Sejarah Kesultanan Pajang

 
Sejarah Kesultanan Pajang

Daftar Isi

1.  Cikal Bakal Kerajaan Pajang

2.  Berdirinya Kerajaan Pajang  

3.  Peran Kesultanan Pajang Dalam Dakwah Wali Songo

4.  Perkembangan Seni dan Sastra

5.  Para Penerus Kerajaan Pajang Pasca Sultan Hadiwijaya

5.1  Aria Pangiri
5.2  Pangeran Benawa
5.3  Pangeran Gagakbaning atau Pangeran Benawa II

6.  Beberapa Versi Sejarah Kerajaan Pajang

6.1  Sejarah Pajang menurut Raffles
6.2  Sejarah Pajang Menurut Ricklefs
6.3  Sejarah Pajang Menurut Lombard

7.  Referensi

 

1.   Cikal Bakal Kerajaan Pajang

Pajang merupakan salah satu “tanah mahkota” Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, Raja Hayam Wuruk pernah pernah satu kali melakukan perjalanan tahunan ke daerah Pajang bersama seluruh pasukan pengawal dan Brahmana. Pemberitaan itu dapat dilihat dalam Nagara Kertagama, meskipun disampaikan secara singkat,  tetap membawa makna bahwa pada abad ke-14 itu Pajang terhitung wilayah kerajaan yang cukup penting. Pemberitaan tentang perjalanan-perjalanan Raja Hayam Wuruk yang terdapat dalam Nagara Kertagama,

Kabupaten Pajang (saat itu bernama Pengging) menempati posisi penting, sebab menjadi pengemban amanat kekuasaan raja Majapahit di wilayah Jawa tengah eks kekuasaan Mataram Hindu Kuno, wilayah itu mencakup pesisir utara, tengah sekitar gunung Merapi dan Merbabu hingga ke selatan hutan mentaok dan sekitarnya. Kebarat hingga perbatasan Cirebon dan Ke Timur hingga perbatasan Wengker  (Ponorogo) dan Tuban. Untuk kepentingan keamanan sistem kekuasaan Majapahit, maka di Pajang diangkat saudara Raja sebagai Adipati, saat itu bernama Handayaningrat, menantu Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.Pada era runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak, kekuasaan Pajang, dipegang oleh Ki Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging, nama daerah itu masih populer dengan sebutan Pengging. Meskipun beliau sudah masuk Islam.

Pada saat itu Ki Ageng Pengging tidak ingin menjadi adipati yang menjadi bagian kerajaan  Islam Demak,  Ki Ageng Pengging adalah cucu dari Brawijaya yang memiliki hak atas warisan tahta Majapahit, dengan demikian beliau juga menjadi pewaris Majapahit disamping Demak; ketiga posisi Pajang secara historis lebih kuat daripada Demak, dimana Demak zaman Majapahit masih berupa daerah kecil dengan sebutan Glagah Wangi sementara Pajang sudah merupakan kota Kabupaten. Dari segi politik keagamaan, Pengging merupakan daerah wilayah kewalian Syeh Siti Jenar, hal itu dimaklumi mengingat syeh Siti Jenar memiliki keahlian terhadap ajaran mistis Hindu, sehingga dalam rangka menundukkan Pengging Pajang secara halus harus dilakukan dakwah secara akulturatif, menghidupkan Islam tanpa mematikan tradisi Hindu, sehingga masyarakat akan menerima Islam secara damai.

Ajaran Syeh Siti Jenar itu begitu kuat mengakar pada sistem keyakinan Ki Ageng  Pengging, selain karena beliau adalah murid utama, beliau juga orang yang cerdas dalam kajian filsafat Hindu warisan Majapahit. Oleh karena itu jadilah beliau pengikut Syeh Siti Jenar yang taat dan mumpuni dalam bidang ajaran Filsafat Shufi Manunggaling Kawulo Gusti, mengikuti ajaran dan perilaku gurunya. Konon dampak dari ajaran ini bagi masyarakat para penduduk tidak lagi mau bekerja untuk kepentingan dunia dan kemakmuran akan tetapi banyak yang menginginkan akhirat dan kematian,

Ki Ageng Pengging  memiliki putera bernama Mas Karebet, ketika ayahnya meninggal beliau masih kecil kemudian diasuh oleh uwaknya Ki Ageng Tingkir, sebagai penguasa daerah Tingkir, nama aslinya konon Ki Kebo Kanigoro, dari sini Mas Karebet kemudian mendapat sebutan Jaka Tingkir. Dari asuhan uwaknya ini  karir Joko Tingkir sebagai anak yang cerdas dan memiliki banyak kelebihan dimulai, beliau mendapat bimbingan dari ayah angkatnya serta para tokoh wali dan ulama terkenal di antaranya Sunan Giri, dan Sunan Kalijaga. Kedua guru terakhir  ini, berperan penting dalam menggembleng kesaktian dan bakat politik Joko Tingkir. Hasilnya beliau dapat masuk dalam lingkungan kerajaan Demak sebagai panglima tamtama, dan mempersunting puteri Sultan Trenggana Raja Demak yang ketiga. Kedua wali yang disebutkan di atas juga nantinya berperan penting dalam mengasah kemampuan politik Joko Tingkir untuk mengemban amanat kekuasaan di Pajang pasca Demak.

2.   Berdirinya Kerajaan Pajang

Pada tahun 1546, di Demak, terjadi masa krisis pasca meninggalnya Sultan Trenggana dalam aksi militer ke ujung timur Jawa mengemban misi dakwah penyebaran Islam ke daerah Blambangan, pasukan Demak tertahan di Benteng Hindu di daerah Panarukan antara Pasuruan dan Lumajang, pertarungan sengit berakhir dengan meninggalnya sultan Demak.Meninggalnya raja Demak menyisakan kekacauan, perebutan kekuasaan antara pewaris Demak dari keturunan Sultan Trenggana dan pewaris dari saudaranya Raden Kingkin, peristiwa ini mencatat bahwa Raden Kingkin (Sekar Sedo Lepen) terbunuh di sungai oleh putera Trenggana bernama Raden Mukmin sehingga memicu balas dendam dan mengobarkan api perseteruan berkepanjangan antar kedua kubu, kubu Demak dari pewaris Trenggana dipimpin oleh Raden Mukmin dan kubu Jipang Panolan (Bojonegoro) yang merupakan pewaris Raden Kingkin dipimpin oleh Aryo Penangsang, nama terakhir ini melakukan serangkaian penyerbuan dan pembunuhan besar-besaran di Demak, termasuk Mukmin beserta istrinya dan Hadiri (Adipati Pati) suami dari puteri Trenggana terbunuh. Ketika pembunuhan itu menyasar ke Pajang, maka terjadilah perseteruan dengan Joko Tingkir.

Disini memicu keterlibatan Joko Tingkir ke tengah arena pertarungan keluarga pewaris Demak. Dengan persekutuan murid sunan Kalijaga (Pemanahan, Panjawi dan Ki Juru Martani), Joko Tingkir, dan anak angkatnya Sutowijoyo akhirnya mampu memadamkan pemberontakan Bupati Jipang yang berakhir dengan terbunuhnya Arya Penangsang.  Dengan demikian, Joko Tingkir diangkat secara definitive menjadi Raja Pajang bergelar Hadi Wijaya, dan memindahkan seluruh isi  istana Demak beserta simbol-simbol kekuasaannya ke Pajang.Menurut cerita luhur Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu, yaitu ulama di Jawa Tengah bagian selatan yang terpenting di antara Sembilan Wali. Sunan Kalijaga pernah bertugas menjadi penghulu masjid Demak sesudah Sunan Kudus.

Seorang anak perempuannya telah diambil oleh Sultan Tranggana sebagai permaisuri muda. Dari perkawinan ini lahir ratu muda di Pajang, permaisuri Jaka Tingkir, dan adiknya yang laki-laki, Raden Mas Timur, yang kelak menjadi Panembahan Mas di Madiun. Masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya dari Pajang menandai mulainya zaman sejarah Jawa yang baru; pada masa ini titik berat politik berpindah dari model pemerintahan pesisir (terutama Demak dan Surabaya) ke pedalaman. Perpindahan ini membawa dampak politik maupun agama. Dampak politiknya adalah mulai dimunculkan kembali bibit-bibit model politik zaman Majapahit, nostalgia terhadap tatanan sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang dinilai telah berhasil mengakar dimasyarakat Jawa Tengah mulai dikembangkan lagi dengan struktur dari atas kebawah yang tertata dengan model lama. Sementara dari agama, mulai berkembang ajaran Islam akulturatif model pengging, dengan menghidupkan upacara-upacara keagamaan yang telah ada pada era Hindu, dengan wadah Islam, model dakwah ini mendapat dukungan kuat dari para murid pesantren Kalijaga (Kadilangu) dan Sunan Kudus.

Sultan Hadiwijaya, pada pada tahun 1581, sesudah usianya melampaui setengah baya, berhasil mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan Sultan dari para raja di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Pesisir di sebelah timur. Perkembangan pesat itu diperoleh setelah beliau mendapat restu dari Sunan Prapen dari Giri (cucu Sunan Giri), disaksikan oleh para penguasa daerah Timur seperti raja-raja dari Japan (Mojokerto), Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati.

3.  Peran Kesultanan Pajang Dalam Dakwah Wali Songo

Masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya dari Pajang menandai mulainya zaman sejarah Jawa yang baru; pada masa ini titik berat politik berpindah dari model pemerintahan pesisir (terutama Demak dan Surabaya) ke pedalaman. Perpindahan ini membawa dampak politik maupun agama. Dampak politiknya adalah mulai dimunculkan kembali bibit-bibit model politik zaman Majapahit, nostalgia terhadap tatanan sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang dinilai telah berhasil mengakar dimasyarakat Jawa Tengah mulai dikembangkan lagi dengan struktur dari atas kebawah yang tertata dengan model lama. Sementara dari agama, mulai berkembang ajaran Islam akulturatif model pengging, dengan menghidupkan upacara-upacara keagamaan yang telah ada pada era Hindu, dengan wadah Islam, model dakwah ini mendapat dukungan kuat dari para murid pesantren Kalijaga (Kadilangu) dan Sunan Kudus.

Sultan Hadiwijaya, pada pada tahun 1581, sesudah usianya melampaui setengah baya, berhasil mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja Islam dan Sultan dari para raja di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Pesisir di sebelah timur. Perkembangan pesat itu diperoleh setelah beliau mendapat restu dari Sunan Prapen dari Giri (cucu Sunan Giri), disaksikan oleh para penguasa daerah Timur seperti raja-raja dari Japan (Mojokerto), Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati.

Perlu dipahami bahwa selama pemerintahan Raja Hadiwijaya di Pajang, kesusastraan dan kesenian keraton yang bernuansa Islam, yang telah dirintis zaman Demak oleh para wali lambat laun diserap  di kalangan penduduk pedalaman Jawa Tengah. Menurut kajian historis-topografis, ajaran agama Islam telah tersebar di Pengging berkat pengaruh tokoh legenda Syekh Siti Jenar. Jauh di selatan lagi penyebaran agama dilakukan oleh Sunan Tembayat, ulama yang berasal dari Semarang murid dari Sunan Kalijaga, ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Demak. Berabad-abad lamanya, bahkan hingga kini makamnya di Tembayat tetap menjadi tempat ziarah bagi kaum Muslimin di Jawa Tengah bagian selatan. Sunan Bayat dikenal sebagai simbol spiritual pada akhir kerajaan Pajang hingga Mataram.Gaya bangunan dan seni arsitektur di makam Tembayat dapat dibandingkan dengan bangunan arkeologi sezaman, sehingga dapat dihubungkan dengan gaya permulaan zaman Islam abad ke-16 di Kudus dan Kalinyamat di Jawa Tengah, dan dengan reruntuhan bangunan-bangunan sejenisnya di Jawa Timur.

Tahun-tahun yang terpahat pada bangunan memastikan bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan di Tembayat selama pemerintahan Raja Hadiwijaya. Cerita tutur Jawa menyatakan bahwa menjelang akhir hidupnya, ia pergi berziarah ke tempat itu untuk memohon bantuan dalam perjuangannya melawan Mataram. Hal itu dapat dianggap memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan keagamaan antara Keraton Pajang dan “masyarakat santri” yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang itu.

4.   Perkembangan Seni dan Sastra

Perkembangan sastra pada era Pajang menjelaskan bahwa pada zaman Raja Hadiwijaya pada paruh kedua abad ke-16, seorang sastrawan (Pujangga) Pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistik Jawa Nitisruti. Pangeran Karang Gayam ini dalam cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga Pajang”. Ia adik moyang cikal bakal keturunan Karang Lo yang pada paruh kedua abad ke-18 menjadi besan keluarga raja Kasunanan Surakarta. Nenek moyangnya, Ki Gede Karang Lo Taji, dahulu berasal dari daerah sekitar Taji, tempat berdirinya “pos pabean” di jalan yang telah berabad-abad umurnya, yang merupakan penghubung terpenting antara daerah-daerah Pengging-Pajang dan Mataram. Keberadaan Serat  Nitisruti dan pengarangnya Pangeran Karang Gayam mengindikasikan bahwa pada zaman Kesultanan Pajang kesusastraan Jawa sudah dihargai, dihayati dan juga dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan.Akhir dari pemerintahan Panjang, ditandai dengan meninggalnya Sultan Pajang di taman kerajaannya, pada tahun 1587. Ia dimakamkan di Butuh, suatu tempat yang tidak jauh di sebelah barat taman Kerajaan Pajang lama, dimana  kemudian tetap dikenal sebagai Makam Aji. Meninggalnya sultan Pajang terjadi pasca bentrokan tentara dengan pasukan Mataram, yang dipimpin oleh anak angkatnya sendiri, juga anak temannya Pemanahan. Ramalan Sunan Giri terbukti bahwa akhirnya Mataram menjadi kejaraan penerus Pajang.

5.   Para Penerus Kerajaan Pajang Pasca Sultan Hadiwijaya

5.1   Aria Pangiri

Meskipun Senapati telah mengakhiri pemerintahan raja Pajang Hadiwijaya, ia belum memegang kekuasaan tertinggi. Pengaruh daerah pesisir yang tercermin dalam diri Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak kuat sekali tertanam di istana Pajang. Kemudian bertambah kuat lagi dengan kedatangan Sunan Kudus, seorang wali di Jawa Tengah yang masih hidup dan sangat berpengaruh. Sunan Kudus melakukan kebijakan secara paksa kepada pewaris tahta Pajang; beliau mengumumkan secara otoriter rencana dan  keputusan-keputusannya, yaitu:

1) Kesultanan Pajang diwariskan kepada menantu Raja yang berasal dari Demak (Adipati Demak) Arya Pangiri,

2) Pangeran Benawa diberi hak atas Kabupaten Jipang.

Arya Pangiri, Adipati Demak disinyalir memiliki  hubungan darah dengan Sunan Prawata, yang pada tahun 1549 dibunuh atas perintah Aria Panangsang. Hageman menyebut Adipati Demak tersebut sebagai putra Sunan Prawata yang bernama Aria Pangiri, yang diasuh oleh Raja dan Ratu Kalinyamat setelah ayahnya terbunuh.Arya Pangiri tidak merasa tenang dan nyaman di tengah-tengah penduduk Pajang, untuk itu beliau memboyong pola kerajaan serta memindahkan pengikut-pengikutnya dari Demak ke Pajang. Kebijakan ini memicu masalah. Pengikut-pengikut yang dipindahkan tanpa bekal yang memadai ini memerlukan bahan makanan yang cukup, juga jabatan kerajaan yang pantas. Maka bahan makanan dihasilkan secara paksa dari tanah sitaan dari penduduk Pajang, sedangkan jabatan dan kejayaan dicapai dengan menaikkan pangkat. Bangsawan pesisir beserta hak-haknya dengan semena-mena, di atas pangkat dan kehormatan para pejabat asli Pajang, hal demikian menimbilkan konflik bilateral, dan konfrontasi sosial. Berakhir dengan munculnyal perlawanan dengan kekerasan di Pajang. Yang berpotensi meruntuhkan kerajaan arya Pangiri.

5.2   Pangeran Benawa

Pangeran Benawa, putra almarhum Sultan Hadiwijaya yang paling sulung, ahli waris pertama yang berhak atas tahta Pajang, akan tetapi dijadikan Bupati di Jipang atas instruksi semena-mena Sunan Kudus. Pangeran muda ini, karena merasa tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang asing baginya, merencanakan persekutuan dengan Senapati Mataram dan orang-orang di Pajang yang tidak puas dengan kebijakan Arya Pangiri yang merugikan penduduk, akhirnya mereka menangkap dan mengusir Arya Pangiri untuk kembali ke Demak. Usaha ini berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat, pada tahun 1588.Kelemahan lain Arya Pangiri yang paling nampak adalah akibat tergesa-gesa menjadi raja dan tidak adanya kekuatan militer yang memadai, maka untuk memperkuat pertahanannya dengan menyewa orang-orang asing. Dalam salah satu kisah pertempuran Arya pangiri melawan sekutu Benawa: Ketika tentara gabungan Mataram-Jipang tiba di Prambanan, tiga ribu orang Pajang menyeberang dan memihaknya. Kemudian mereka bergerak ke Mayang dan dari sana mengepung Pajang. Dua ribu orang yang dibawa Adipati Demak dari daerah pesisir dibagi dan ditempatkan pada empat bagian kota; empat ratus orang Makassar, Bugis, dan Peranakan (Cina) ditempatkan di alun-alun. Senapati menyerang dari utara. Benawa dari selatan. Dalam beberapa jam saja pertempuran itu sudah selesai.

Pada saat jalan menuju tahta sudah terbuka, Pangeran Benawa secara tiba-tiba tidak lagi mengharapkannya, tetapi tidak memberi tahu seorang pun. Secara diam-diam ia pergi dengan sampan dan membiarkan dirinya terhanyut sampai di Sidayu. Dari sana perjalanan dilanjutkan melalui darat ke arah barat sampai Parakan (Kendal). Akhirnya beliau akhiri masa hidupnya sebagai seorang sufi di sekitar Gua Gunung Kukulan. Setelah menyelesaikan tapanya ia mengangkat dirinya sebagai wali, membangun dalem di Parakan dan semenjak itu oleh penduduk disebut Susuhunan Parakan. Namun dalam sumber catatan yang lain dikatakan bahwa setahun setelah menjadi raja Pajang, Pangeran Benawa meninggal dunia.

5.3    Pangeran Gagakbaning atau Pangeran Benawa II

Setelah Pangeran Benawa mengundurkan diri secara sukarela dan menjadi pertapa setelah jatuhnya Arya Pangiri, muncullah adik Senapati, Raden Tompe sebagai bupati Pajang dengan gelar Pangeran Gagak baning. Ia adalah anak ke-12 Kiai Gede Pamanahan, yang semula bernama Raden Bagus Tompe dan kemudian Tumenggung Gagakbaning ing Pajang atau Pangeran Gagakpranala. Penguasa Pajang tersebut hanya memerintah selama tiga tahun karena meninggal dunia. Penggantinya adalah putra Pangeran Benawa yang berusia 13 tahun dengan menggunakan nama yang sama dengan ayahnya, Pangeran Benawa. Sedangkan menurut Hageman, yang menjadi penguasa Pajang setelah Pangeran Benawa adalah saudaranya, yaitu “Gajahbumi”. Tetapi karena ia pun meninggal tidak lama kemudian, “Radin Sida-Wini”, putra Benawa, menjadi penguasa Pajang. Beliaulah yang dikatakan menjadi raja Pajang terakhir.

6.   Beberapa Versi Sejarah Kerajaan Pajang

6.1   Sejarah Pajang menurut Raffles

Tidak kalah penting juga untuk membicarakan Jaka Tingkir, seorang keturunan dari Kabu Kanigara, seorang raja yang telah dibunuh atas perintah sultan pertama Demak. Hal ini telah diramalkan sebelumnya bahwa dirinya pada suatu hari kelak akan menjadi penguasa di Jawa, maka pada saat usianya baru 11 tahun, ia telah dibawa ibunya menuju Demak, dimana beliau kemudian segera menemukan cara untuk menarik perhatian sultan, yang kemudian diberi nama Panji Mas, .... pada tahun 1449, sultan

memberikan putrinya kepada Panji Mas untuk dinikahi dan juga kursi pemerintahan di propinsi Pajang, dimana atas izin sultan beliau kemudian membangun sebuah keraton di sana.Pangeran Tranggana, sultan ketiga Demak, meninggal pada tahun 1461, tetapi sebelum ajal mejemput, ia telah membagi wilayah kekuasaannya kepada anak-anaknya. Putra tertuanya, Aria Rangga, ditunjuk menjadi sultan di Prawata, yang wilayahnya meliputi gabungan semua tanah di sebelah timur di sepanjang Sungai Solo, yang mencapai Surabaya, termasuk Demak dan Semarang. Putra menantunya, Pangeran Hadiri, dijadikan sebagai sunan di daerah Kiai Niamat, dan menguasai semua wilayah di Japara, Pati, Rembang dan Jawana. Sang Adipati dari Pajang Pengging, Raden Panji menerima gelar Brego Pati dari Pajang dan Matarem, dan menguasai semua tanah yang terikat ke dalam daerah tersebut. Putranya Mas Timor, ditunjuk sebagai adipati di wilayah kekuasan Kedu dan Bagelen. Sedangkan menantunya, raja dari Madura, diangkat sebagai pemimpin di Madura, Sumenep, Sedayu, Gresik, Surabaya dan Pasuruan. Putra termudanya, Raden Panangsang, ditunjuk menjadi raja di daerah Jipang.23Setahun setelah kematian Sultan Tranggana, negeri Pajang tumbuh sebagai daerah penting yang pantas untuk diperhitungkan.

Dan pemimpinnya, karena kepemilikan atas benda-benda kebesaran negeri tersebut, ditempatkan sebagai yang teratas dalam tingkatan para raja yang memerintah di daerah bagian timur.Pada tahun 1490 raja Pajang dengan didasarkan atas alasan-alasan religius, ia melakukan kunjungan kepada Sunan Giri dengan disertai Kiai Gede Matarem dan juga serombongan raja-raja dan para pemuka agama yang sangat banyak jumlahnya. Beliau datang dengan mengendarai seekor gajah dan mendapatkan perlakuan yang biasa diberikan kepada sultan-sultan di Bintara. Pada kesempatan itu, beliau kemudian dilantik menjadi seorang sultan dihadapan raja-raja dari propinsi-propinsi bagian timur Jawa. Pada saat yang bersamaan Sunan Giri mengetahui kedatangan Ki Gede Matarem dan setelah diberitahu mengenai putra Kiai, Sunan Giri berkata bahwa keluarga sang kiai suatu hari kelak akan memerintah atas seluruh wilayah di Jawa, beliau juga memohon kepada Sultan Pajang untuk melindungi keselamatan sang kiai dan berteman dengannya.

6.2   Sejarah Pajang Menurut Ricklefs

Di dalam tradisi sejarah Jawa, kerajaan Pajang dianggap sebagai pengganti yang berikutnya dalam garis legitimasi yang mengalir dari Majapahit melalui Demak ke Pajang, dan mencapai puncaknya pada dinasti Mataram. Pada abad XV, sebuah negara Hindu yang disebut Pengging, yang tentangnya tidak ada satu pun bukti yang dapat dipercaya, terletak di wilayah Pajang. Menurut beberapa tradisi, Sunan Kudus berhasil menaklukkan daerah ini atas nama Islam, yang mungkin terjadi pada tahun 1530-an. Dongeng-dongeng menyebutkan bahwa seorang menantu laki-laki “Sultan” Trenggana dari Demak yang bernama Jaka Tingkir, yang berasal dari keturunan Pengging dan banyak dipertalikan dengan cerita-cerita ghaib, diutus untuk memerintah Pajang sebagai vasal Demak. Sesudah Trenggana meninggal (1546), Jaka Tingkir memperluas kekuasaannya di Jawa Tengah. Konon beliau telah dilantik secara resmi sebagai raja oleh Sunan Giri pada tahun 1503 S (1581-1582 M) dengan persetujuan negara-negara Islam yang penting lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

6.3    Sejarah Pajang Menurut Lombard

Penguasa penting pertama adalah Aria Panangsang dari Jipang, di daerah Bengawan Solo bagian tengah, tepat di utara negeri Wengker yang telah berkembang pada abad ke-14. Sebagai seorang yang mahir dalam bidang pembunuhan politik, ia menyingkirkan dua lawannya, penguasa Jepara dan sultan Demak sendiri, yaitu Prawata (kira-kira 1568). Akan tetapi pada saat ia akan menduduki tampuk kekuasaan, gugurlah beliau. Ia terbunuh dalam pertarungan satu lawan satu oleh Jaka Tingkir, yang bergelar Adiwijaya, penguasa Negeri Pajang yang letaknya lebih ke barat (daerah Surakarta sekarang). Jaka Tingkir adalah bekas kepala pengawal sekaligus menantu sultan. Beliau kemudian menyandang gelar mertuanya dan mendirikan keraton di Pajang. Ia memerintah di Pajang selama hampir dua puluh tahun (dari 1568 sampai kira-kira 1586), sebelum digeser oleh salah satu seorang vasalnya dari barat, Senapati dari Mataram (1575-1601). Senapati ini adalah anak Ki Gede Pamenahan (meninggal kira-kira 1584), yang telah membabat sebuah hutan tidak jauh dari Yogya sekarang dan mendirikan Kota Gede.

Penguasa-penguasa Pajang mungkin sekali telah merencanakan suatu politik ganda, yang sekaligus berdasarkan usaha persawahan dan perniagaan besar, seperti beberapa lama dilakukan juga oleh Mojopahit. Mereka masih terus mengandalkan balatentara yang datang dari Demak dan terutama tentara bayaran, orang Bali, Bugis, Makasar dan Cina. Akan tetapi penguasa-penguasa Mataram selanjutnya mencurigai kota-kota Pesisir dan mencoba menguasainya untuk membatasi ambisi mereka dengan lebih baik.[diperkirakan peristiwa ini terjadi pada masa pertentangan antara Adipati Demak dengan Pangeran Benawa]

7. Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang dialihbahasakan oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta : Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1981.
  4. The History of Javanese Kings-Kisah Raja-Raja Jawa. Purwadi. (Jogjakarta : Ragam Media) Aji, Krisna Bayu dan Sri Wintala Achmad.
  5. Sejarah Raja-raja Jawa: Dari Mataram Kuno Hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska. 2014.
  6. Anonim, Babad Demak 1. (alih aksara) Slamet Riyadi. terj. Suwaji. Jakarta: Depdikbud. 1981.
  7. Anonim, Babad Demak 2. (alih aksara) Gina. terj. Dirgo Sabariyanto. Jakarta: Depdikbud. 1981.
  8. Florida, Nancy K. Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (analisis Serat Jaka Tingkir). terj. Revianto B. Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya. 2003.
  9. Graaf, H.J. De, dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit ke Mataram. terj. Javanologi. Jakarta: Graffiti Press. 1985.
  10. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati. terj. Javanologi. Jakarta: Graffiti Press. 1985.