Penjelasan Asma Allah yang Hurufnya Terpisah-pisah

 
Penjelasan Asma Allah yang Hurufnya Terpisah-pisah

Asma Muazhzhamah yang Hurufnya Terpisah-pisah

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya Asma Muazhzhamah yang hurufnya telah terpisah-pisah. Apakah sifat keagungannya masih tetap?

Jawab :

Para ulama berselisih pendapat tentang masih tetapnya keagungan nama-nama yang (diagungkan) sesudah dipisah-pisahkan hurufnya. Ada yang berpendapat tetap, dan ada pula yang berpendapat hilang keagungannya.

Keterangan: Dalam kitab:

  1. Al-Fatawa al-Kubra[1]

قَالَ ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ اْلأَوْلَى غَسْلُهَا أَي الْوَرَقَةِ الْمُلْقَاةِ لِأَنَّ وَضْعَهَا فِي الْجِدَارِ تَعْرِيْضٌ لِسُقُوْطِهَا وَاْلاِسْتِهَانَةِ. وَقِيْلَ تُجْعَلُ فِيْ حَائِطٍ. وَقِيْلَ يُفْرَقُ حُرُوْفُهَا وَيَلْقِيْهَا ذَكَرَهُ الزَّرْكَشِيُّ إِلَى أَنْ قَالَ: فَالْوَجْهُ الثَّالِثُ شَاذٌ لاَ يَنْبَغِيْ أَنْ يُعَوَّلَ عَلَيْهِ فَإِنْ قُلْتَ وَجْهُ الضَّعِيفِ أَيْضًا أَنَّ هَذِهِ الْحُرُوْفَ لَمَّا رُكِّبَ مِنْهَا هَذَا اْلاسْمُ الْمُعَظَّمُ ثَبَتَ لَهَا التَّعْظِيْمُ فَتَفْرِيْقُهَا بَعْدَ ذَلِكَ لاَ يُوْجِبُ اِهْدَارَ مَا ثَبَتَ لَهَا. قُلْتُ إِنَّمَا يَأْتِي ذَلِكَ عَلَى مَا مَالَ إِلَيْهِ السُّبُكِيّ مِنْ أَنَّ الْحُرُوْفَ الْمُقَطِّعَةَ حُكْمُهَا حُكْمُ الْكَلِمَاتِ الشَّرِيْفَةِ وَمُقْتَضَى كَلاَمِهِمْ خِلاَفُهُ.

Ibn Abdissalam berpendapat, yang terbaik adalah mencuci kertas yang bertuliskan asma Allah yang terjatuh di jalan, karena meletakkannya di dinding dapat menyebabkannya terjatuh dan terlecehkan.

Menurut  suatu pendapat, kertas itu cukup diletakkan di dinding. Menurut pendapat lain yang disebut al-Zarkasyi, kertas tersebut huruf-huruf tulisannya dipisah-pisah dan dibuang, Maka pendapat yang ketiga itu adalah pendapat yang syadz (menyimpang) yang tidak boleh diikuti.

Jika anda berkata: “Yang juga menjadi kelemahan juga adalah niscaya huruf-huruf tersebut bila telah digunakan untuk menyusun nama agung (asma Allah Swt.), maka harus diagungkan. Oleh sebab itu, pemisahannya tidak bisa merusak keharusan mengagungkannya.” Maka saya jawab: “Pendapat seperti itu hanya muncul berdasarkan pendapat yang disetujui al-Subki, yaitu niscaya huruf-huruf yang dipisah-pisah hukumnya seperti kata-kata mulia, sedangkan kesimpulan pendapat ulama bertentangan dengannya.”

[1] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid I, h. 35-36.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 106

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-5

Di Pekalongan Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M.