Serial Tradisi Nusantara: Songkabala Accera Kalompoang, Sulawesi Selatan

 
Serial Tradisi Nusantara: Songkabala Accera Kalompoang, Sulawesi Selatan

Laduni.ID, Jakarta - Indonesia memang kaya. Tidak hanya pada kekayaan alamnya saja, melainkan juga budaya dan tradisinya. Terlepas dari kesibukan hiruk-pikuk perkotaan, Indonesia memiliki ribuan suku bangsa yang masih mempertahankan tradisinya. Salah satunya adalah Tradisi Songkabala Accera Kalompoang

Tradisi Accera Kalompoang atau lengkapnya Tradisi Songkabala Accera Kalompoang merupakan tradisi pencucian benda-benda pusaka Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan yang dilakukan turun-temurun dan merupakan tradisi yang sakral oleh masyarakat Gowa, Sulawesi Selatan. Accera Kalompoang merupakan warisan budaya tak benda yang telah diberikan sertifikat secara resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 10 Oktober 2018.

Dalam upacara ini, bagian terpentingnya adalah Allangiri Kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan Salokoa (mahkota). Mahkota ini dibuat pada pada abad ke 14, dan pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian menjadi simbolisasi pada saat pelantikan raja-raja berikutnya. Tradisi ini dilakukan dirumah adat Balla Lompoa yang merupakan istana raja Gowa yang dilaksanakan saat hari Idul Adha.

Pertama kali, upacara ini dilakukan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yaitu I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alaudidin pada awal 9 Jumadil Awal 1051 H atau 20 September 1605. Saat itu, Raja Gowa XIV yang sudah memulai upacara belum menjadikannya sebagai tradisi.

Baru ada pemerintahan Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, tradisi Accera Kalompoang menjadi tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah, yaitu setiap selesai shalat Idul Adha.

Kemudian, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawangg Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang memiliki gelar Ayam Jantan dari Timur memasukkan unsur-unsur Islam, yakni dengan di sertai penyembelihan hewan kurban.

Dalam tradisi tersebut, benda-benda kerajaan dicuci menggunakan air suci yang dibacakan surat Al-Fatihah oleh semua peserta upacara yang dipimpin oleh Guru Besar. Pada salah satu ritual upacara tersebut juga terdapat penimbangan Salokoa atau mahkota emas murni seberat 1768 gram. Masyarakat setempat percaya bahwa jika timbangan emas tersebut berkurang, maka merupakan pertanda bencana akan terjadi. Sedangkan apabila timbangan emas tersebut bertambah, maka menjadi pertanda kemakmuran bagi masyarakat. Upacara ini biasa dilakukan pada  setiap tanggal 10 Zulhijjah.

Songkabala diartikan sebagai penolak bala, Accera berarti mengikrarkan janji dalam bentuk mengalirkan darah hewan kerbau sebagai simbol kesetiaan, sedangkan Kalompoang berarti benda kebesaran juga disebut 'Gankang" yang berarti Benda simbol kekuasaan. Sehingga dalam lontara disebutkan artinya bila seseorang tidak disertai atau menguasai kalompoang, sebagaimana dari ungkapan di kerajaan Gowa yang menyatakan bahwa:

“Inaiinal anjujungi Salokoa, Appasappiki Sudanga, Ambarai CINDEYA, Ampontoi Ponto JANGANGJANGANG, Iyami antu Karaeng ri Gowa, Sombai Karaengnu Tu Gowa".

Yang artinya 'Barang siapa yang menjunjung mahkota salokoa, menyelipkan pedang sakti SUDANGA di pinggir, melilitkan CINDEYA dipinggang, memakai gelang tangan JANGANG-JANGANG maka dialah Raja (simbol) di Gowa, sembahlah rajamu wahai orang Gowa’

Karena berdasarkan kepercayaan dan tradisi bahwa Benda Kalompoang merupakan benda-benda sakral, maka berlakulah upacara adat Accera Kalompoang yang merupakan rutinitas tahunan secara turun temurun di Istana Kerajaan Gowa.

Dalam perkembangaannya, kemudian dibedakan waktu dan bentuk acara pelaksanaannya pada kurun masa pra Islam dan masa Islam. Menurut Lontara Gowa atau Sejarah Gowa, bahwa I Daeng Matanre Karaeng Mangingtungi Karaeng Tumaparisi Kallonna naik tahta sebagai raja Gowa ke IX (1510-1546). beliau di kenal sebagai raja yang berpikiran maju, ahli strategi baik pemerintahan peperangan maupun bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Ketika kerajaan Gowa berpusat di Tamalate (KaleGowa) sejak Karaeng Tu Manurung Baineya, kondisi kerajaan Gowa merupakan Statis-Agraris. Karaeng Tumaparisi Kallonna berkehendak pentingnya perkembangan lebih maju, olehnya itu, kemudian memindahkan pusat kerajaan Gowa ke daerah pesisir dekat muara Sungai Je‘neberang yang kemudian dikenal dengan Somba Opu.

Tempat inilah yang membawa kerajaan Gowa dalam kondisi Dinamis Maritim yang terkenal di Nusantara dan di Asia Tenggara dalam upayanya menyatukan GowaTallo sebagai kerajaan kembar dan disebut pula kerajaan Makassar. Terkait khusus di bidang budaya, Karaeng Tu Makpakrisi Kallongna pertama kali menggagas dilaksanakannya acara adat tradisional "' Accera Kalompoang" pada tahun 1525 di Istana Somba Opu.

Upacara tradisional sebagai kegiatan sosial yang jelas merupakan protektor bagi norma-norma sosial dan nilai-nilai lama dalam kehidupan kultur masyarakatnya, termasuk "Songka Bala Accera Kalompoang" dewasa itu adalah sangat berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan atau dihubungkan dengan kekuatan Ghoib di kehidupan manusia yang bersifat supernatural, sebagaimana yang terdapat benda-benda kalompoang. Seterusnya berkaitan upacara adat "Accera Kalompoang" terkristalisasi pelaksanaannya turun temurun oleh raja-raja Gowa. Pelaksanaan upacara adat ini, diselenggarakan di Balla Lompoa (Istana Raja Gowa).

Hingga kini upacara Songkabala Accera Kalompoang tersebut terus dilestarikan dengan menjadikan sebagai sebuah kalender acara kegiatan rutin yang di laksanakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa bekerjasama dengan lembaga adat kerajaan dan di hadiri oleh berbagai lapisan masyarakat yakni Muspida, tokoh adat, tokoh politik, tokoh pemuda dan seluruh komponen lainnya sebagai perwujudan bekerja kerjasama dan persaudaraan.

Upacara songkabala accera kalompoang ini adalah merupakan upacara Puncak atau inti dari segala rangkaian upacara dari berbagai rangkaian upacara lainnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam acara tersebut kegiatan ini rutin dilaksanakan bertepatan dengan 10 dzulhijjah atau setelah salat Idul Adha atau setelah salat dzuhur. Adapun tempat pelaksanaannya di ruang depan Istana balla lompoa Sungguminasa yang dihadiri oleh seluruh pejabat pemerintah dari berbagai instansi atau swasta kerajaan raja serta dari berbagai kalangan atau lapisan masyarakat yang - upacaranya berbentuk adat.

Tahapan-tahapan Upacara Songkabala Accera Kalompoang

Upacara Songkabala Accera Kalompoang memiliki nilai historis dan membawa berbagai makna sakral. Adapun pelaksanaan upacara tersebut melalui berbagai tahapan yakni sebagai berikut :

1, Upacara Allekka Je'ne

Upacara ini disebut Allekka Je’ne yang berarti menjemput mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan berawal pada saat matahari Sekitar pagi hari antara jam 07.30-09.00 (Sitonrang Bulo) disertai memohon doa kepada Allah SWT dan bershalawat kepada nabi Muhammad SAW Seraya penghormatan kepada leluhur, barulah rombongan bersama perangkat upacara beranjak dari Istana Balla Lompoa diiringi musik gendang Tunrung Pa'balle menuju Bungung Sumur Lompoa (Sumur Bertuah) yang terletak di kaki Bukit Tamalate (Kale Gowa). Dan selanjutnya setelah pengambilan air, balik dengan mengitari "Batu Tumanurung" (tempat turunnya Tumanurung/ sebagai tempat pelantikan Raja) yang masih berada dalam Kawasan Bukit Tamalate sebanyak tiga kali.

Ketika pengambilan air di sumur "Bungung Lompoa" mempergunakan timba yang terbuat dari unsur alam (Nabati) dibimbing2  oleh ahli Ritual (Anrong Guru) secara Islam. Selain sumur Bungung Lompoa yang airnya berfungsi sebagai pembersihan / pencucian Kalompoang, terdapat di sekitarnya sumur “Bungung Bissua “ yang berfungsi sebagai pendukung dari sumur “Bungung Tubaramia” yang berfungsi sebagai keberanian dan kesaktian. Kemudian rombongan kembali dan setibanya di Ballalompoa disimpan pada bilik Kalompoang dan sebagian air dituang pada wajan untuk bahan Apassili termasuk Apassili Kerbau.

2. Upacara Ammolong Tedong

Upacara Ammolong Tedong adalah suatu upacara penyembelihan hewan kerbau (kerbau yang sudah diseleksi) sesuai syariat Islam. Di sisi lain menyambung makna sebagai penangkal atau penolak bala bahaya, khususnya berkaitan dengan darah. Kegiatannya dimulai ketika posisi matahari menjelang pertengahan Bumi (Allabbang Lino). Diawali dengan Appassili Tedong (pemberkahan dan pensucian kerbau ). Kemudian Apparurungi Tedong (perlakuan khusus kelanjutan pemberkahan kerbau) dilanjutkan hewan kerbau diarak oleh rombongan mengelilingi kawasan Ballalompoa setelanjutnya kerbau kurban dimasukkan pada tempat khusus penyembelihan yang dilakukan oleh Anrong Guru. Kepala kerbau dan dagingnya diperuntukkan pada upacara Appidalleki sebagian darah kerbau ditadah dan disimpan untuk bahan upacara Allangiri Kalompoang.

3. Upacara Appidalleki

Upacara Appidalleki adalah persembahan sesajen berupa makanan, lauk pauk tradisional dan kue-kue tradisional. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali keperaduannya atau sesudah sholat Isya dan takbiran. Sesajen ini sebagai persembahan kepada leluhur yang diantar dengan do'a kehadirat Allah SWT. Dilaksanakan di dalam bilik Kalompoang. Sedangkan diluar bilik dilaksanakan pembacaan barzanji dan dzikir serta shalawatan. Bersamaan itu pula dilantunkan nyanyian ritual oleh kelompok Paroyong beranggotakan perempuan tua yang diiringi secara tabuhan gendang.

4. Upacara Allangiri kalompoang

Upacara Allangiri Kalompoang artinya adalah memandikan benda-benda Kalompoang agar menanamkan keyakinan tetap dalam kesucian, Serangkaian dengan Annyossoro yang diartikan meluluhkan atau melebur segala sifat-sifat kejelekan manusia. Sedangkan Accera Kalompoang dengan menorehkan darah kerbau yang bermakna sebagai penolak/tumbal bahaya yang berhubungan dengan darah. Bahan utama adalah air bertuah dari Sumur Bungung Lompoa untuk memandikan (Allangiri) benda-benda yang terbuat dari emas.

Sedangkan benda-benda yang terbuat dari besi atau logam lainnya untuk Annyossoro, Bahannya terbuat dari jeruk nipls, Lu'lu terbuat dari kerukan bamboo muda. kapas serta minyak harum. Dahulu dilakukan penimbangan hanya benda terbuat dari emas, untuk mengetahui pertanda baik-buruknya tingkat kehidupan tahun berikutnya, Ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan.

Yang bertugas pada upacara Allangiri Kalompoang berjumlah 11 Orang terdiri dari Sembilan keturunan Bate Salapang, satu orang dari kerabat raja, seorang lagi pembantu khusus dari kerabat raja.

Benda-benda Pusaka yang Dicuci dalam Upacara Songkabala Accera Kalompoang

Ada 15 benda pusaka yang dicuci dalam upacara adat ini. Sebagian besar benda-benda tersebut terbuat dari emas murni dan bertatahkan berlian. Benda-benda pusaka tersebut, yaitu:

  1. Saloka.
    Saloka adalah mahkota yang terbuat dari emas murni yang bertatahkan berlian sebanyak 250 butir. Ukuran garis tengah mahkota 30 sentimeter dengan berat 1768 gram. Bentuk mahkota menyerupai kerucut bunga teratai dengan lima helai kelopak daun.
  2. Sudanga.
    Sudanga adalah sebilah senjata sakti sejenis Kalewang (Sonri) yang terbuat dari besi putih, berhulu, dan bersarung tandung binatang berhias emas putih dengan relief geometris dan lilitan rotan. Panjang benda ini berukuran 72 sentimeter, lebar empat sentimeter, dan sembilan sentimeter. Sudanga menjadi milik Karaeng Bayo, suami dari Karaeng Tumanurunga Baleneyea ri Tamalatea sekitar abad XIII, kemudian senjata ini menjadi atribut legitimasi saat penobatan raja berkuasa.
  3. Ponto Janga-jangaya.
    Ponto Janga-jangaya adalah sebuah gelang berbentuk naga melingkar sebanyak empat buah. Gelang ini terbuat dari emas murni dengan berat 985,5 gram. Banda pusaka berasal dari Tumanurung.
  4. Kolara.
    Kolara adalah Rante Kalompoang yang berbahan emas murni. Ada empat kalora yang memiliki panjang 51 cm, 55 cm, dan 49 cm yang keseluruhannya memiliki berat 2.182 gram.
  5. Tatarapang.
    Tatarapang adalah sejenis keris emas dengan permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Benda yang digunakan dalam upacara kerajaan ini memiliki panjang 51 cm, lebar 13 cm, dan berat 9.865 gram.
  6. Lasipo
    Lasipo adalah sebuah parang dari besi tua. Senjata ini digunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi. Karakteristik senjata dengan panjang 62 cm dan lebar 6 cm. Parang berasal dari Kerajaan Nunukan.
  7. Mata Tombak.
    Mata Tombak di kerajaan ini ada tiga jenis, yaitu:
    - Mata tombak Tama Dakkaya adalah mata tombak yang dapat dijadikan sebagai senjata pada masa Kerajaan Gowa, dengan panjang 49 cm dan lebar 3 cm.
    - Mata tombak Jinga yang terbuat dari besi hitam dan berfungsi sebagai senjata sakti Kerajaan Gowa. Senjata memiliki panjang 45 cm dan lebar 3 cm.
    - Mata tombak Bu'le merupakan anak sumpit dari besi hitam dengan panjang 31 cm dan lebar 1,3 cm. Senjata tersebut berasal dari Karaeng Loe di Bajeng.
  8. Berang Manurung.
    Berang Manurung adalah sejenis kelewang atau parang panjang. Senjata bernama Manurung karena keberadaannya secara ghaib dibilik penyimpanan benda-benda pusaka.
  9. Bangkarata'roe.
    Bangkarata'roe adalah perhiasan berbentuk seperti anting-anting yang terbuat dari emas murni berjumlah empat pasang. Anting-anting sebagai pelengkap wanita dari pihak raja pada kegiatan upacara. Panjang anting-anting 62 cm, 5 cm, dengan berat 287 gram yang berasal dari Tumanurunga.
  10. Kancing Gaukang.
    Kancing Gaukang adalah sebuah Kancing NBlaeng yang terbuat dari emas murni dengan jumlah empat buah. Benda ini adalah perhiasan kerajaan dengan garis tengah 11,5 cm dan berat 277 gram yang berasal dari Tumanurunga.
  11. Cincin Gaukang.
    Cincin Gaukang adalah cincin dengan emas murni dan perak. Perhiasan ini merupakan perlengkapan wanita dengan jumlah 12 buah.
  12. Tobo Kaluku.
    Tobo Kaluku adalah Rante Manila yang merupakan sejenis emas yang digunakan dalam upacara khusus kerajaan. Benda ini memiliki panjang 270 gram dengan panjang 212 cm.
  13. Pannyanggayya.
    Pannyanggayya adalah sebuah Parang emas dan berambut ekor kuda. Benda yang dipakai dalam upacara khusus memiliki panjang 22 cm.
  14. Penning Emas.
    Penning Emas adalah sebuah medali emas yang terbuat dari emas murni yang merupakan pemberian Kerajaan Gowa.
  15. Medali Emas.
    Medali Emas adalah sebuah piagam penghargaan yang terbuat dari emas murni. Piagam ini merupakan pemberian Kerajaan Belanda sebagai tanda kehormatan.

Referensi

  1. PT. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Ensiklopedia Suku, Seni dan Budaya Nasional Jilid 1.
  2. Ratnawati, Lien (2018). Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2018. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 290.
  3.  https://humas.gowakab.go.id/tradisi-ritual-adat-accera-kalompoang/