Kontribusi Wakaf Nasional Menuju Indonesia Maju

 
Kontribusi Wakaf Nasional Menuju Indonesia Maju

LADUNI.ID, Jakarta- Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, merupakan dasar untuk menjadikan wakaf sebagai salah satu instrument kekuatan ekonomi  nasional menuju Indonesia maju dalam kehidupan berkeadilan dan kemakmuran.

Bahkan, untuk mendukung suksesnya harapan tersebut, selain  lahir  Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada Tahun 2007, diikuti juga dengan tumbuhnya institusi-instusi perekonomian syariah di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Semuanya punya peran yang sangat strategis dalam pengembangan perwakafan nasional. Demikian juga peran Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai regulator dan cikal bakal lahirnya BWI. Saat ini, masih ada  Direktorat Peembinaan Wakaf dan Zakat, Direktorat Jenderal Bimas  Islam, Kemenag.

Lembaga-lembaga tadi (BI, Kemenkeu, OJK, DSN serta Kemenag dan kalangan penggiat wakaf) berstatus sebagai stakeholder atau pemangku kepentingan. Faktanya saat ini,  gerakan perwakafan nasional  diwarnai kesibukan atau aktifitas berbagai kegiatan dari para pemangku kepentingan tadi dengan BWI sebagai leading sectornya.

Dalam struktur Bank Indonesia, terdapat Derektorat Ekonomi Syariah (DES) yang membawahi wakaf, zakat, infaq dan shodaqah. Institusi itu didukung tenaga-tenaga professional di bidangnya masing-masing hingga sekitar 50 an orang.

Mereka aktif melakukan berbagai kegiatan pembahasan masalah yang terkait dengan perwakafan nasional. Langkah-langkah kerjasama dengan BWI,  antara lain menghasilkan rumusan Waqf Core Prnciples (WCP) yang merupakan Prinsip-prinsip Pokok Manajemen Pengelolaan Wakaf.

Konsep ini pertamakali diluncurkan saat berlangsungnya Annual Meeting World Bank dan IMF di Bali, Oktober 2018 lalu. Saat ini konsep tersebut sedang dipelajari oleh Islamic Development Bank (IDB) untuk selanjutnya akan menjadi pedoman managerial pengelolaan wakaf di kalangan ngara-negara Islam.

Demikian juga di Kemenkeu. Masalah Wakaf berada dibawah Badan Kebijakan Fiskal bersama ekonomi syariah lainnya. Saat ini, bersama BWI dan penggiat wakaf, mereka bersama-sama menawarkan Cash Waqf Linked SUKUK (CWLS). Ini merupakan pinjaman syariah negara dengan status sebagai investasi.

Sebagai investor, para penggiat wakaf atau nazhir akan mendapatkan manfaat dari investasi itu yang bisa digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan mauquf alaih (penerima manfaat wakaf) dalam jangka waktu tertentu atau minimal 5 (lima) tahun. Untuk selanjutnya, pokok investasi tadi, bisa kembali kepada nazhir wakaf dengan nilai sama atau, bisa lebih kalau manfaat investasi itu tidak terpakai semuanya bagi kepentingan mauquf alaih tadi.

CWLS ini sekarang digandrungi oleh perusahaan-perusahaan yang ingin menyalurkan dana CSR (Corporate Social Responsibility), yakni dana tanggungjawab social dari suatu perusahaan yang menjadi kewajiban mereka untuk membantu masyarakat sekitarnya.

Cuma yang menjadi masalah, dana CSR tadi kalau sudah dikeluarkan  dari buku asset atau kekayaan milik perusahaan tersebut, sudah menjadi milik masyarakat, bukan milik perusahaan itu lagi. Padahal ketentuan investasi CWLS, dana itu kembali kepada perusaahaan pemilik dana tersebut.

Untuk itu, dana CSR tersebut harus diakadkan sebagai harta wakaf yang diserahkan kepada nazhir sebagai pengelolanya yang pemanfaatannya sesuai keinginan pemberi CSR tadi atau  untuk pembangunan perumahan yang nantinya akan diserahkan kepada mauquf alaih sesuai ikrar yang disampaikan pihak wakif.

Sekarang CWLS diminati sejumlah pemerintah daerah, seperti Pemda Provinsi Riau, Pemda Provinsi Kalimantan Timur dan sejumlah Bupati dan Walikota lainnya. Mereka ingin membangun perumahan untuk karyawannya dengan system CWLS tadi, karena dana tersebut tetap utuh dan bisa digunakan secara terus menerus secara bergulir unttuk pembangunan perumahan bagi karyawan lainnya secara bertahap.

Dengan cara seperti itu, maka pihak karyawan tidak perlu membeli rumah tersebut, karena mereka memanfaatkan nilai manfaat dari dana wakaf tadi. Bisa diharapkan, sukses CWLS ini akan diikuti Pemda-Pemda yang ada di seluruh Tanah Air. Ini berarti perwakafan nasional  memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terwujudnya Indonesia Maju yang menjadi tagline HUT Kemerdekaan RI ke 74 tahun 2019 ini. 

Sedangkan peran OJK sebagai pemangku kepentingan perwakafan, adalah dalam bidang penyediaan perbankan syariah sebagai penerima wakaf uang (LKS PWU-Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang). Demikian juga terkait dengan Wakaf Saham, dimana pembinaan dan pengawasan Bursa Efek Indonesia (BEI) sekarang berada di bawah OJK.

Sebelum OJK lahir, pembinaan dan pengawasan bursa efek dibawah Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) yang merupakan institusi di Kemenkeu. Sedangkan pembinaan dan pengawasan perbankan ada di bawah BI. Sekarang pembinaan dan pengawasan ke dua institusi perekonomian itu ada di bawah OJK.

Untuk DSN yang merupakan lembaga di MUI, punya peran  terkait dengan penentuan, apakah suatu wakaf (yang baru) memenuhi syarat syar’i atau tidak. DSN akan memberikan fatwa secara syar’i atau sesuai Hukum Islam atas status wakaf yang baru atau belum ada ketentuan dalam perwakafan yang sudah berkembang di masyarakat.

Sementara itu, Kemenag selama ini punya Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) dalam pembinaan dan pengawasan perwakafan nasional. Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf untuk menjadikan  perwakafan nasional bisa dikembangkan secara maksimal. Karena sebenarnya, potensinya  di negara kita  luar biasa besarnya.

Itu menjadi tantangan BWI dan para pemangku kepentingan serta para penggiat wakaf yang saat berkembang sangat pesat juga. Seperti sering ditekankan oleh Ketua Badan Pelaksaana BWI, Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA, ‘’Kita harus menjadikan potensi wakaf itu,  menjadi kekuatan nyata. Dasar BWI untuk menjadikan potensi itu sebagai kekuataan riil, sudah ada. Tinggal kita harus kerja keras.  Ayo bismillah, insya Allah sukses,’’ tegasnya dalam berbagai kesempatan ceramahnya.

Meski demikian, dalam beberapa rapat kordinasi di daerah-daerah, muncul tuntutan perlunya revisi atas UU Tentang Wakaf yang lahir 15 Tahun lalu yang selama ini belum pernah mengalami revisi sama sekali. Jadi, revisi itu sebagai suatu upaya agar usaha-usaha pergerakan pembangunan perwakafan nasional bisa lebih maksimal. 

Yang jelas, di sejumlah negara Islam, khususnya Timur Tengah, pengelolaan harta wakaf berada dalam suatu kementerian tersendiri. Seperti di Arab Saudi ada Kementerian Haji dan Wakaf. Demikian juga di Mesir, ada kementerian seperti itu. Faktanya, perkembangan wakaf di dua negara tersebut, dan sejumlah negara lainnya, yang juga mengelola wakaf secara optimal, perkembangannya luar biasa pesatnya.

Bisakah Perwakafan Nasional berkembang seperti di negara-negara tersebut?
Wallahu 'alam

Oleh : Bahar Maksum (staff Husoli BWI)