Lembaga Pendidikan Keagamaan di Aceh yang Didirikan Sejak Zaman Kesultanan Peureulak

 
Lembaga Pendidikan Keagamaan di Aceh yang Didirikan Sejak Zaman Kesultanan Peureulak

Dayah di Aceh merupakan sebutan untuk lembaga pendidikan semacam pesantren di Jawa atau surau di Padang. Secara bahasa, kata dayah diserap dari bahasa Arab zawiya yang berarti ‘sudut’, mengacu pada tempat-tempat di sudut masjid Madinah sebagai pusat pendidikan dan dakwah Islam pada masa Nabi Muhammad saw. Kehadiran dayah sebagai lembaga pendidikan Islam dan pengkaderan ulama di Indonesia diperkirakan setua hadirnya Islam di Nusantara.

Sejarah

Sejarah tumbuhnya dayah di Aceh erat kaitannya dengan perjalanan dakwah Islam di daerah tersebut. Tome Pires mencatat bahwa pada sekitar abad ke-14 di Samudra Pasei telah terdapat kota-kota besar yang di dalamnya terdapat pula orang-orang yang berpendidikan. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Batutah yang menyebutkan bahwa pada saat itu Pasei sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara dan di sini banyak berkumpul ulama-ulama dari negeri-negeri Islam. Ibnu Batutah juga menyebutkan bahwa Sultan Malikul Zahir (1297-1326) adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Ketika hari Jumat tiba, Sultan melaksanakan salat di Mesjid dengan mengenakan pakaian ulama dan setelah itu mengadakan diskusi dengan para ulama. Ulama-ulama terkenal pada waktu itu antara lain Amir Abdullah dari Delhi, Kadhi Amir Said dari Shiraz, Tajuddin dari Isfahan. Teungku Cot Mamplam dan Teungku Cot Geureudong.

Perkumpulan (halaqah) semacam itu, yang dilakukan di sudut-sudut bagian masjid untuk menyampaikan ajaran Islam atau mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan ajaran Islam lazim disebut zawiyah. Dari zawiyahzawiyah semacam itu muncul lembaga pendidikan di Aceh yang dinamakan Dayah. Melalui lembaga ini Islam mengakar kuat di Aceh.

Lembaga dayah diperkirakan telah ada di Aceh pada sekitar tahun 840 M. (225 H.), dimulai sejak Islam datang pertama kali ke daerah tersebut. Sultan Karajaan Peureulak mendirikan lembaga pendidikan Islam di Aceh dengan mendatangkan para pengajar dari Arab, Persia, dan Gujarat. Dayah ini disebut Dayah Cot Kala, disandarkan kepada nama tokoh ulama yang memegang kendali dayah tersebut, yaitu Teungku Chiek Muhammad Amin (Teungku Chik Cot Kala).

Dayah Cot Kala pada masa itu telah menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini dipandang berjasa dalam menyebarkan Islam dengan banyaknya lulusan yang menjadi ulama dan pendakwah Islam ke berbagai penjuru kepulauan Nusantara. Dakwah ini merangsang lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di berbagai daerah, seperti Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua, Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya. Kerajaan-kerajaan ini kemudian melebur pada awal abad ke-16 menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan raja pertama bernama Ali Mughayatsyah yang memerintah pada 916-936 H./1511-1530 M.

Kehadiran Dayah Cot Kala kemudian diikuti oleh dayah-dayah lainnya, antara lain Dayah Seureuleu di Kerajaan Lingga (Aceh Tengah) di bawah pimpinan Syekh Sirajuddin, didirikan antara tahun 1012-1059; Dayah Blang Peria di Kerajaan Samudra Pasei (Aceh Utara) di bawah Pimpinan Teungku Chiek Biang Peuria (Teungku Ja’kob), didirikan antara tahun 1155-1233; Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiyang di bawah pimpinan Teungku Ampon Tuan; Dayah Lamkeneeun di Kerajaan Lamuria Islam (Aceh Besar) di bawah pimpinan Teungku Syekh Abdullah Kan’an, didirikan antara tahun 1196-1225; Dayah Tanoh Abee juga di Aceh Besar, didirikan antara tahun 1823-1836. Selain itu juga ada Dayah Tiro di Pidie yang didirikan antara 1781-1795.

Dengan dukungan sultan, lembaga-lembaga pendidikan agama Islam terus menyebar hingga ke daerah di pedalaman. Meunasah, mesjid, rangkang dan dayah sebagai lembaga pendidikan Islam di Samudra Pasei pada waktu itu telah memegang peranan penting dalam mencerdaskan rakyat ketika itu, sama halnya juga di kemudian hari pada masa kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika Malaka ditaklukkan Portugis (tahun 1511 M), perkembagangan dayah di Aceh justru bertambah dengan hijrahnya beberapa ulama dan mubaligh Islam Malaka ke Aceh. Di sana mereka juga turut serta dalam menyiarakan agama Islam dengan mendirikan dayah. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh ini mengalami zaman keemasan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dipegang oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kemajuan pendidikan pada waktu itu ditandai oleh banyaknya ahli ilmu pengetahuan (ulama) yang berkumpul terutama di ibu kota kerajaan dan usaha pembangunan lembaga-lembaga pendidikan di seluruh wilayah kerajaan. Di antara yang sangat masyhur adalah Syekh Nurrudin Arraniri, Syekh Ahmad Khatib Langin, Syekh Syamsuddun al-Sumatrani, Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdur Rauf, dan Syekh Burhanuddin yang kemudian menjadi ulama besar di Minangkabau.

Pembangunan dayah tidak hanya terjadi pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, tetapi juga pada masa kemundurannya (akhir abad ke-18 dan ke-19). Sejumlah dayah yang diperkirakan didirikan dan berkembang selama abad ini antara lain ialah: 

  1. Dayah Tgk. Chiek Tanoh Abee, terletak di dekat Selimeum (Aceh Besar). Dayah ini diperkirakan berdiri pada sekitar awal abad ke-19 oleh seorang ulama yang datang dari Bagdad, Syekh Idrus Bayan (Teungku Chiek Tanoh Abee), atas permintaan Sultan Muhammad Syah (1824-1836). Dayah ini termasuk Dayah yang besar dan paling berpengaruh selama abad ke-19. Sampai sekarang daya yang ini mempunyai khazanah yang lengkap dengan buku-buku hasil karya para ulama terkenal masa lampau, ada di antaranya yang berumur lebih 400 tahun.
  2. Dayah Tgk. Chiek Kuta Karang (Dayah Ulee Susu). Dayah ini diperkirakan berdiri pada sekitar paruh kedua abad ke-19 oleh Syekh Abbas Ibnu Muhammad (Teungku Chiek Kuta Karang) yang pada waktu itu menjadi Kadi Malikul Adil Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1857 - 1870).
  3. Dayah Lam Birah. Dayah ini diperkirakan berdiri pada akhir abad ke-18 oleh dua bersaudara yaitu: Ja Meuntroe dan Bendahara yang keduanya kemudian digelari dengan Teungku Chiek Lam Birah. Mereka hidup sekitar masa pemerintahan Sultan Johan Syah (1735-1960) dan masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah atau Tuanku Raja (1760-1781). Setelah itu selama abad ke-19 dayah ini dipimpin oleh Teungku Chiek Cot Keupeung dan Teungku Chiek Lam Baro.
  4. Dayah Lam Nyong. Dayah ini diperkirakan berdiri pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1870-1874), didirikan oleh Teungku Syekh Abdussalam (Teungku Chiek Lam Nyong).
  5. Dayah Lam Krak. Dayah ini diperkirakan berdiri masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah (1836-1857). Didirikan oleh Datu Muhammad (seorang pejabat tinggi pemerintahan pada waktu itu).
  6. Dayah Lam Pucok di Aceh Besar. Dayah ini diperkirakan berdiri pada waktu yang relatif bersamaan dengan pendirian Dayah Lam Krak, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah (1836-1857). Didirikan oleh Teungku Muhammad Sa’ad (Teungku Chiek Lam Pucok).
  7. Dayah Lam U di Aceh Besar. Dayah ini diperkirakan berdiri relatif bersamaan dengan berdirinya Dayah Lam Nyong, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1870-1874). Diridikan oleh Teungku Syekh Umar (Teungku Chiek Di Lam U).
  8. Dayah Rumpet di Kuala Daya, pantai barat Aceh. Dayah ini diyakini masyarakat setempat telah berdiri sejak masa Poteumeureuhom Daya, salah seorang raja yang terkenal Lamho Daya. Namun dayah ini diperkirakan mencapai kemajuan selama abad ke-19, terutama pada masa pimpinan Teungku Muhammad Yusuf (Teungku Chiek Di Rumpet).
  9. Dayah Teungku Chiek Di Tiro, terletak di daerah Pidie. Dayah ini merupakan salah satu dayah yang cukup terkenal di daerah IX Mukim Keumangan. Dayah ini mencapai kemajuan pesat pada masa Teungku Muhammad Saman atau yang masyhur dengan sebutan Teungku Chiek Di Tiro (1836-1891), seorang ulama penggerak Perang Sabi melawan Belanda yang sangat terkenal (sekarang telah diangkat sebagai Pahlawan nasional). Sebelum kepemimpinannya, dayah ini terdiri dari dua dayah yaitu: A. Dayah Tiro Keumangan, dipimpin oleh Teungku Dhiek Muhammad Amin atau yang dikenal juga dengan sebutan Teungku Chiek Dayah Cut (guru Tgk. Muhammad Saman), B. Dan Dayah Tiro Cumbok, berada di sebelah Dayah Tiro Keumangan dengan dibatasi oleh sungai. Dayah ini dipimpin oleh Teungku Chiek Übet (paman Tgk. Muhammad Saman).
  10. Dayah Tgk. Chiek Pantee Geulima, di Aceh Pidie. Dayah ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah (1870-1874) oleh Teungku Chiek Pantee Ya’cob, seorang ulama yang dianggap sebagai pengarang hikayat terkenal, Hikayat Malem Dagang. Namun yang lebih dikenal sebagai Teungku Chiek Pantee Geulima ialah anaknya Teungku Chiek Haji Ismail. Selama perang ulama ini turut aktif melawan Belanda dengan mengerahkan sebagian besar murid (santri)-nya ke medan pertempuran sampai ke Aceh Besar. Pada Februari 1901 Teungku Chiek Haji Ismail gugur dalam pertempuran mempertahankan Kuta Batee Iliek (Samalanga) bersama dengan para ulama pemimpin dayah di sekitar benteng pertahanan itu (antara lain Teungku Chiek Lueng Keubeu dan Teungku Chiek Kuta Glee).

Selain itu masih ada sejumlah sejumlah dayah lainnya yang didirikan dan/atau berkembang pada sekitar akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, yaitu: Dayah Lam Bhuk dan Dayah Krueng Kalee di Aceh Besar, Dayah Meunasah Biang di Samalanga, serta beberapa Dayah di sekitar kuta pertahanan Batee Iliek yang memegang peranan penting selama perang Belanda, antara lain: Dayah Cot Meurak dan Dayah Pulo Baroh di Aceh Utara.

Selama perang kolonial Belanda, dayah memegang peranan penting dalam pengerahan tenaga pejuang (murid) ke medan pertempuran maupun dalam menumbuhkan semangat juang rakyat secara masal. Sejak Belanda menyatakan perang kepada Kesultanan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 keberadaan ulama dayah selalu menjadi ujung tombak dalam pertahanan dan perlawanan. Contoh mencolok misalnya ketika agresi pertama Belanda ke Aceh pada tahun 1873. Belanda mengalami kesulitan mengetahui letak keraton tempat kediaman sultan karena pusat perlawanan berasal dari Masjid Raya di Kutaraja. Demikian kerasnya perlawanan sehingga masjid itu dianggap sebagai benteng keraton. Butuh waktu sekitar sepuluh bulan bagi Belanda untuk dapat benar-benar menguasai Masjid Raya tersebut dari tangan kaum muslimin pejuang Aceh. Dengan telah dikuasainya Masjid Raya Kutaraja, pertahanan keraton pun semakin lemah. Selanjutnya, hanya butuh 18 hari bagi Belanda untuk dapat menguasai Keraton.

Meskipun pada saat itu Belanda memproklamirkan kejatuhan Aceh, tetapi perjuangan para ulama dan santri dayah terus berlanjut, baik melalui gerilya maupun perang terbuka, yang berlangsung hingga sekitar tahun 1912. Peran ulama dayah benar-benar jelas terlihat setelah pemimpin-pemimpin pemerintahan adat, yaitu raja-raja kecil yang disebut uleebalang makin banyak yang mengakui kedaulatan Belanda, para pemimpin agama tidak mengikuti langkah para pemimpin adat itu. Sebagian besar dari pemimpin agama menempuh jalan meneruskan perlawanan bersenjata, bahu-membahu bersama-sama dengan para uleebalang dan keluarga mereka yang anti Belanda untuk mengeluarkan Belanda dari tanah Aceh.

Sejalan dengan itu muncullah tipe kepemimpinan kharismatik dari para ulama. Rakyat Aceh yang sebagian terbesar adalah petani dan tidak semua sanggup mengikuti pendidikan agama untuk mampu mendalami kitab-kitab agama, menumpukkan harapan mereka kepada para ulama dan teungkuteungku lainnya tidak saja sebagai orang yang dapat memberi petunjuk dan bimbingan tentang bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak dalam menghadapi agresi Belanda, tetapi juga sebagai orang yang mampu menimba dari kitab suci al-Qur’än dan sunah Nabi dalam menghadapi krisis. Para ulama tampil sebagai pemberi arahan dengan antara lain menggubah hikayat perang sabil untuk mengerahkan rakyat dan mengumpulkan dana untuk melawan musuh.

Pada bulan Desember 1877, misalnya, Teungku Muhammad Amin Dayah Cut Tiro menyerukan agar barang siapa yang yakin akan Allah dan Rasul-Nya hendaklah berperang sabil ke Aceh Besar. Rakyat dianjurkannya untuk berpuasa tiga hari, membaca Qur’an dan mengadakan kenduri, memberi sedekah untuk menolak bala serta bertobat jika telah melanggar syariat Islam.

Kegigihan para ulama dayah dalam bertahan atau melawan ketika kesultanan Aceh diserang Belanda digambarkan Amiruddin sbb: 

Dalam usaha mereka untuk menguasai Aceh, Belanda mencoba memisahkan kekuatankekuatan tradisional - sultan, uleebalang, dan ulama - dengan menawarkan “pemerintahan sendiri” bagi para uleebalang dengan cara korteverklaring (deklarasi singkat) pada tahun 1874. Cara ini menghasilkan hubungan yang tidak harmonis antara uleebalang dan ulama hingga memunculkan konflik berdarah di antara mereka pada selang beberapa waktu setelah Indonesia Merdeka.

Dengan cara tersebut Belanda berhasil memecah belah persatuan rakyat Aceh yang pada gilirannya menyebabkan konflik berkepanjangan antara kelompok pendukung uleebalang dengan pendukung sultan. Di antara para uleebalang ada yang telah mempersiapkan deklarasi dan ada pula yang masih setia pada sultan. Dalam keadaan demikian, sultan mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari para ulama, mereka sangat anti terhadap Belanda. Mereka memimpin perlawanan terhadap Belanda. Bersama para petinggi istana yang tetap setia kepada sultan, para ulama ikut berperang dengan berlandaskan ajaran agama. Dengan strategi gerilya mereka terus berjuang menghalangi Belanda. 

Selama perang kolonial Belanda, dayah memegang peranan penting dalam pengerahan tenaga pejuang (murid) ke medan pertempuran maupun dalam menumbuhkan semangat juang rakyat secara masal, terutama melalui pembacaan Hikayat Perang Sabi di dayah-dayah, rangkang, meunasah dan mesjid; dan bahkan ada dayah seperti dayah di sekitar Batee Iliek - yang langsung menjadi pusat pertahanan. Karena itu tidak mengherankan apabila selama akhir abad ke-19 banyak dayah yang terbengkalai atau langsung diserang oleh tentara Belanda karena dianggap sebagai basis konsentrasi kekuatan pejuang rakyat.

Perkembangan

Peperangan dahsyat antara Aceh dan Belanda yang terjadi hingga memasuki abad ke-20 menyebabkan banyak tempat pengajian agama atau dayah yang digunakan sebagai pusat kegiatan perlawanan luluh lantak. Hal ini terjadi misalnya pada dayah di Lembada yang terbakar bersama koleksi kitabnya yang sangat banyak.

Tidak banyak yang diketahui perihal proses pendidikan dayah waktu itu, kecuali sebagai pusat motivasi sekaligus kekuatan perlawanan terhadap Belanda. Barulah setelah perang rakyat semesta berhenti (lebih kurang tahun 1904; meskipun perlawanan secara bergerilya tetap berlangsung) para ulama (Teungku Chiek) kembali memperhatikan nasib pendidikan rakyat mereka. Dayah-dayah dan rangkang yang selama ini ditinggalkan kembali dibangun. Tampaknya, sejak waktu itu untuk menyebut dayah atau rangkang kadang-kadang digunakan juga Pasantren sebagaimana di Jawa. Bahkan, di daerah Aceh Barat dan Selatan istilah ini lebih populer bila dibandingkan dengan dayah dan rangkang.

Dayah atau pesantren yang didirikan atau dibangun kembali pada pertengahan pertama abad ke-20, antara lain di Aceh Besar: Dayah Tanoh Abee, Dayah Lam Birah oleh Teungku H. Abbas (Teungku Chiek Lam Birah) sementara adiknya Teungku H. Jakfar (Teungku Chiek Lam Jabad) mendirikan Dayah Jeureula; selanjutnya Dayah Lam Nyong, Dayah Lam U, Dayah Lam Bhuk, Dayah Ulee Susu, Dayah Indrapuri didirikan oleh Teungku Chiek Indrapuri, Dayah Lam Seunong oleh Teungku Chiek Lam Seunong, Dayah Ulee U oleh Teungku Chiek Ulee U, Dayah Krueng Kalee, Dayah Montasik. Dayah Piyeurig, Dayah Lam Sie dan masih banyak lagi. Sedang Teungku Fakinah, seorang pejuang wanita, setelah berhenti berjuang pada tahun 1910, mendirikan Dayah Lam Diran sebagai kelanjutan dayah neneknya di Lam Krak dan di Lam Pucok. Suatu keistimewaan dari dayah ini adalah, kepada santri wanita selain diajarkan ilmu agama juga diajarkan berbagai jenis ketrampilan, seperti menjahit, menyulam dan sebagainya.

Di daerah Aceh Pidie dibangun kembali atau didirikan dayah-dayah antara lain: Dayah Tiro, Dayah Pantee Geulima, Dayah Cot Plieng, Dayah Biang, Dayah Leupoh Raya, Dayah Garot/Gampong Aree, Dayah Ie Leubeu yang didirikan oleh Teungku Muhammad Arsyad (Teungku Chiek Di Yan), Dayah Meunasah Raya oleh Teungku Muhammad Yusuf (Teungku Chiek Geulumpang Minyeuk) dan Dayah Teupin Raya yang didirikan oleh Teungku Chiek Teupin Raya sedang di Aceh Utara antara lain: Dayah Tanjungan, Dayah Mesjid Raya, Dayah Kuala Biang, Dayah Biang Bladeh, Dayah Cot Meurak, Dayah Juli, Dayah Pulo Kiton yang didirikan oleh Teungku Chiek Pulo Kiton dan masih banyak lagi.

Di daerah Aceh Barat, selain dibangun kembali Dayah Rumpet oleh keturunan Teungku Chiek Muhammad Yusuf, pada perempatan pertama abad ke-20 juga didirikan beberapa pesantren. Di antaranya, yaitu di Ujung Kalak dan Biang Meulaboh; di Paya Lumpai Samatiga dipimpin oleh Teungku Syekh Abu Bakar (sampai tahun 1936). Sebelum membangun pesantren ini Syekh Abu Bakar memperoleh pendidikan di Dayah Lam Bhuk, Aceh Besar. Jumlah santri pada masingmasing pesantren tersebut dalam ukuran puluhan orang. Selain itu di Kuala Bhee Woyla terdapat juga pesantren di bawah pimpinan Teungku Ahmad; di Peureumeu di bawah pimpinan Teungku Ahmad; di Peureumbeu di bawah pimpinan Teungku Di Tuwi. Pesantren ini juga menampung santri adalah jumlah puluhan orang.

Di daerah Aceh Selatan, sejak perempatan pertama abad ke 20 juga berdiri beberapa dayah/pesantren. Di antaranya, Dayah Teungku Syekh Mud di Biang Pidie. Teungku Syekh Mud memperoleh pendidikan di Dayah Lam Bhuk dan Dayah Indrapuri, Aceh Besar. Setelah kemerdekaan Dayah Teungku Syekh Mud bernama Pesantren Bustanul Huda. Di Suak Samadua berdiri pula pesantren dengan nama Islahul Umam di bawah pimpinan Teungku Abu dan Teungku M. Yasin. Di Terbangan berdiri Pesantren Al-Muslim di bawah pimpinan Teungku H. M. Di Tapaktuan berdiri Pesantren Al-Khairiyah di bawah pimpinan Teungku Zamzami Yahya dan Labuhan Haji berdiri pesantren yang juga disebut Al-Khairiyah; di bawah pimpinan Teungku Mohammad Ali Lampisang. Perlu dijelaskan ketiga pesantren yang disebutkan terakhir kemudian sistemnya diubah menjadi sistem madrasah (sistem klasial), sehingga sejak saat itu pesantren tersebut tidak dapat lagi digolongkan ke dalam lembaga pendidikan tradisional. Semua tenaga pengajar di pesantren-pesantren tersebut memperoleh pendidikan di salah satu dayah/ pesantren yang terdapat di Aceh Besar. Bahkan Teungku Syekh Mud dan Teungku Mohammad Ali Lampisang sendiri berasal dari Aceh Besar.

Selain itu, pada permulaan pendudukan militer Jepang tahun 1942 di Aceh Selatan juga didirikan sebuah pasantren yang sampai sekarang terkenal di seluruh Aceh, yaitu: Pasantren Darussalam Labuhan Haji. Pasantren telah ini membuka sistem madrasah (sekolah), di samping jalur pendidikan tradisional dayah/pasantren. Sistem madrasah tetap mempelajari kitab-kitab sebagaimana dayah/pasantren. Tiga jenjang pendidikan yang ditawarkan di Pasantren Darussalam, yaitu: tingkat Subiah (pendahuluan, 3 tahun), tingkat Ibtidaiyah (dasar, 7 tahun), dan tingkat Bustanul-Muhaqqiqin (mahir, 3 tahun). Sejak tahun 1968, jenjang pendidikan tersebut mengalami perubahan, yaitu: tingkat Ibtidaiyah (4 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), Aliyah (3 tahun) dan Bustanul Muhaqqiqin (3 tahun). Pada tahun pertama didirikan, dayah/ pesantren ini telah memiliki 60 santri dan 125 pengikut tarekat. Jumlah tersebut meningkat drastis pada 20 tahun berikutnya. Pada tahun 1962 jumlah santrinya mencapai 1839 orang dengan pengikut tarikat 1900 orang. Lulusannya banyak yang telah menjadi ulama tersebar di hampir seluruh Aceh, bahkan ada juga yang di luar daerah. Sebagian besar dari mereka mendirikan pesantren di kampung halamannya.

Setelah Indonesia merdeka lembagalembaga pendidikan Islam tradisional di Aceh, sebagaimana halnya di daerah-daerah lain, tampaknya dapat hidup dan berkembang terus berdampingan dengan lembaga-lembaga pendidikan modern, seperti madrasah, sekolah dan sebagainya yang didirikan oleh pemerintah dan badan-badan swasta lainnya. Pada era pembangunan, dayah/pasantren tetap difasilitasi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagaimana layaknya pendidikan formal, pendidikan non-formal dayah/pesantren juga dilindungi dan diberi bantuan. Dalam kaitan ini, pada tahun 1968, Presiden Soeharto hadir meresmikan sebuah Dayah Teungku Chiek di Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam Banda Aceh yang diberi nama Dayan Teungku Chiek Pante Kulu, diambil dari nama seorang ulama pejuang, pengarang Hikayat Perang Sabi, Teungku Haji Muhammad yang digelar dengan Teungku Chiek Pante Kulu.

Dayah-dayah terus tumbuh dan berkembang dengan dinamikanya masingmasing. Kemampuan dan kesediaan dayah untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan dayah berkembang dari yang tradisional ke modern. Beberapa dayah, seperti telah disebutkan, mampu bersaing di tengah kebutuhan zaman, tetapi tidak sedikit pula justru tenggelam. Namun demikian, lembaga pendidikan dayah tetap terpelihara dengan sistemnya yang khas, meskipun selalu saja ada perubahan untuk mendukung eksistensinya.

Pembelajaran

Pada dasarnya di Aceh terdapat dua jenis dayah, yaitu: dayah biasa dan dayah teungku chiek. Dibedakan dengan dayahpada umumnya, dayah teungku chiek dipimpin oleh oleh seorang ulama besar. Teungku Chiek merupakan gelar bagi seorang ulama besar yang luas kajiannya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Hal ini yang menyebabkan dayah teungku chiek dipandang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dayah-dayah lainnya, meskipun dayah yang lain juga tetap lebih tinggi tingkat pembelajarannya dibandingkan dengan di rangkang atau masjid.

Dalam melaksanakan tugasnya pemimpin dayah selalu dibantu oleh beberapa orang santri senior yang dipandang lebih luas pengetahuannya. Guru bantu ini biasa disebut Teungku di Rangkang, sedang pemimpin dayah itu sendiri disebut Teungku Di Balee (harus dibedakan dengan teungku balee yang statusnya sama dengan teungku meunasah). Dalam proses pembelajaran, teungku di rangkang belajar pada teungku di balee; sedangkan para santri yang baru datang mereka belajar pada teungku di rangkang. Di samping itu para santri yang sudah agak lama di sana, meskipun belum menjadi teungku di rangkang juga langsung belajar pada teungku di balee.

Para santri dayah pada dasarnya tidak dibatasi usia. Tetapi secara tradisional masyarakat Aceh mengenal tingkatan pembelajaran bagi usia-usia tertentu. Anakanak pada usia dini, baik aneuk miet ineung (anak wanita, umur sekitar 5—13/14 tahun) juga aneuk miet agam (anak laki-laki, umur sekitar 5-14/15 tahun) belajar di rumoh kepada Teungku di Rumoh, baik kepada Teungku Inoung (wanita) ataupun kepada Teungku Agam (laki-laki), yaitu suami-isteri yang mendiami rumah tersebut. Setelah munculnya lembaga meunasah, anak laki-laki, baik anouk miet agam ataupun aneuk muda pindah ke meunasah, belajar pada teungku meunasah; sedangkan anak perempuan, baik anouk miet inoung maupun aneuk dara tetap belajar di rumoh pada teungku inoung yang biasanya adalah isteri dari teungku meunasah. Di tempat tersebut mereka belajar dasar-dasar ilmu agama Islam, khususnya membaca Alquran. Selain belajar di Rumoh atau meunasah, di antara anak usia dini juga ada yang belajar di mesjid. Beberapa meunasah atau masjid juga mengadakan pengajian umum rutin untuk pengenalan agama Islam lebih lanjut. Pendidikan Islam selanjutnya, di tingkat menengah, adalah Rangkang, gurunya disebut Teungku Di Rangkang. Barulah setelah itu mereka dapat belajar di dayah teungku chiek di bawah asuhan seorang Teungku Chiek. Meskipun demikian, ada pula dayah yang menyediakan tiga jenjang sekaligus, yaitu rangkang (tingkat dasar), balee (tingkat menengah), dan dayah manyang (tingkat lanjut) sebagaimana telah berlangsung sejak Kesultanan Aceh.

Dengan kata lain, mereka yang belajar di dayah -munkin juga di rangkang- biasanya adalah aneuk dara dan aneuk muda yang telah memiliki dasar, setidaknya telah mampu membedakan huruf-huruf Arab yang merupakan modal dasar untuk keberhasilan proses belajar mengajar di dayah. Karena di dayah mereka akan belajar ilmu agama yang lebih luas dan lebih mendalam. Meskipun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya ureung ciek, yaitu orang-orang dewasa yang telah berumur sekitar 25 tahun ke atas, untuk menimba ilmu di sana. Demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya orang yang sudah berkeluarga meninggalkan keluarganya di gampong pergi merantau, yang disebut jak meudagang atau jak beut ke suatu dayah teungku chiek untuk memperdalam ilmunya.

Kegiatan pembelajaran di dayah biasanya berlangsung pada malam hari, yaitu setelah salat Magrib, sekitar jam 19.30-22.00 WIB; kadang-kadang juga pada pagi hari setelah salat Subuh sampai jam 09.30 WIB dan sore hari setelah salat Asar, sekitar jam 16.00 sampai pukul 17.30 WIB (waktu disesuaikan dengan sekarang). Kegiatan belajar itu berlangsung sepanjang minggu, kecuali malam Jumat yang umumnya digunakan untuk acara kesenian yang bernafaskan Islam, seperti qasidah, dalael, meureukon yaitu semacam diskusi kelompok membahas masalah agama; pesertanya dibagi dalam dua kelompok dan tanya-jawab berlangsung dengan dilagukan dan sebagainya.

Di samping memperdalam Alquran dan bahasa Arab, mata pelajaran utama yang diajarkan di lembaga pendidikan dayah meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam yang pada waktu itu sedang berkembang di dunia Islam. Cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut, antara lain ialah: ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tasawuf, etika/akhlak, ilmu tauhid, ilmu mantiq (logika), ilmu hisab/astronomi dan masih banyak lagi. Kitab-kitab yang dipergunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu itu semuanya dalam bahasa Arab, seperti untuk ilmu fiqh, kitab-kitab Bajuri, Matan Minhaj, Fathul mu’min, Fathul wahab, al-Mahalli dan lain-lain; untuk ilmu tafsir; Al-Jalalain, Shawi dan lain-lain; sedang untuk ilmu tasawuf, kitab standar yang dinilai cukup baik ialah kitab Ihya ‘ulumiddin karangan Imam Ghazali.

Kitab-kitab klasik tersebut dipelajari secara berjenjang berdasarkan tingkatan kelas keahlian. Pembelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, biasanya berupa kitab jawoe (kitab Arab Melayu) kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih tinggi atau mendalam isinya yang murni berbahasa Arab. Dengan demikian tingkatan suatu dayah sebenarnya dapat diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan/dipelajari.

Pada masa perang kolonial Belanda di Aceh, para santri yang sedang belajar di dayah, selain belajar ilmu agama juga selalu dibekali dengan semangat “ajaran perang sabi” sehingga pada waktunya kelak, setelah meninggalkan rangkang atau dayah, mereka rela terjun ke kancah peperangan untuk mempertahankan agama dan negara dari penjajahan kaphee Belanda. Akan tetapi, pada zaman modern hal ini sudah jarang dilakukan.

Tuntutan zaman modern adalah kemandirian. Lembaga dayah dituntut mampu membina para santrinya untuk dapat membina diri dan berdiri sendiri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan. Oleh sebab itu, para teungku dayah selalu menaruh perhatian dan mengembangkan watak pendidikan. Murid dididik sesuai dengan kemampuannya. Anakanak yang cerdas dan memiliki kelebihan kemampuan dibandingkan yang lain, diberi perhatian istimewa dan selalu didorong untuk mengembangkan diri. Untuk membina kemandirian dan pengembangan diri itu, metode pembelajaran pada kelas yang lebih tinggi dapat dilakukan melalui diskusi atau berdebat (meudeubat). Metode ini dipandang efektif untuk membentuk kepribadian dan rasa bertanggung jawab terhadap ilmu yang dimiliki. Melalui metode itu para santri dayah diharapkan dapat termotivasi untuk mengembangkan pengetahuannya, karena menurut tradisi dayah, pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah buku yang telah dipelajari dan kepada teungku dayah mana ia telah berguru.

Fungsi Sosial

Dayah merupakan lembaga otonom yang bergerak di bidang pembelajaran dan pendidikan agama. Sebagai lembaga otonom, dayah berada di bawah kendali penuh Sang Teungku Chik, baik pembangunan maupun kegiatannya. Sebuah dayah pada dasarnya didirikan atas inisiatif ulama (Teungku atau Teungku Chiek), baik inisiatif itu muncul atas dorongan cita-citanya sendiri, maupun karena permintaan uleebalang, imeum mukim, atau pemuka masyarakat setempat yang menghendaki. Lahan yang digunakan untuk membangun dayah berstatus wakaf, baik diberikan oleh masyarakat umum maupun milik pribadi teungku pimpinan. Pada masa lalu, masyarakat sekitar membantu aktif pembangunan fisik sarana dan prasarana dayah secara gotong royong dan memberikan sebagian hasil pertanian mereka untuk mencukupi kebutuhan dayah. Atas dasar keterkaitan antara ulama dan masyarakat itulah kehadiran dayah tidak dapat lepas dari fungsi sosialnya bagi masyarakat.

Nuraini menyebutkan adanya empat fungsi signifikan dayah, yaitu sebagai: (1) pusat belajar agama dan cendekiawan, (2) benteng terhadap kekuatan melawan serangan penjajah, (3) agen pembangunan, dan (4) sekolah bagi masyarakat.

  1. Dayah sebagai Pusat Belajar Agama dan Cendekiawan Seperti telah diungkapkan, dayah merupakan lembaga pendidikan pertama di Aceh. Lembaga ini telah banyak dikunjungi oleh para cendekiawan yang kemudian tersohor pada zamannya. Beberapa ulama terkemuka yang pernah belajar di Aceh antara lain Syekh Muhammad Yusuf al-Makkasari (1626- 1699), dari Makasar, Syekh Burhanuddin dari Minangkabau yang kemudian menyebarkan Islam di Ulakan. Selain itu, Daud al-Fatani dari Pattani (sekarang satu wilayah di Thailand), yang kemudian dikenal di Mekkah sebagai Murid Muslim dari Asia Tenggara juga pernah mengunjungi Aceh sekitar tahun 1760-an. Sejak sejak Hamzah Fansuri sampai kedatangan Belanda, ada 13 ulama dayah yang menulis kitab; karya yang ditulis jumlahnya 114 kitab. Dari kitab-kitab tersebut terdiri dari berbagai subjek, seperti tasawuf, kalam, logika, filsafat, fiqh, hadits, tafsir, akhlaq, sejarah, tauhid, astronomi, obat-obatan, dan masalah lingkungan.
  2. Peran Dayah dalam Melawan Penetrasi Penjajah Pada saat perang Aceh melawan Belanda, keterlibatan para ulama dayah dalam pertahanan dan perlawanan jelas terlihat. Terlebih ketika banyak uleebalang yang memilih tunduk kepada Belanda atau tidak sanggup menjalankan roda kepemimpinan. Tokoh ulama dayah yang aktif melakukan perlawanan terhadap Belanda ketika itu antara lain: Teungku Abdul Wahab Tanoh Abee (Tgk. Chik Tanoh Abee), Teungku Chik Dayah Cut, Teungku Muhammad Saman (Teungku Chik Di Tiro), Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Dayah Krueng Kale, Tgk. Chik Pante Kulu, dsb. Di samping seruan para ulama dayah secara lisan, pembacaan Hikayat Prang Sabi di dayahdayah membangkitkan motivasi dari para pasukan santri.
  3. Dayah sebagai Agen Pembangunan Pada kenyataannya dayah, khususnya di era pembangunan saat ini, tidak hanya penting dalam pembinaan bidang agama. Tuntutan dunia modern merupakan tantangan yang harus dihadapi lembaga dayah. Untuk menghadapi tantangan itu, saat ini dayah-dayah melengkapi lulusannya dengan berbagai keahlian praktis. Dalam hal ini, apa yang terjadi di Dayah Darussalihin Lam Ateuk, Aceh Besar, dapat dijadikan contoh. Para santri di sana dibekali keterampilan menjahit. Anak laki-laki diajarkan menjahit kopiah sementara murid perempuan diajarkan menjahit pakaian wanita. Di beberapa dayah, kegiatan koperasi juga digalakkan hal ini bertujuan untuk membina kemandirian ekonomi santri. Hal semacam ini sebenarnya bukan hal baru, karena sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah juga aktif dalam bidang ekonomi, khususnya bidang pertanian. Sebagai contoh, Teungku Chik di Pasi memimpin masyarakat membangun sistem irigasi, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik di Bambi dan Tgk. Chik di Rebee. Demikian pula pada sekitar tahun 1963, Teungku Daud Beureueh menjadi motor penggerak pembuatan jalan-jalan, pengadaan jembatan, membangun jaringan irigasi dan pembersihan irigasi yang telah lama. Para ulama Dayah juga mempunyai kemampuan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan yang dapat meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. 
  4. Dayah sebagai Sekolah bagi Masyarakat Belajar di dayah tidak membutuhkan banyak uang. Umumnya, dayah-dayah tidak membebankan murid-murid untuk membayar uang pendidikan. Sebagaimana dilaporkan oleh Kustadi Suhendang, 47 persen dayah-dayah tidak memungut uang pendidikan; 20 persen memberlakukannya, tetapi tidak mewajibkan dengan jumlah tertentu. Bagi murid yang fakir miskin, dayah dengan sendirinya menyediakan makan, yang diberikan oleh Teungku (pimpinan dayah) atau dari masyarakat yang selalu siap membantu. Mengajar dipandang sebagai ibadah, keadaan ini menjadikan agak mudah bagi masyarakat untuk memperoleh kesempatan belajar. Sebagai guru, teungku bukan hanya bertanggung jawab dalam hal mengajar, namun juga berfungsi sebagai penasehat, pelatih, pembimbing dan penolong. Hubungan antara murid dan guru lebih pada hubungan personal ketimbang hubungan birokrasi. [A. Ginanjar Sya’ban]

Sumber Bacaan

Amirudin, “Ulama Dayah” dalam Dody S. Truna, dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam Di Indonesia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002). Tim Peneliti DEPDIKBUD RI, Sejarah Pendidikan... (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984) Amiruddin, The Response of The Ulama Dayah (McGill University, 1994), hlm. xx; Amirudin, op.cit. Tome Pires, The Suma Oriental..., Vol I translated and edited by Armando Cortesao, Printed for the Hakluyt-Cociety, London. 1944. Ibnu Batuttah, Travel in Asia and Afrika, translated and edited by H.A. R. Gibb, George Routledge & Son, Ltd., London, dst.; T. Iskandar, Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Prasasaran pada Seminar Kebudayaan dalam rangka PKA II. Banda Aceh 1972, hlm. x Zainudin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hlm. xx.; Bustamam-Ahmad, Islam Historis (Yogyakarta: Galang Press, 2002) Arnold, The Preaching of Islam (Jakarta: Widjaya, 1979) Ali Hasjmy. “Pendidikan Islam... ”, Sinar Darussalam, no 63 (1975), hlm. x-x; lihat juga Tim Peneliti DEPDIKBUD RI, op.cit., Tim Badan Pendidikan dan Pembinaan Dayah, Dayah: Sejak Sultan Hingga Sekarang. https://archive.is/bppd.acehprov. go.id (Selasa, 08 Januari 2013 M | 26 Safar 1434 H) diakses melalui laman (xxxxx) pada September 2016. Ali Hasjmy, op.cit., hlm. x-x; Tim Peneliti DEPDIKBUD RI, op.cit., hlm. 14; Lihat juga Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1997) II,. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995),. Muhammad Amin Dayah Cut Tiro pada Teungku di Dalam, 3 Zulkaedah 1294 [9 Desember 1877], Cod. Or. Baihaqi, “Ulama dan Madrasah Aceh” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Ali Hasjmy, “Srikandi Teungku Fakinah,” Sinar Darussalam, no. 66, Pebruari 1976,; H.M. Zainuddin, Srikandi Atjeh, Iskandar Muda, Medan, 1965; Rusdi Sufi, Pandangan dan Sikap Ulama di Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: LIPI, 1987), Alyasa’ Abubakar, Manuskripsi Dayah Tanoh Abee: Kajian Keislaman di Aceh pada masa Kesultanan, Kajian Islam (Banda Aceh: Ar-Ranirry Press, 2000) Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Nuraini, “Potret Islan Tradisional Dayah dan Ulama Aceh Abad ke-20 dalam Perspektif Sejarah”, Jurnal Mudarrisuna, vol. 4 No. 2 (Juli-Desember, 2014)

 

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)