Hukum Narapidana Menyelenggarakan Shalat Jum’at

 
Hukum Narapidana Menyelenggarakan Shalat Jum’at
Sumber Gambar: Foto Ron Lach / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Shalat Jum'at adalah kewajiban bagi seorang yang sudah mukallaf dan sudah memenuhi kriteria kewajiban melaksanakannya. Islam melarang dengan tegas melarang bagi seorang muslim meninggalkan shalat Jum'at tanpa ada alasan udzur menurut syara. Adapun yang dimaksud udzur tersebut seperti sakit, sedang dalam perjalanan atau bepergian, sedang menjalankan tugas yang jika tidak dilaksanakan akan menimbulkan kemudharatan, dan lain sebagainya.

Mengenai kondisi udzur tersebut, ada kelompok orang yang secara kategori bisa termasuk dalam kelompok udzur atau tidak yaitu seorang narapidana. Apakah narapidana termasuk dalam kelompok yang tidak dikenakan kewajiban melaksanakan shalat Jum'at?

Bagi narapidana yang mendapatkan izin dan fasilitas dari petugas untuk melaksanakan shalat Jum'at di luar penjara atau di suatu tempat tertentu, maka hukumnya adalah wajib dengan catatan ketika melaksanakan shalat Jum'at harus terpenuhi syarat-syarat sahnya shalat Jum'at. Namun jika narapidana tidak diberikan izin dan fasilitas oleh petugas untuk melaksanakan shalat Jum'at di luar penjara, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Menurut pendapat Imam Al-Subuki, tidak diperbolehkan bagi narapidana untuk melaksanakan shalat Jum'at di dalam penjara dikarenakan uzdur yang menimpa mereka.

Baca Juga: Hukum Shalat Jumat di Masjid yang Dibangun di Luar Batas Desa

Sedangkan menurut pendapat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra menjelaskan bahwa narapidana yang tidak diizinkan keluar oleh petugas wajib melaksanakan shalat jum'at jika syarat-syarat wajib dan keabsahan Jum'atnya terpenuhi, serta tidak khawatir menimbulkan gejolak ketika mereka mendirikan Jumat di penjara. Syarat tersebut adalah jika di dalam penjara terdapat 40 Muslim laki-laki yang dapat mengesahkan pelaksanaan Jum'at, maka wajib bagi mereka untuk melakukannya. Jama'ah shalat Jum'at yang wajib dan menjadikan sah shalat Jum'at adalah Muslim yang baligh, berakal, merdeka, laki-laki, tidak sedang mengalami udzur yang membolehkannya meninggalkan shalat Jum'at dan merupakan penduduk yang bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin). Jika tidak terpenuhi syarat wajib dan keabsahan Jumat tersebut, maka mereka tidak wajib melaksanakan Jumat di dalam penjara.

وسئل نفع الله به هل يلزم المحبوسين إقامة الجمعة في الحبس فأجاب بقوله القياس أنه يلزمهم ذلك إذا وجدت شروط وجوب الجمعة وشروط صحتها ولم يخش من إقامتها في الحبس فتنة لكن أفتى غير واحد بأنها لا تلزمهم مطلقا وقد بالغ السبكي فقال لا يجوز لهم إقامتها وإن جاز تعددها وهو بعيد جدا وإن أطال الكلام فيه في فتاويه

"Syekh Ibnu Hajar ditanya, apakah para narapidana wajib melaksanakan Jum'at di dalam penjara?. Beliau menjawab, sesuai hukum qiyas, wajib bagi mereka menjalankannya apabila terpenuhi syarat sah dan syarat wajib Jum'at serta tidak menimbulkan fitnah saat melaksanakan Jum'at di dalam penjara. Akan tetapi lebih dari satu orang ulama berfatwa tidak wajib secara mutlak. Al-Imam Al-Subuki melebih-lebihkan dalam persoalan ini, beliau mengatakan, tidak diperbolehkan bagi mereka untuk melaksanakan Jumat meski boleh Jumat dilakukan secara berbilangan. Ini pendapat yang sangat jauh dari kebenaran, meski beliau panjang lebar menjelaskan argumennya di beberapa fatwanya"

Sedangkan terkait hukum sahnya shalat Jum'at yang dilaksanakan oleh narapidana di dalam penjara, maka hal itu tidak sah. Karena narapidana tidak termasuk dalam kelompok penduduk tetap (mustauthin), melainkan mereka mungkin hanya bisa disebut mukim saja karena pada suatu saat nanti mereka akan kembali ke daerah asalnya setelah masa hukumannya selesai.

Baca Juga: Hukum Menyelenggarakan Shalat Jum’at Di Kantor

Mengutip jawaban dari hasil Keputusan Muktamar NU Ke-8 di Jakarta pada Tanggal 12 Muharram 1352 H/7 Mei 1933 M bahwa shalat Jum'at yang dilaksanakan oleh orang yang dihukum selama hidup atau orang yang dihukum secara terbatas hukumnya tidak sah menurut Qaul Azhhar dan menurut semua pendapat ulama. Berikut jawabannya:

"Tidak sah Jum’atnya orang yang dihukum selama hidup menurut Qaul Azhhar, dan pula tidak sah bagi orang-orang yang dihukum terbatas, menurut semua pendapat ulama"

Jawaban tersebut berdasarkan keterangan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj ‘ala Al-Minhaj karya Imam Muhammad Khathib As-Syarbini

(وَلَوْ لاَزَمَ أَهْلُ الْخِيَامِ الصَّحْرَاءَ)
أَي مَوْضِعًا مِنْهَا (أَبَدًا) وَلَمْ يَبْلُغْهُمْ النِّدَاءُ مِنْ مَحَلِّ الْجُمْعَةِ (فَلاَ جُمْعَةَ) عَلَيْهِمْ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُمْ (فِي اْلأَظْهَرِ) لِأَنَّهُمْ عَلَى هَيْئَةِ الْمُسْتَوْفِزِيْنَ وَلَيْسَ لَهُمْ أَبْنِيَةُ الْمُسْتَوْطِنِيْنَ

"Seandainya penghuni kemah berdomisili selamanya di padang pasir dan mereka tidak mendengar seruan adzan dari tempat shalat Jum’at, maka mereka tidak wajib shalat Jum’at dan (andaikan shalat Jum’at pun)  tidak sah menurut qaul Al-Azhhar. Karena mereka seperti kalangan nomaden (selalu berpindah-pindah) dan tidak memiliki bangunan tempat tinggal"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 09 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.


Referensi:
1. Kitab Al-Fatawa Al-Kubra karya Ibnu Hajar Al-Haitami dalam
2. Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 143