Tradisi Cium Tangan Dilakukan Sebagai Bentuk Penghormatan

 
Tradisi Cium Tangan Dilakukan Sebagai Bentuk Penghormatan

Cium Tangan

Budaya merupakan kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Salah satu sumber terbentuknya budaya dalam suatu komunitas adalah agama. Sebagai agama mayoritas yang dianut oleh bangsa Indonesia, sedikit banyak ajaran Islam membentuk kebudayaan bangsa Indonesia, salah satunya adalah tradisi cium tangan.

Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat atau agama, dari seorang murid ke gurunya. Untuk yang terakhir ini menjadi trend tersendiri terlebih menjelang dilaksanakannya ujian nasional (UN) di sekolah atau madrasah. Tidak jelas dari mana tradisi ini berasal, namun ada dugaan kebiasaan ini berasal dari pengaruh budaya Arab yang tentunya berasal dari ajaran Islam. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal).

Di Indonesia, selain cium tangan dikenal juga tradisi sungkem. Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.

Di Indonesia, instensitas pelaksanaan majelis pengajian, ditambah ketokohan dan keluasan ilmu pimpinan menjelis seperti kyai, ustaz, atau habib, lambat laun menimbulkan sikap hormat jamaah kepada pimpinan majelis. Sikap hormat tersebut lahir dengan sendirinya sebagai sebagai bentuk hormat murid kepada gurunya. Oleh karena itu praktik mencium tangan (muqbil) kepada para pimpinan majelis oleh jamaahnya bukanlah bentuk kultus kepada manusia seperti yang dituduhkan sebagian orang.

Majelis khotmil Qur’an Al-Hidayah di Surakarta dalam buletinnya menyinggung masalah ini ketika ada jamaah yang bertanya: “Bagaimana pula hukum mencium tangan ulama?” 

Dengan mengutip Hadis dalam Sunan Abi Daud hadis no. 4548 dari Zari’ ra. Ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, “Kemudian kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi saw.”

Kalau mengecup tangan dan kaki Nabi saw dianggap sebagai bentuk kultus dan itu dilarang, tentu Nabi akan melarang para sahabatnya mengecup tangan dan kaki beliau. Sementara ulama merupakan pewaris para Nabi, yang dengan ilmu dan akhlaknya umat memberikan penghormatan kepada mereka, salah satunya dengan mencium tangan mereka.

Teknik berjabat tangan secara umum diwali dengan ucapan salam, kemudian maju sambil mengulurkan tangan, disertai engan wajah berseri-seri dan senyum menyungging di sudut bibir. Menjabat tangan kawan dengan sekali ayun dan mantap itu tidak perlu diikuti dengan mencium tangan kawan. Mencium tangan biasanya dilakukan kepada orang tua atau kepada guru atau kepada orang saleh. Bagian yang dicium adalah telapak tangan bagian luar, tetapi sebagian santri ada yang mencium bolak balik tangan kiainya. Alasan yang dikemukakan adalah bagian di luar saja dicium apalagi yang dalam. Maka cara yang paling sempurna haruslah mencium luar dalam.

Bila berjabat tangan, apalagi dalam posisi mencium tangan tidak diperbolehkan melebihi posisi orang yang sedang rukuk. Oleh karena itu jika seorang Kyai duduk, santri berdiri, supaya tidak melebihi batas rukuk, santri hendaknya jongkok atau bila tidak memungkinkan maka tangan Kyai ditarik sedikit ke atas agar dalam posisi yang tidak melebihi posisi rukuk tadi. Tetapi tidak semua orang memahami teknik seperti ini seperti orang awam, mereka hanya meniru amaliah yang dilakukan para santri tanpa mengetahui duduk persoalannya. Mereka mencium setiap tangan orang yang sudah lanjut, bolak-balik, dengan melebihi batas rukuk.

Dilarangnya mencium tangan melebihi batas rukuk alasannya karena tidak seorang pun pantas disembah kecuali Allah. Toleransi berjabat tangan hanya sebatas mencium tangan dan itu hanya kepada orang tua dan guru atau orang alim atau orang saleh. Hal ini berdasarkan: “disunahkan mencium tangan orang saleh, orang alim, orang zuhud” (HR. Usamah bin Syuraih, Abu Dawud mengtakan sanadnya kuat. Usamah mengatakan: kami berdiri lalu mencium tangan Nabi). [Ismail Yahya]

Sumber Bacaan​

Novi Andari, Perbandingan Budaya Indonesia dan Jepang (Tinjauan Tradisi Penamaan dan Gerak Isyarat Tubuh), Jurnal Parafrase Vol. 09, No. 02 September 2009, hlm. 27-28. Majlis Khotmil Qur’an Al-Hidayah, Anda Bertanya Kami Menjawab II. Website: https://mkqalhidayah.co.cc Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 214-216. 

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)