman tidak dapat diikuti karena Aman berada di penjara, dan menurutnya, fatwa tahanan tidak perlu dipatuhi karena kemungkinan bahwa mereka dikeluarkan di bawah tekanan. Bom Surabaya juga meningkatkan tekad Abu Hamzah untuk melakukan pemboman serupa, yang juga akan melibatkan istri dan anak-anaknya.

Sebuah rencana serius baru mulai terbentuk setelah Abu Hamzah mengenal Rinto Sugianto alias Putra Syuhada melalui media sosial. Rinto sendiri berasal dari Lampung tetapi tidak pernah menjadi anggota cabang JAD di sana. Seperti Abu Hamzah, ia menjadi radikal melalui media online. Dia kemudian mulai mencari teman-teman baru di Facebook yang setuju dengan pandangannya dan yang memiliki kemampuan untuk membuat bom. Dia secara teratur memposting traktat pro-ISIS di halaman Facebook-nya, dan ketika seseorang berkomentar yang menurutnya menarik, dia akan menghubungi individu tersebut secara pribadi dan mengundangnya untuk berdiskusi di obrolan Facebook tertutup tentang melakukan serangan.

Meninggalkan Suami dan Anak-anak Demi Abu Hamzah

Anggota datang dari seluruh penjuru: Lampung, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan tempat lain. Pertemuan online antara Rinto dan Abu Hamzah tidak hanya menyatukan dua kelompok tetapi juga memperkuat keinginan keduanya untuk melakukan serangan. Dalam kelompok Abu Hamzah, hanya dia dan istrinya yang mau melakukan pemboman bunuh diri, sementara yang lain hanya bersedia membantu pendanaan. Tetapi Abu Hamzah membutuhkan lebih banyak orang. Tidak seperti biasanya bagi seorang teroris Indonesia, ia berpikir besar - ia ingin melakukan sesuatu yang kolosal meskipun ia tampaknya tidak pernah memikirkan target di luar Simbolga.

Grup Facebook Rinto memiliki banyak orang yang ingin bertindak, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk membuat bom. Ketika Abu Hamzah dan Rinto bertemu di Sibolga pada Februari 2019, mereka menyetujui penggabungan dua kelompok mereka. Ternyata istri Abu Hamzah Marnita bukan satu-satunya wanita yang ingin bertindak. Rinto menyarankan dua wanita dalam kelompoknya yang tampaknya paling antusias mengorbankan diri. Salah satunya adalah Roslina, dari Tanjung Balai. Dia adalah janda dari Hendry Syahli Manuring, seorang pendukung ISIS yang ditembak mati Detasemen 88 dalam sebuah operasi di Tanjung Balai pada Oktober 2018. Yang kedua adalah Yuliati Sri Rahayuningrum alias Khodijah, seorang pendukung ISIS dari Klaten.

Karena kedua wanita ini perlu datang ke Sibolga untuk mendapatkan instruksi dari Abu Hamzah, disepakati bahwa ia harus menikahi keduanya agar lebih mudah meninggalkan rumahnya. Marnita menyetujui skenario ini, dan dialah yang menghubungi Roslina dan Yuliati. Keduanya sangat ingin datang. Yuliati, yang sudah menikah, siap untuk meninggalkan suami dan keluarganya untuk menikahi Abu Hamzah. Setelah pernikahan, mereka berlima – Roslina, Yuliati, Marnita, Abu Hamzah dan Rinto berencana untuk melakukan pemboman bunuh diri yang terkoordinasi di beberapa kantor polisi di Sibolga.

Rinto kemudian kembali ke Lampung, dengan bom yang disiapkan oleh Abu Hamzah sebagai suvenir. Beruntung ia memberi tahu orang tuanya tentang rencananya itu, alih-alih mendapat restu orang tuanya untuk mati sebagai martir, orang tuanya melarang dia untuk bertindak. Ketika Rinto berkeras, orang tuanya melaporkannya ke polisi, dengan alasan lebih baik anak mereka ditangkap daripada kehilangan dia karena bom bunuh diri. Polisi setempat dan Detasemen 88 kemudian menangkap Rinto pada tanggal 9 Maret 2019 dan menyita bom Abu Hamzah yang disembunyikannya di bawah atap rumahnya.

Investigasi polisi yang dilakukan kemudian menghancurkan jaringan Sibolga. Pada 12 Maret 2019, Densus 88 menangkap Abu Hamzah, yang pergi secara diam-diam. Marnita yang menentang. Ketika polisi datang untuk menggeledah rumah, dia melempar bom dari atap, melukai seorang polisi. Dia menolak untuk menyerah, tinggal di rumah dengan setidaknya satu anak. Selama berjam-jam, polisi, tokoh masyarakat dan suaminya mencoba membujuknya untuk menyerah. Dia menolak, dan pada jam-jam awal 13 Maret, Marnita memilih untuk meledakkan dirinya bersama anaknya (anak kedua mungkin juga terbunuh tetapi ini masih belum jelas). Peristiwa tepatnya terjadi di Jalan KH Ahmad Dahlan, Gang Sekuntum, Pancuran Bambu, Sibolga, Sumatera Utara.

Bom yang diledakkannya memiliki daya ledak yang tak terbayangkan. Rumah Abu Hamzah dan tiga rumah yang berdekatan hancur total dan sekitar 150 rumah lainnya dalam radius 100 meter rusak parah. Itu adalah bom terbesar yang pernah dibuat oleh pendukung ISIS di Indonesia, dan itu bukan keajaiban bahwa tidak ada orang lain yang terbunuh. Polisi bergerak cepat untuk menangkap anggota jaringan Abu Hamzah di Sibolga dan jaringan Facebook Rinto di Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Di antara mereka adalah calon pengantin Abu Hamzah. Roslina alias Syuhama ditangkap di Tanjung Balai dan Yuliati alias Khodijah ditangkap di Klaten. Namun Yuliati memutuskan seperti pada Marnita bahwa lebih baik mati daripada ditahan, dan dia bunuh diri dalam tahanan dengan meminum cairan pembersih yang dia temukan di toilet. (Sumber: Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC)