Khutbah Jumat: Hakikat Puasa Ramadhan Membentuk Takwa

 
Khutbah Jumat: Hakikat Puasa Ramadhan Membentuk Takwa
Sumber Gambar: Diskop

KHUTBAH I

الحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ حَرَّمَ الصِّياَمَ أَيّاَمَ الأَعْياَدِ ضِيَافَةً لِعِباَدِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلٰهَ إِلاَّاللهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ جَعَلَ الجَّنَّةَ لِلْمُتَّقِيْنَ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إِلىَ الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّـدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ

.فَيَآأَيُّهَاالمُؤْمِنُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ . قَالَ اللهُ تَعَالَى: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam serta nikmat sehat. Nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya. Semoga kita selalu berada dalam keadaan Iman dan Islam hingga akhir hayat kita. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang menjadi panutan kita dan tiap sunnahnya selalu kita teladani.

Mengawali khutbah ini khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi, dan kepada para jama’ah shalat Jum’at, marilah kita senantiasa berupaya meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban atas perintah-perintah-Nya dengan segenap keteguhan hati dan kemantapan jiwa, dan menjauhkan diri dari segala apa yang menjadi larangan-larangan-Nya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Ramadan mubârak, bulan yang diberkahi. Di bulan inilah kita diwajibkan berpuasa Ramadan

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ (١٨٣)

Artnya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 183),

Yang difardukan pertama kali pada bulan kedua hijriah. Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al-imsâk), dalam arti terminologi adalah menahan diri dari syahwat badan dan kemaluan sehari penuh, sejak terbitnya fajar sadiq (waktu subuh) sampai terbenamnya matahari (waktu maghrib) dengan niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Taala.

Syekh ‘Alî Ahmad al-Jurjawî, ulama Al-Azhar Mesir, dalam kitabnya Hikmat al-Tasyrî‘ wa-Falsafatuhu (Dâr al-Fikr, Beirut, 2007, hlm. 140-141), menegaskan tentang posisi dan hakikat puasa Ramadan, bahwa “Wa-al-Shaumu min ahammi al-sya‘âir wa-a‘zham al-qurubât”, Puasa adalah bagian dari syiar Islam yang paling penting dan pendekatan diri kepada Allah SWT yang paling agung.” Mengapa? Karena puasa merupakan rahasia (sirr) di antara seorang hamba dengan Tuhannya, yang tidak diintervensi oleh riya’.

Dengan berpuasa, seseorang menahan dirinya dari berbagai syahwat (keinginan) dan kesenangan nafsu selama sebulan penuh, yang puasanya sama sekali tidak layak dilakukan kecuali semata-mata untuk meraih ridha Allah Taala (wajhallâh). Dan karena memang tidak ada yang mengawasi terhadap perbuatan manusia selain Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dengan begitu seseorang mengetahui bahwa Allah SWT mengetahui terhadap hal-hal yang tersembunyi padanya juga hal-hal yang tampak, sehingga ia merasa malu terhadap Tuhannya Yang Agung bila merusak hal-hal yang dipertintahkanNya dengan berbuat dosa, zalim ataupun maksiat.

Menjadi malu kepada Allah Taala bila dirinya berpakaian kepalsuan, tipu daya, dan kebohongan. Seseorang menjadi malu kepada Allah Yang Maha Luhur, bila menjadi bagaikan anggota suatu umat atau komunitas yang tak berguna dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Karenanya sebagai anggota masyarakat ia harus berperan bagi peningkatan martabat dan kemuliaan masyarakat. Inilah hakikat puasa.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Sungguh betapa hebatnya seorang yang cerdas (al-âqil) dengan kecerdasan dan pemahaman yang baik, dia mendengarkan seruan Tuhannya, seruan agar berpuasa Ramadan, dan mengetahui sesuatu (hikmah) di dalamnya, yaitu sesuatu yaag dipersiapkan Allah bagi orang-orang yang bertakwa (muttaqin). Hal ini sebagaimana firman Allah Taala:

وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“...berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 184)

Seorang yang berpuasa yang beribadah dengan puasanya (al-shâ’im al-mu ta‘abbid), maka puasanya akan selalu mengingatkannya tentang semua ketetapan agama, yaitu agar berbuat kebaikan, menjernihkan pemikiran dengan hati yang tulus (murni) dengan keimanan untuk meraih pelajaran berharga (‘ibrah), sehingga ia kembali kepada Tuhannya, memohon pertolongan-Nya agar menjaganya, terhindar dari dosa-dosa (al-dzunub) dan kesalahan-kesalahan (al-khataya). Dan dengan berpikir jernihnya itu ia terdorong bertaqarub kepada Allah Taala dengan cara berbuat kebaikan dan menjauhkan diri dari segala keburukan dan dosa (al-syurûr wa-al-âtsam). Oleh karena itulah beberapa ulama menyebut puasa sebagai latihan jiwa (riyâdhat al-ruh) atau dalam istilah kedokteran sebagai terapi jiwa (‘ilâj al-nafs)

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, dalam Ihyá’ ‘Ulûm al-Dîn, mengatakan bahwa puasa mempunyai dua pengertian. Pertama, puasa adalah mencegah dan meninggalkan, yang sejatinya merupakan rahasia (sirr) yang di dalamnya tidak ada aktifitas yang dapat dilihat, sementara seluruh amal ketaatan itu tampak, terlihat oleh manusia. Hakikat puasa tidaklah diketahui kecuali oleh Allah Taala saja, karena ia merupakan amaliah batin yang dilakukan dengan kesabaran yang murni. Kedua, puasa itu melawan musuh Allah ‘Azza wa-Jalla, karena syahwat-syahwat menjadi media setan, dan sejatinya syahwat-syahwat menjadi kuat sebab makan dan minum. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ‏ مَجْرَى الدَّمِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْمُسْلِمِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَاِلكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ)

Artinya: “Sungguh setan masuk ke dalam diri manusia melalui tempat mengalirnya darah.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz Muslim, dari Anas bin Mâlik r.a.)

Hadis ini antara lain tersebut dalam Shahîh Muslim, Kitâb al-Salâm, Bab ke-9, hadis no. 2174 dan 2175; Sunan Abî Dâwud, Kitâb al-Sunnah, Bab ke-17 (Fî Dzarârî al-Musyrikîn), no. 4704 dengan kata “ibn Adam” (anak Adam), dan Shahîh al-Bukharî, Kitâb al-I‘tikâf, Bab ke-8: Hal Yakhruju al-Mu‘takif li-Hawâ’ijihi ilâ Bâb al-Masjid, hadis no. 1951, dengan redaksi “Inna al-syaithâna yablaghu min ibni âdama mablagh al-dam”.

Imam al-Nawawî (631-676 H) menjelaskan hadis tersebut dengan mengutip al-Qâdî dan lainnya: “Dikatakan bahwa hal itu sesuai dengan arti zahirnya”, dan bahwa Allah Taala menjadikan baginya kekuatan dan kemampuan masuk ke dalam tubuh manusia pada jalan-jalan mengalirnya darah.”

Menurut pendapat lainnya, bahwa pengertian itu digunakan untuk arti isti‘ârah (meminjam makna), karena banyak bujukan (ighwâ’) dan bisikan (waswasah), sehingga seolah-olah ia tidak berpisah dengan manusia, sebagaimana halnya darah tidak berpisah dengannya.” (Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, Dâr al-Hadîts, Kairo, 1994, Juz VII, hlm. 412, dan ‘Aun al-Ma‘bud, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, Jilid VI, Juz XII, hlm. 323).

Ibn Hajar al-‘Asqalanî (773-852 H), dalam Fath al-Bârî (Juz IV, hlm. 280), juga mengatakan hal senada, dengan menambahkan bahwa “keduanya (setan dan darah) sama-sama dalam keterkaitan yang sangat, dan tidak ada keberpisahan --dengan manusia (fasytarakâ fi syiddat al-ittishâl wa-‘adam al-mufâraqah).

Tiga Manfaat Berpuasa Ramadan

Dalam berpuasa Ramadan setidaknya ada 3 faidah (manfaat), yaitu fâ’idah rûhiyyah (manfaat psikologis/spiritual/kejiwaan), fâ’idah ijtimâ’iyyah (manfaat sosial-kemasyarakatan) dan fâ’idah shihhiyyah (manfaat kesehatan). Di antara faidah kejiwaan dari berpuasa Ramadan adalah membiasakan diri kita (riyâdhat al-nafs) agar berlaku sabar, mengekang hawa nafsu, dan mengekspresikan karakteristik takwa yang tertanam dalam hati. Takwa itulah yang menjadi tujuan khusus dalam berpuasa Ramadan (QS. 2: 183).

Di antara faidah sosial kemasyakatan dalam puasa Ramadan ini adalah pembiasaan kita, umat Islam, untuk tertib, disiplin dan bersatu padu, cinta keadilan dan kesetaraan di antara umat Islam: antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pejabat dan rakyat, antara pengusaha dan karyawan, dan seterusnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka, semuanya wajib berpuasa ketika telah memenuhi persyaratannya.

Di antara faidah sosial dari puasa adalah membantu rasa kasih sayang dan berbuat baik di antara kaum Muslim, sebagaimana puasa Ramadan ini melindungi masyarakat dari berbagai keburukan dan kemafsadatan. Adapun di antara manfaat kesehatan dari berpuasa Ramadan adalah membersihkan usus-usus dan pencernaan, memperbaiki kondisi perut yang terus-menerus beraktifitas, membersihkan badan dari lendir-lendir/lemak-lemak, kolesterol yang menjadi sumber penyakit, dan puasa dapat menjadi sarana diet atau pelangsing badan.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Oleh karena itu, marilah Bulan Ramadan ini, kita jadikan sebagai bulan kesederhanaan, bukan pamer kekayaan, bulan peribadatan, bulan memperbanyak berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bulan perlindungan badan kita, ucapan kita dan hati kita dari hal-hal yang dilarang agama, seperti perkataan keji (qaul az-zûr), ghîbah (gosip), menebar hoaks, fitnah, hate speech (ujaran kebencian), dan adu domba, baik secara langsung maupun melalui media-media digital, media elektronik, televisi, radio, internet, dan media sosial (medsos). Intinya marilah kita jadikan bulan Ramadan ini bulan penyucian badan dan rohani kita dari segala keburukan dan kemaksiatan.

Semoga kita mendapatkan hikmah yang berharga dan manfaat puasa Ramadan dan keberkahan hidup, meski di tengah kesibukan duniawi yang luar biasa. Al-faqir mengajak kepada jamaah sekalian untuk menyisihkan waktu untuk meningkatkan kedekatan kita kepada Allah, melalui kontemplasi, dzikir, dan amal kebaikan, lebih-lebih di bulan mulia ini.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

KHUTBAH 2

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

  أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

 اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

________________
Oleh: Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A.