Uang Kertas Dipergunakan untuk Zakat

 
Uang Kertas Dipergunakan untuk Zakat

Pertanyaan :

Bolehkah uang kertas dipergunakan untuk menjadi zakat uang kertas juga?.

Jawab :

Tidak boleh. Catatan : Demikian itu apabila uang kertas tersebut dianggap sebagai bukti utang (mengingat standarnya adalah uang emas) dan apabila uang kertas tersebut dianggap sebagai benda biasa (tidak mengingat standarnya dari uang emas) maka tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, sebagaimana keputusan Muktamar ke-3 soal nomor 48, bahkan demikian itu yang dipilih oleh Muktamar sebagai keputusannya pada Muktamar ke –5 soal nomor 90 (pen).

Keterangan, dalam kitab:
Mauhibah Dzi al-Fadhl [1]

وَلَمْ يُبَيِّنْ مَا أَخْرَجَهُ عَنْهَا هَلْ ذَهَبٌ أَوْ فِضَّةٌ وَالظَّاهِرُ أَنْ يُخْرِجَهَا فِضَّةً لِأَنَّ الْمَشْهُوْرَ أَنَّ صُوْرَةَ الْمَكْتُوْبِ فِيْهَا قِيْمَةُ الدَّرَاهِيْمَ مِنَ الرُّوْبِيَّاتِ وَالرِّيَالاَتِ لاَ الدَّنَانِيْرَ. إهـ.

Dan beliau tidak menjelaskan apa yang dikeluarkan, apakah emas atau perak? Menurut pendapat yang kuat, ia harus mengeluarkannya dalam bentuk perak, karena yang terkenal adalah bahwa gambaran yang tertulis padanya adalah nilai dirham dari rupiah dan real, bukan dinar.
Syams al-Isyraq [2]

إِذَا عَلِمْتَ هَذَا كُلَّهُ أَنَّ اْلإِحْتِمَالَ الثَّانِي فِيْ وَرَقِ النَّوْطِ أَعْنِي احْتِمَالَ كَوْنِهِ كَالْفُلُوْسِ هُوَ الاحْتِمَالُ الرَّاجِحُ وَاْلأَحْوَطُ فِي الاحْتِمَالَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ فِيْهِ لِقُوَّةِ دَلِيْلِهِ أَمَّا أَوَّلاً فَلِأَنَّهُ إِمَّا قِيَاسٌ بِجَامِعٍ أَوْ تَخْرِيْجٌ عَلَى قَاعِدَةٍ تَشْمَلُهُ كَغَيْرِهِ وَتِلْكَ الْقَاعِدَةُ هِيَ كُلُّ عَرَضٍ جَرَى بَيْنَ النَّاسِ مَجْرَى الْعَيْنِ [3]

يَتَحَقَّقُ فِيْهِ وَجْهَانِ وَجْهٌ كَوْنُهُ كَالْعُرُوْضِ وَوَجْهٌ كَوْنُهُ كَالْعَيْنِ وَالنَّقْدِ .

Jika Anda mengetahui ini semua bahwa kemungkinan yang kedua perihal uang kertas, yakni kemungkinan keberadaannya sama dengan fulus (uang logam) merupakan kemungkinan yang lebih unggul dan lebih berhati-hati, karena kuatnya dalil atasnya. Adapun yang pertama maka karena berdasarkan qiyas dengan satu titik temu atau mentakhrij pada kaidah yang mencakupnya, sebagaimana selainnya. Maksud kaidah tersebut adalah: “Semua benda yang berlaku dimasyarakat sebagaimana emas dan perak (sebagai alat tukar), maka di dalamnya ada dua dua sudut pandang.

Pertama, keberadaannya seperti komoditas (barang)
Kedua, keberadaannya seperti emas dan perak (alat tukar).

[1]   Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fdhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Jilid IV, h. 30.
[2]   Muhammad Ali al-Maliki, Syams al-Isyraq fi Hukmi al-Ta’amuli bi al-Arwaq, (Indonesia, Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah, t. th.), h. 105.
[3] Maksud kata الْعَيْنِ dalam redaksi ini adalah النَّقْدَيْنِ (emas dan perak). Lihat, Muhammad Ali bin Husain al-Makki al-Maliki, Tahdzib al-Furuq wa al-Qawa’id al-Saniyah fi al-Asrar al-Fiqhiyah dalam Anwar al-buruq fi Anwa’ al-Furuq, (…: ‘Alam al-Kutub, t. th.), Juz  III, h. 251. (Pen.).

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.65 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-4 Di Semarang Pada Tanggal 14 Rabiuts Tsani 1348 H. / 19 September 1929 M.