Wali Fasik Dalam Nikah

 
Wali Fasik Dalam Nikah
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sifat wali nikah haruskah adil atau boleh dengan wali fasik, sebagai berikut perbedaan diantara mereka:
Wali dalam mazhab Asy-Syafi’i harus adil. Jadi wali yang fasik seperti tidak salat, tidak puasa, peminum, penjudi dan semisalnya tidak sah menjadi wali nikah. An-Nawawi menyebut ada 5 hal yang membuat perwalian seorang wali tidak sah yaitu: perbudakan, uzur yang membuat tidak mampu untuk meneliti calon suami (seperti gila, masih anak-anak, pikun, koma, mabuk, sakit berat), kefasikan, beda agama dan dalam kondisi Ihram

An-Nawawi berkata, “pendapat terkuat dalam mazhab Asy-Syafi’i adalah terlarangnya perwalian orang fasik”[1]
Al-Bujairimi juga berkata,  “keabsahan nikah tergantung kehadiran saksi, sifat adil pada mereka dan sifat adil pada wali”[2]
Adapun menurut mazhab Hambali dalam satu riwayat berpendapat bahwa tidak disyaratkan adil bagi seorang wali, maka sah perwalian orang fasik dalam pernikahan.[3]

Namun di riwayat yang lain Hambali yang juga menurut Syafi’ berpendapat bahwa adil adalah sifat yang harus ada pada wali.[6]
Menurut Ibnu Utsaimin, beliau berpendapat dengan perincian sebagai berikut; apabila kefasikan sang wali tersebut akan berkonsekwensi dengan Tindakan menikahkan sang wanita dengan orang -orang fasik, maka gugur perwalian darinya. Dan apabila kefasikannya tidak berdampak pada hal-hal yang demikian, maka perwaliannya sah.

Status Seseorang yang Meninggalkan Shalat
Hukum meninggalkan shalat karena Mengingkari kewajibannya: barang siapa yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibanya dan tidak ada alasan lain maka orang ini adalah kafir.[4] Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma ahlu ilmi wal iman, maka kekufuranya lebih besar dari pada yang meninggalkannya karena meremehkannya.

Hukum meninggalkan shalat karena malas atau tidak mengingkari kewajibannya: bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan : Madzhab Syafi’i merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas dihukumi sebagai orang fasik. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al -Hawi Kabir fie madzhab Imam asy Syafi’I Beliau menyebutkan bahwa pendapat madzhab Syafi’I menyatakan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat.[5]

Pendapat ini juga yang diambil oleh madzhab Maliki dan Hanafi, dan juga satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana perkataan Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata: “jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak menentang kewajibannya.” Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal.

Pendapat yang kuat dari kalangan Madzhab Hambali adalah orang yang meninggalkan shalat tanpa ada alasan syar’i dihukumi sebagai orang kafir, sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hanbal: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.[6]

Hukum Wali Nikah yang Tidak Shalat
Jika dia meninggalkan shalat karena tidak meyakini shalat adalah wajib maka tidak diperbolehkan baginya menjadi wali bagi seorang Muslimah. Hal ini telah menjadi kesepakatan seluruh ulama, karena salah satu syarat yang disepakati oleh para ulama adalah kesamaan agama.

Jika dia meninggalkan shalat karena malas atau lalai sehingga dihukumi fasik maka boleh dan tidaknya ia menjadi wali terdapat perbedaan pendapat diantara empat imam madzhab:
Menurut madzhab Syafi’i, pendapat yang rajih dikalangan mereka adalah tidak boleh orang yang fasik menjadi wali nikah, karena menurut pendapat yang kuat dikalangan mereka bahwa adil adalah syarat bagi wali. Maka orang yang tidak shalat tidak boleh menjadi wali karena orang yang meninggalkan shalat menurut madzhab Syafi’i adalah fasik. Sehingga jika pernikahan sudah terlanjur terjadi dengan wali yang tidak shalat maka pernikahannya tidak sah dan harus diulangi akadnya.

Menurut mayoritas madzhab Hambali orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, maka tidak sah perwalian orang kafir dalam pernikahan seorang Muslimah. Namun dalam satu riwayat dari madzhab Hambali berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat, namun dihukumi fasik. sehingga untuk hal ini ada dua pendapat mengenai keabsahan perwaliannya; bagi yang memilih pendapat bahwa adil adalah syarat bagi wali nikah maka tidak boleh orang yang tidak shalat menjadi wali nikah.

Namun bagi yang mengikuti pendapat lain yaitu tidak disyaratkan adil bagi wali maka boleh bagi orang yang tidak shalat menjadi wali nikah. Karena dalam madzhab Hambali sendiri terdapat dua pendapat tentang syarat adil bagi wali, ada yang mensyaratkan dan ada yang tidak.
Menurut pendapat masyhur madzhab Maliki, orang yang meninggalkan shalat tidak dihukumi kafir namun hanya fasik, dan dalam pendapat masyhur Maliki pula, adil bukanlah syarat yang harus ada pada wali nikah, sehingga orang yang tidak shalat (yang berarti ia fasik) menurut Madzhab Maliki boleh untuk menjadi wali nikah bagi wanita Muslimah.

Menurut madzhab Hanafi ada dua pendapat mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat. Ada yang berpendapat kafir dan ada yang berpendapat fasik. Namun pendapat yang kuat dikalangan mereka adalah yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat.

Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah kami paparkan diatas, bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah  Shallallahu ’Alaihi Wa sallam serta pendapat para ulama mengenai wali nikah orang yang tidak shalat, dapat kami simpulkan : Status orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya adalah kafir, hal ini sudah menjadi ijma’ para ulama dan juga umat Islam. Sedangkan orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, menurut mayoritas ulama adalah fasik, meskipun ada sebagian yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa mengingkari kewajibannya adalah kafir sebagaimana madzhab Hambali. Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat ijma’ ulama.

Status wali nikah yang tidak shalat: Bagi yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, maka tidak diperbolehkan baginya menjadi wali bagi seorang muslimah. Sehingga pernikahan yang terjadi dengan wali yang tidak shalat adalah tidak sah dan harus mengulang akad.
Sedangkan bagi yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidaklah kafir, namun hanya dihukumi fasik maka bagi yang berpendapat syarat wali harus adil maka akadnya tidak sah, konsukwensinya akad harus diulang.

Keterangan, dalam kitab: Al-Qulyubi ‘Alal Mahalli [7]

لاَ وِلاَيَةَ لِفَاسِقٍ عَلَى الْمَذْهَبِ قَالَ الْمَحَلِّي: وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَلِي لِأَنَّ الْفَسَقَةَ لَمْ يُمْنَعُوْا مِنَ التَّزْوِيْجِ  فِيْ عَصْرِ اْلأَوَّلِيْنَ

Menurut mazhab (Syafi’i, yang pertama) orang fasik tidak boleh menjadi wali. Sedang menurut Al-Mahalli, pendapat kedua, bahwa orang fasik boleh menjadi wali, karena orang-orang fasik pada masa Islam pertama tidak dilarang untuk mengawinkan.

Namun bagi yang berpendapat bahwa adil bukanlah syarat bagi wali maka akadnya sah dan tidak perlu di ulangi kembali. Wallahua’lam bish shawab.

Footnote :
[1] Abu Zakariya Muhyiddin yahya ibn Syarif An Nawawi, Raudhotut Tholibin Wa Umdatul Muftiin, cet.2 Bierut, Al Maktab Al Islami, juz 7, hlm 64.
[2] Hasyiyah Al-Bujairimi, juz 4 hlm 219
[3] Lihat, Al Inshaf lil Mawardi, jilid 8, hal.74 35 Hasyiyah Al-Bujairimi, juz 4 hlm 219.
[4] As-syarbini, syamsudin Muhammad bin khatib, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Alfadhu Minhaj: daar ma’rifah jilid 1 hal 487
[5] Al Mawardi, Ali bin Muhammad, Al Hawi Kabir fie madzhab Imam Asy Syafi’I , Libanon: Dar Kutub Al Ilmiyyah, 1994, cet. I, jilid: II, hal. 525.
[6] Syaikh muhammad shalih bin al-‘utsaimin, Hukum orang yang meninggalkan shalat, penjelasan. Muhammad Yusuf Harun, MA, hlm. 6
[7]    Syihabuddin Al-Qulyubi, Hasyiyah Al-Qulyubi ‘ala Al-Mahalli, (Beirut: Dar al-Fikr, 1424/2003 M), Jilid III, h. 228.

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 9 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 8 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

Editor : Sandipo