Meresmikan Tempat Ibadah Agama Non Muslim

 
Meresmikan Tempat Ibadah Agama Non Muslim

Meresmikan Tempat Ibadah Agama Non Muslim

Tuntunan ibadah terkait hukum seorang muslim yang meresmikan tempat ibadah untuk agama lain.

A. Deskripsi Masalah

Dalam kehidupan keberagamaan yang heterogen sikap tasamuh (toleran) antar umat beragama menjadi sebuah keniscayaan. Islam pun menghargai nilai-nilai toleransi terhadap pemeluk agama lain dalam koridor dan batas yang telah ditentukan.

Akan tetapi, umat Islam tetap wajib menjaga serta memelihara keutuhan iman tanpa tercemari keyakinan agama lain, terkait dengan keyakinan yang secara jelas bertentangan dengan Islam dan tergolong tindak kekufuran dan kemusyrikan.

B. Pertanyaan

Bagaimanakah hukum seorang muslim meresmikan tempat ibadah agama lain?.

C. Jawaban

Meresmikan tempat ibadah agama lain pada dasarnya adalah haram. Bahkan bisa menjadi kufur bila disertai ridha terhadap kekufuran. Kecuali bagi seorang muslim yang terpaksa (mukrah) dalam pandangan syar’i sedangkan hatinya tetap beriman.

 

D. Dasar Penetapan

Al-Qur’an

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (QS. Al-Maidah: 2).

1. Ahkam al-Qur’an [1]

وَقَوْلُهُ تَعَالَى:  نَهْىٌ عَنْ مُعَاوَنَةِ غَيْرِنَا عَلَى مَعَاصِي

Dan Firman Allah Swt.: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” adalah larangan menolong orang selain kita (umat Islam) dalam berbuat maksiat kepada Allah Swt.

 

2. Tafsir al-Qur’an al-Azhim [2]

وَقَوْلُهُ تَعَالَى:  وَيَنْهَاهُمْ عَنِ التَّنَاصُرِ عَلَى الْبَاطِلِ وَالتَّعَاوُنِ عَلَى الْمآثِمِ وَالْمَحَارِمِ

Dan Firman Allah Swt.: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” maksudnya adalah Allah melarang umat Islam dari saling bantu-membantu berbuat batil dan tolong-menolong berbuat dosa dan haram.

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya. Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al-Maidah: 2)

 

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, makakemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. Al-Nahl: 106)

 

Al-Sunnah

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ : قَالَ لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang lebih sempit.” (HR. Muslim)

 

3. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3]

قَوْلُهُ وَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضطَّرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ قَالَ أَصْحَابُنَا لَايُتْرَكُ لِلذِّمِيِّ صَدْرُ الطَّرِيْقِ بَلْ يُضطَّرُ إِلَى أَضْيَقِهِ إِذَا كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَطْرُقُونَ فَإِنْ خَلَتِ الطَّرِيقُ عَنِ الزَحْمَةِ فَلَاحَرَجَ قَالُوا وَلْيَكُنِ التَّضْيِيقُ بِحَيْثُ لَايَقَعُ فِي وَهْدَةٍ وَلَايَصْدُمُهُ جِدَارٌ وَنَحْوُهُ وَاللهُ أَعْلَمُ

Sabda Rasulullah Saw.: “Dan bila kalian berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang lebih sempit.” Menurut Ashhab al-Syafi’i, bila orang-orang Islam sedang lewat di jalan, maka orang-orang kafir dzimmi tidak diberi jalan di tengah, tapi dipinggir. Sedangkan bila jalannya sedang tidak penuh maka tidak apa-apa (mereka berjalan di tengah). Para Ashhab mengemukakan bahwa peminggiran tersebut sekiranya tidak menjatuhkan orang dzimmi itu ke dalam jurang, terbentur tembok atau yang semisalnya. Wallahu a’lam.

 

Aqwal al-Ulama

4. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam [4]

الْمِثَالُ السَّادِسُ وَالثَّلَاثُونَ التَّقْرِيرُ عَلَى الْمَعَاصِي كُلِّهَا مَفْسَدَةٌ لَكِنْ يَجُوزُ التَّقْرِيرُ عَلَيْهَا عِنْدَ الْعَجْزِ عَنْ إنْكَارِهَا بِالْيَدِ وَاللِّسَانِ

Contoh yang ketiga puluh enam: Membiarkan maksiat, semuanya adalah mafsadah. Namun ketika tidak mampu melawannya dengan kekuasaan maupun lisan, maka boleh membiarkannya.

 

5. Al-Iqna’ [5]

خَاتِمَةٌ تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : فَإِنْ قِيلَ قَدْ مَرَّ فِي بَابِ الْوَلِيْمَةِ أَنَّ مُخَالَطَةَ الْكُفَّارِ مَكْرُوهَةٌ أُجِيبُ بِأَنَّ الْمُخَالَطَةَ تَرْجِعُ إلَى الظَّاهِرِ وَالْمَوَدَّةَ إلَى الْمَيْلِ الْقَلْبِيِّ فَإِنْ قِيلَ الْمَيْلُ الْقَلْبِيُّ لَا اخْتِيَارَ لِلشَّخْصِ فِيهِ أُجِيبَ بِإِمْكَانِ دَفْعِهِ بِقَطْعِ أَسْبَابِ الْمَوَدَّةِ الَّتِي يَنْشَأُ عَنْهَا مَيْلُ الْقَلْبِ كَمَا قِيلَ إنَّ الْإِسَاءَةَ تَقْطَعُ عُرُوقَ الْمَحَبَّةِ

قَوْلُهُ (تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر وَتَحْرُمُ مُوَادَّتُهُمْ وَهُوَ الْمَيْلُ الْقَلْبِيُّ لَا مِنْ حَيْثُ الْكُفْرُ وَإِلَّا كَانَتْ كُفْرًا وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ أَكَانَتْ لِأَصْلٍ أَوْ فَرْعٍ أَمْ غَيْرِهِمَا وَتُكْرَهُ مُخَالَطَتُهُ ظَاهِرًا وَلَوْ بِمُهَادَاةٍ فِيمَا يَظْهَرُ مَا لَمْ يُرْجَ إِسْلَامُهُ وَيُلْحَقُ بِهِ مَا لَوْ كَانَ بَيْنَهُمَا نَحْوُ رَحِمٍ أَوْ جِوَارٍ  ا هـ

Penutup. Haram mengasihi orang kafir, berdasarkan Firman Allah Swt: “Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya.” Bila dikatakan: “Dalam bab al-Walimah (resepsi pernikahan) telah dijelaskan bahwa bergaul dengan orang-orang kafir adalah makruh.” Maka saya jawab, bahwa maksud bergaul itu hanyalah secara lahiriah, sedangkan kasih sayang merupakan gejolak hati. Bila dikatakan lagi: “Tidak mungkin seseorang menolak gejolak hati.” Maka saya jawab: “Hal itu bisa dilakukan dengan memutus sebab-sebabnya, seperti dikatakan: “Berbuat jahat itu bisa memutus tali kasih sayang.”

Perkataan al-Khatib al-Syirbini: “Haram mengasihi orang kafir.” Maksudnya adalah rasa suka dan gejolak hati. Sedangkan hukum pergaulan lahir saja adalah makruh. Dan redaksi dari Syarh Imam Ramli adalah: “Dan haram mengasihi mereka (orang kafir).” maksudnya adalah gejolak hati yang bukan karena kekufuran. Bila tidak, maka kufur. Baik gejolak hati itu kepada orang tua, anak, atau yang lainnya. Dan dimakruhkan bergaul dengan mereka secara lahiriah, walaupun dengan saling tukar menukar hadiah, demikian menurut kajian yang kuat, selama tidak bisa diharap keislaman mereka. Dan hukumnya disamakan pula seperti tadi, bagi dua orang yang semisal berhubungan kerabat atau tetangga.

 

6. Al-Bahr al-Raiq [6]

قَالَ الطَّرَسُوسِيُّ إنْ قَامَ تَعْظِيمًا لِذَاتِهِ وَمَا هُوَ عَلَيْهِ كَفَرَ لِأَنَّ الرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ فَكَيْفَ يَتَعَظَّمُ الْكُفْرُ اهـ

Al-Tharasusi berpendapat: “Bila seseorang berdiri karena mengagungkan diri orang kafir dan kekufurannya maka ia kufur. Sebab, rela dengan kekufuran adalah kekufuran (pula), maka bagaimana bisa kekufuran menjadi (dinilai) agung?”

 

[1] Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.), Jilid II, h. 296.

 

[2] Ismail bin Umar/Ibn al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid II, h. 7.

 

[3] Muhyiddin al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.), Juz XIV, h. 147.

 

[4] Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th.), Juz I, h. 77.

[5] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, al-Iqna’ dan Syekh Sulaiman bin Amr Ibn Muhammad al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Iqna’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid IV, h. 291-292.

 

[6] Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad bin Muhammad bin Bakr, al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t. th.), Juz V, h. 124.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 439
KEPUTUSAN KOMISI BAHTSUL
MASAIL AD-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH
MUNAS ALIM ULAMA & KONBES NU
Di Asrama Haji Sukolilo Surabaya
Tanggal 27 – 30 Juli 2006