Ritual Membangun Rumah untuk Menyongsong Masa Depan

 
Ritual Membangun Rumah untuk Menyongsong Masa Depan

Dalam Islam nusantara, rumah (Jawa: Omah) adalah bagian dari proses meneguhkan sikap mental keislaman dalam keluarga. Rumah disamping sebagai tempat berlindung dari dingin, panas dan mara bahaya dari luar, juga sebagai media pemagangan budaya berbasis nilai-nilai Islam baik dalam hubungan dengan Allah Swt, sesama manusia, dan juga sekaligus dengan lingkungannya menuju kebahagian hidup dunia dan akhirat. Maka proses mendirikan rumah di nusantara merupakan salah satu momentum penting yang diawali dengan persiapan lahir maupun batin yang bersih dan suci melalui ritual khusus yang disebut dengan buka tableg.

Buka tableg atau sering disebut buka pandeman merupakan prosesi ritual yang diselenggarakan sebelum penggalian tableg atau pandeman (fondasi) rumah. Kata Buka tableg dari bahasa Jawa buka berarti membuka atau memulai, dan tableg berarti fondasi. Maka buka tableg bermakna membuka atau memulai pembangunan fondasi rumah yang sangat penting bagi ketahanan sebuah rumah.

Fondasi rumah memiliki fungsi sangat penting, yaitu untuk menahan beban berat dari semua komponen di atasnya. Sebuah bangunan yang baik untuk rumah, baik itu bangunan bertingkat tinggi ataupun berukuran kecil, kekuatan utamanya terletak pada fondasinya. Karena itu dalam membuat fondasifondasi perlu mempertimbangkan jumlah konstruksi yang akan berada di atas fondasifondasi tersebut. Pertimbangan ini selain untuk memastikan kekuatan fondasifondasi bangunan di atasnya, efisensi biaya juga sebagai dasar estetika sebuah rumah.

Kesadaran akan pentingnya fondasi rumah juga dibarengi dengan kesadaran eksistensi adanya situasi dan kondisi dimana rumah itu dibanguan. Si calon penghuni sebagai pribadi yang beragama Islam sangat sadar akan adanya dunia lahir dan dunia batin. Fondasi rumah adalah aspek lahir dalam memperkuat struktur bangunan, sementara terhindarnya dari gangguan “dunia lain” serta dimensi etik dan estetik dalam fondasi rumah adalah aspek dunia batin yang tak tampak, namun bisa dirasakan dan dihayati.

Kesadaran diri batiniah inilah yang dalam tradisi Jawa disebut pramana, sehingga bagi umat Islam hal sebagai wujud kewaspadaan dalam menjalani hidup termasuk ketika akan mendirikan rumah, buka pandeman. Pramana muncul apabila jiwa manusia dalam keadaan nglilir (bangkit). Sementara kebangkitan jiwa akan memupuk nurani yang terang (Endraswara, 2016: 242).

Ritual buka tableg adalah bagian dari upaya membangikutkan jiwa batin calon penghuni rumah agar rumah yang akan dibangun ini bisa megantarkan penghuninya mendapatkan pepadhang (cahaya penuntun) sehingga tercipta keluarga harmonis (sakinah mawaddah wa rahmah).

Persiapan Ritual Buka Tableg

Waktu pelaksanaan ritual buka tableg bukanlah sembarangan, tetapi merupakan hari tertentu yang didapatkan dari “orang pintar” yang biasanya adalah kiai sepuh yang dianggap memiliki kelebihan secara spiritual. Ada perhitungan khusus untuk mengawali mendirikan rumah atau buka tableg. Mengapa perhitungan atau dalam Jawa disebut pèthungan Jawa dianggap penting, hal ini tak lepas dari alam pikiran Jawa yang selalu asosiatif. Meskipun setiap hari adalah sebagai hari yang berpotensi untuk melakukan kebaikan, namun dunia diciptakan selalu berpasangan, misalnya ada laki-laki dan perempuan, ada baik dan buruk, ada swarga dan ada neraka. Swarga diasosiakan sebagai tempat yang enak membahagiakan, sementara neraka sebagai tempat yang tidak enak menyengsarakan.

Seperti dimaklumi bersama bahwa dunia Jawa memiliki ngelmu titen, maka segala sesuatu harus diupayakan benar-benar cocog (cocok, sesuai). Prinsip cocog dalam tradisi Jawa inilah sebagai buah dari ngelmu titen, yaitu ilmu yang berlandaskan kebiasaan yang berulang-ulang, dicatat, direnungkan, dan diamalkan (Endraswara, 2016: 27). Orang Jawa dan beberapa suku di nusantara berpegang pada prinsip cocog dan ngelmu titen sebagai salah satu rujukan dalam meniti arah hidupnya termasuk dalam mendirikan rumah.

Maka dalam mendirikan rumah, orang Jawa umumnya menggunakan perhitungan memet (sungguh-sungguh) dengan memperhatikan baik buruknya bulan menurut ngelmu titen, meski hal ini tidak sebagai sebuah kemutlakan. Pertimbangan bulan tersebut antara lain: (1) Muharram atau Suro biasanya akan mendapatkan kesusahan, sakit susah obatnya: (2) Sapar menunjukkan sakit-sakitan, namun tidak sampai mati; (3) Rabingulawal, menanam tidak jadi, mandeg di tengah jalan; (4) Rabingulakir, mendapat anugerah, keinginan terpenuhi dan menanam berhasil; (5) Jumadilawal, prihatin, hati gelap, kekurangan rezeki; (6) Jumadilakir, banyak rezeki, tetapi tidak bermanfaat, kecurian, sering kena denda; (7) Rejeb, sering sedih, menanam tidak jadi, sering kisruh; (8) Sakban, banyak, rezeki, apa yang dicita-citakan tercapai; (9) Ramelan, selalu sengsara, banyak orang iri, dan kena masalah; (10) Sawal, prihatin, orang lain iri, sering kena masalah; (11) Dulkangidah, selalu dikasihi sanak saudara dan orang tua; (12) Besar, banyak rezeki. Selain bersasarkan bulan, penentuan pendirian awal pendirian rumah juga sering berdasarkan pertimbangan hari kelahiran melalui suatu perhitugan khusus (Endraswara, 2016: 132-133).

Sekali lagi itu semua berdasarkan ngelmu titin Jawa. Namun begitu Islam sudah mulai masuk di nusantara, terutama di Jawa melalui kiprah para Walisongo, sedikit mengalami pergeseran. Ngelmu titen tetap dimanfaatkan, namun diiringi dengan ritual doa dan ketulusan niat dalam mendirikan rumah. Ngelmu titen adalah bagian dari kearifan lokal namun perlu “disyahadatkan” bahwa kebaikan sebuah hunian tidak semata-mata ditentukan oleh bulan atau hari, tetapi faktor anugerah dari Sang Pencipta, Allah Awt.

Maka pola akulturasi tradisi dan Islam dalam mendirikan rumah itulah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ritual buka tableg yang dimulai pada hari-hari yang terpilih tadi, meskipun tidak terlalu kaku. Hari apa pun prinsipnya bisa saja mendirikan rumah atau buka tableg, namun yang terpenting adalah diringi dengan doa sebagaimana tertuang dalam prosesi buka tableg.

Prosesi Ritual Buka Tableg

Ritual ini dilakukan dengan menggelar bancakan atau slametan yang biasanya diiringi dengan doa rasulan (doa dengan wasilah Kanjeng Rasul Muhammad SAW) atau manaqiban (doa dengan wasilah Waliyyulah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani) di tempat yang akan didirikan rumah itu. Untuk memeriahkan acara tersebut, biasanya shāhibul hājat (yang punya gawe) mengundang saudara/keluarga dan tetangga sebelah yang dipimpin oleh kiai langgar atau kiai kampung untuk berdoa dengan maksud agar semua rencana pembangunan rumah bisa berjalan lancar, tidak ada halangan serta mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan rumah tersebut. Keterlibatan keluarga dan tetangga sebelah dalam bancakan buka tableg tersebut sebagai wujud kesadaran sosial calon pemilik rumah bahwa dirinya tidak bisa hidup tanpa orang lain, maka dalam mengawali pendirian rumah tersebut juga tak lepas dari peran orang lain.

Namun sebelum acara buka tableg dimulai ada ubarampe yang dipersiapkan sebagai wujud sesajian yang akan dipersembahkan untuk para hadirin yang budiman. Simbol-simbul ritual yang diwujudkan dalam bentuk bermacammacam ubarampe merupakan ekspresi atau pengejawentahan dari penghayatan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “sangat dekat”.

Dengan berbagai simbul-simbul dalam ritual dan ubarampe tersebut terasa bahwa Allah SWT selalu hadir dan terlibat dan “menyatu” dalam dirinya (manunggaling kawulo Gusti). Hal ini juga sebagai kesadaran manusia bahwa dirinya adalah tajalli, atau bagian yang tak terpisahkan dari Sang Pencipta (Sholikhin, 2010: 49; Endraswara, 2016: 230). Beberapa ubarampe untuk ritual buka tableg tersebut antara lain:

  • Bubur abang-putih (merah-putih) sebagai perlambang mengingatkan kejadian manusia yang terdiri dari darah merah dan darah putih dan sekaligus sebagai lambang keberanian (merah) dalam menegakkan kebenaran dalam berkeluarga (putih).
  • Ingkung ayam jantan, yaitu daging ayam jago matang yang diikat masih utuh seperti sedang bersujud, diasosiasikan agar manusia selalu njungkung (bersujud). Ingkung jago juga sebagai lambang pentingnya menghilangkan nafsu sok jagoan dalam hidup sehingga yang tersisa adalah rasa empati, ramah dan cinta kasih.
  • Nasi tumpeng dan lauk-pauk secukupnya yang dihias mengitari tumpeng dilengkapi kuluban urap sayur alami dari kebun. Tumpeng yang terbuat dari nasi kuning dengan dibuat meninggi sebagai wujud kepasrahan total kepada Dzat Yang Maha Tinggi (al-Aliy) dan pemberi rizki (alRazaq) serta harmoni dalam mambangun relasi sesama manusia dan dengan lingkungan sekitar. Sementara laukpauk dan kluban urap sebagai pengingat pentingnya menjaga kesimbangan lingkungan semesta alam baik dari dunia binatang (fauna) maupun dunia tetumbuhan (flora).
  • Jadah pasar atau jajan pasar, yaitu belanjaan jajan yang dibeli dari pasar tradisional. Jajan pasar adalah lambang dari sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturrahim) dan sekaligus lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar pusat bertemunya berabagai lapisan masyarakat dan sekalgus tempat bermacam-macam barang hasil pertanian dan juga jajan tardisional yang khas nusantara. Di pasar inilah setiap orang bisa menemukan apa saja dan semua kebutuhan akan terpernuhi.
  • Kembang setaman, yaitu bermacammacam bunga (setaman, satu taman) yang biasanya terdiri dari lima atau tujuh macam kemudian dicampur dalam air di baskom juga sebagai wujud persembahan kepada Yang Maha Indah. Tujuh bunga dalam bahasa Jawa (pitu), harapannya mendaptkan pitulungan (pertolongan) dari Allah SWT dalam menggapai cita-cita dan harapan yang mementaskan nilai-nilai rukun Islam yang lima (dilambangkan dengan lima warna bunga). Bunga adalah simbol keindahan dengan harapan agar kehidupan yang akan dilalui melalui rumah tersebut bisa dinikmati dengan indah baik dalam keluarga, dengan tetangga maupun dalam masyarakat yang lebih luas (Said, 2012: 89; Triyanto, 2001: 186-187; Santoso, 2001). Di harapkan rumah yang sedang dibangun ini nantinya bisa menjadi tempat hunian yang menenteramkan sehingga para penghuninya selalu betah di rumah bagai di taman yang selalu membuat siapa pun betah berlama karena keindahannya tadi.

Begitu sarana atau ubarampe sudah disiapkan, maka seorang kiai kampung yang dipasrahi untuk mewakili tuan ramah, mengantarkan atau menyampaikan tujuan dari ritual tersebut kepada masyarakat atau tetangga sebelah yang hadir untuk ikut sambatan, yaitu gotong royong menggali tanah untuk buka pandeman/tableg.

Acaranya biasanya diselenggarakan di hamparan tanah terbukayang akan didirikan rumah dengan menggelar tikar secukupnya. Rentetan acara antara lain diawali pembukaan dengan membaca surat al-Fatihah yang pahalanya disampaikan kepada Nabi terpilih, Muhammad Saw, para sahabat, dan juga keluarganya. Juga disampaikan kepada para wali, ulama dan guru-guru yang telah wafat yang berperan dalam menyampaikan ajaran Islam masuk dalam diri yang punya hajat dan manusia pada umumnya. Hadiah surat al-Fatihah juga ditujukan secara khusus kepada orang tua, sanak saudara serta semua kaum Muslimin dan Muslimat yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta.

Setelah pembukan dengan hadlrah atau tawasul tersebut sudah lengkap, maka dilanjutkan doa rasulan atau sebagian dengan pembacaan manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani. Doa rasulan memang doa khusus yang isinya banyak pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW atas kemuliaan dan keteladanannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah Swt.

Semua itu dilakukan sebagai tawasul kepada kekasih Allah yaitu para nabi dan juga para waliyyullah yang diyakini memiliki keberkahan atas ridla Allah Swt.

Begitu doa selesai, maka dilanjutkan makan bersama atas sesajian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sebagian sajian dimakan oleh khalayak yang hadir di tempat ritual, namun sebagian yang lain juga dibagikan kepada tetangga sebelah yang terdekat dan sekaligus sebagai penanda dan kulo nuwun (mohon permisi) bahwa segera akan ada warga baru yang menghuni di lingkungan itu yakni yang sedang buka tableg.

Pemaknaan dan Kontekstualisasi

Mencermati prosesi dalam ritual buka tableg yang berkembang dalam tradisi Islam di Jawa menunjukkan bahwa pengaruh Islam sangat kuat meskipun aspek kejawaannya juga kental. Do’a yang dipanjatkan semua tujuan akhirnya adalah kepada Allah Swt. Kalau dalam praktikpraktiknya dengan menghadirkan shalawat dan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir Jilani, hal itu sebagai ikhtiar dalam memperkuat komunikasi dengan Allah SWT melalui orang yang dicintaiNya yakni para Nabi dan para wali.

Terlihat juga dalam mengawali ritual buka tableg didahului dengan doa-doa khusus serta pembacaan Surat al-Fatihah yang ditujukan kepada para Nabi, keluarga dan sahabatnya. Juga ditujukan kepada para wali, para guru, serta para leluhur yang telah wafat, khususnya kepada orang tua, keluarga dan orang-orang saleh (shālihin), serta kaum Muslimin dan Muslimat. Kesadaran ini menunjukkan bahwa ritual buka tableg sebagai momen untuk selalu mengingat asal-usulnya (sangkan paraning dumadi), dengan mengingat para leluhur yang sudah meninggal sebagai isyarat rumah hanyalah sebagai tempat singgah sementara. Karena itu kesadaran dan niat yang bulat bahwa rumah sebagai media dalam memerankan diri sebagai hamba dan khalifatullah di bumi menjadi fondasi dalam menempuh hidup di rumah baru yang akan dibangun itu.

Maka ketika rumah sudah jadi, harus tetap memiliki kesalehan sosial terutama kepada kepada tetangga sebelah dengan selalu berbagi kebaikan sebagaimana ketika buka tableg juga berbagi dengan sedekah makan bersama dan sambatan, gotong royong buka tableg. Momentum buka tableg mengingatkan diri betapa menusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa hidup tanpa partisipasi orang lain. Tetapi semakin kerja sama yang kuat maka fondasi rumah juga akan kuat, sebagaimana tableg yang terdiri dari pasir, batu, kapur, air serta para tukang batu yang menyatu akhirnya terciptalah fondasi rumah yang kokoh sehingga membuat rumah nantinya tetap tegak berdiri meskipun hujan, angin dan panas akan selalu menerpanya. Inilah indahnya kebersamaan dalam buka tableg. [Nur said]

Sumber Bacaan

Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media Utama. Santoso, Revianto Budi. (2000). Omah; Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000. Sholikhin, Muhammad, KH. (2010). Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi. Triyanto. (2001). Makna Ruang & Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus.Semarang: Kelompok Studi Mekar.

 

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)