Biografi KH. Noerhasan bin Noerkhotim, Santri Khumul Pengasuh Pesantren Sidogiri

 
Biografi KH. Noerhasan bin Noerkhotim, Santri Khumul Pengasuh Pesantren Sidogiri
Sumber Gambar: sidogiri.net

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru Beliau
3.    Penerus Beliau
3.1  Murid-Murid Beliau
4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Menjadi Pengasuh Pesantren
4.2  Pengajar Kitab-Kitab Besar
4.3  Metode Pengajaran Beliau
5.    Teladan Beliau
5.1  Istikamah dalam Ibadah
5.2  Disegani Guru Beliau
5.3  Khumul, Tidak Suka Menampakan Diri
6.    Melestarikan Amalan Shalawat Nabi
7.    Peletakan Batu Pertama Surau H
8.    Peninggalan Beliau
9.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
Kyai Noerhasan Lahir antara awal Abad 18 M. Ayah beliau adalah Kyai Noerkhotim. Urutan Saudara beliau diantaranya:

  1. KH. Noerhasan,
  2. KH. Yusuf,
  3. KH. Mustahal,
  4. KH. Abdus Syakur.

Kyai Noerhasan beserta saudara-saudara beliau yang lain juga lahir di Tanjung Anom, Sidoarjo.

1.2 Riwayat Keluarga
Kyai Noerhasan menikah dengan Nyai Hanifah putri KH. Mahalli Pengasuh Pesantren Sidogiri. Pasangan Kyai Noerhasan dan Nyai Hanifah dikaruniai enam orang anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Yaitu:

  1. KH. Bahar,
  2. KH. Dahlan,
  3. KH. Nawawie,
  4. Nyai Munawwarah,
  5. Nyai Fathonah,
  6. Nyai Anisatun.

1.3 Wafat
Kyai Noerhasan bin Noerkhatim diperkiraan wafat akhir tahun 1800 M. Di makamkan di selatan mihrab masjid Sidogiri. Sebagaimana makam-makam kuno lainnya, makam Kyai Noerhasan pernah pula tidak diperhatikan.

Rerimbunan pohon dan tetumbuhan kecil yang menutupi makam Kyai Noerhasan membuat makam itu semakin tidak tampak. Banyak santri dan masyarakat yang tidak mengenal makam yang tersembunyi di balik semak-semak belukar itu. Sehingga kerap kali dibuat tempat duduk, mengobrol, bahkan lalu lalang di makam leluhur agung Masyayikh Sidogiri itu.

Diperparah lagi dengan tumpukan benda dan barang-barang bangunan seusai pembangunan masjid sekitar tahun 1972 M, yang membuat beberapa makam kala itu nampak rata tanpa terlihat batu nisannya.

Baru kemudian pada suatu ketika KH. Hasani Nawawie menaruh perhatian terhadap kondisi makam sang kakek, Kyai Noerhasan. Beliau berkata pada santri, “Iki pesareane embahku (Ini makam kakek saya)”.

Begitu miris hati beliau melihat keadaan makam kakek beliau. Hal sama pernah juga diucapkan KA Sa’doellah Nawawie, kakak Kyai Hasani, tatkala beliau memperhatikan makam sang kakek, “Iki kuburane embahkuEngkuk le’ aku mati, kuburen dek kene (Ini makam kakek saya. Nanti kalau saya mati, kuburkanlah saya di sini).”

Beberapa lama setelah itu beliau wafat dan dimakamkan sesuai dengan apa yang diwasiatkan, di sebelah timur makam Kyai Noerhasan. Setelah pemakaman Kyai Sa’doellah di tempat itu, barulah makam Kyai Noerhasan diperhatikan, dipagari dan tidak lagi dibuat jalan setapak di dekatnya.

Anehnya, makam Masyayikh di area barat masjid tidak bisa dibangun layaknya makam-makam orang mulia lainnya. Setiap ada pembangunan makam selalu saja gagal atau rusak. Pernah suatu ketika, dibangun sebuah atap pada makam Kyai Aminullah, tetapi tak lama kemudian atap itu ambruk dan tidak bisa dibangun lagi. Ini adalah bukti nyata betapa kuat kekhumûl-an Kyai-Kyai Sidogiri, dari saat mereka hidup di dunia sampai saat mereka telah berada di alam barzakh.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Pada awal abad ke-18, di tanah tersebut mujahid agung Sayyid Sulaiman mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri (PPS). Keberhasilan dan kealiman Sayyid Sulaiman mengundang decak kagum banyak orang untuk menimba ilmu dari beliau.

Sepeninggal beliau, PP. Sidogiri tetap eksis. Dan seiring dengan usia beliau yang beranjak tua, nama Sidogiri kian tenar. Banyak orang berdatangan ke sana untuk menuntut ilmu, di samping juga untuk mencari faktor lainnya, yaitu barakah. Di antara mereka adalah Kyai Noerhasan bin Noerkhotim, yang di kemudian hari menjadi pengasuh di sana.

2.1 Pendidikan
Maka berangkatlah Kyai Noerhasan muda menuju Sidogiri. Saat itu, menurut riwayat yang masyhur, yang menjadi pemangku PP. Sidogiri adalah Kyai Mahalli, menantu Kyai Aminullah. Setiba beliau di Sidogiri, Kyai Noerhasan dengan penuh semangat menuntut ilmu pada Kyai Mahalli.

Semangat dan perhatian beliau betul-betul dicurahkan untuk menuntut ilmu dan mengabdi pada pengasuh. Beliau mengikuti setiap pengajian kitab yang diasuh oleh sang pengasuh. Setiap wejangan dari Kyai, tak pernah beliau lalui kecuali untuk diamalkan. Kedalaman ilmu yang sudah dimiliki beliau tak membuat beliau jadi malas apa lagi sok merasa alim. Dialah sosok santri yang taat, tawaduk dan ramah hingga disenangi teman-teman santri lainnya.

Kyai Noerhasan sebelum nyantri di Sidogiri sudah dikenal alim. Di masa kecil beliau, beliau banyak belajar pada orang tua beliau sendiri, Kyai Noerkhotim. Disamping itu, beliau juga rajin belajar secara otodidak. Sehingga beliau begitu cepat menguasai berbagai ilmu pengetahuan.

Antara Kyai Noerhasan dan keluarga PP. Sidogiri sebenarnya masih ada hubungan family, yakni sama-sama keturunan Mbah Sayyid Sulaiman, di mana Kyai Noerhasan adalah cucu Kyai Asror bin Abdullah bin Sulaiman. Tidak ada keterangan yang detail tentang sejarah Kyai Noerhasan ketika nyantri di Sidogiri, termasuk kepada siapa saja beliau mengaji (berguru) serta teman-teman seperiode beliau.

Tidak ada keterangan yang jelas mengenai berapa kali Kyai Noerhasan pergi ke Makkah al-Mukarramah, baik untuk menunaikan ibadah haji maupun untuk menuntut ilmu. Yang ada adalah keterangan bahwa Kyai Noerhasan pernah berguru pada Sayyid Abu Bakar Syatha, dan keberangkatan Kyai Noerhasan bersama Nyai Hanifah untuk menunaikan ibadah haji.

Selain nyantri di Sidogiri, Kyai Noerhasan juga pernah nyantri di Makkah Al-Mukarramah. Di sana beliau berguru pada Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, pengarang kitab fikih I‘ânatuth–Thâlibîn. Di antara teman-teman seperguruan Kyai Noerhasan adalah KH Ali Murtadho Tampung dan KH. Abdus Syakur.

2.1 Guru Beliau

  1. KH. Noerkhotim (ayah),
  2. KH. Mahalli (mertua),
  3. Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi

3. Penerus Beliau

3.1 Murid-Murid Beliau

  1. Syaikhona Cholil Bangkalan,
  2. KH.R Syamsul Arifin Sukorejo,
  3. KH.R As’ad Syamsul Arifin,
  4. KH. Abdullah Schal,
  5. KH. Khotib Umar Jember,
  6. KH. Mudatsir Pamekasan,
  7. KH. Zuhri Zaini Paiton, dan sederetan Kyai-Kyai besar lainnya.

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Kyai Noerhasan adalah sosok santri yang alim, taat, dan disiplin. Selama mondok, beliau dikenal istikamah dalam berbagai hal, baik dalam hal ta‘allumiyyah (belajar) maupun ubudiyah (beribadah). Berjamaah dan muthâla‘ah (belajar) merupakan keistikamahan beliau yang tak pernah ditinggalkan, dan hingga saat ini pedoman tersebut terus dilestarikan sebagai penerapan ilmu dan amal santri-santri Sidogiri.

4.1 Menjadi Pengasuh Pesantren
Sifat wara’, tawaduk dan istikamah sudah menjadi ciri khas Kyai terdahulu, tak terkecuali Kyai Noerhasan. Selama nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri (PPS), Kyai Noerhasan tersohor dengan budi perangainya yang luhur. Budi luhur ini terus melekat pada diri Kyai Noerhasan walau sudah menjadi bagian dari Keluarga Pesantren (diambil menantu kyai).

Kedalaman ilmu yang dipadu dengan budi perangai luhur, membuat keluarga dan santri menaruh banyak harapan dari beliau. Hingga suatu ketika terjadi kekosongan pengasuh, beliaulah yang kemudian menjadi pilihan sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Urutan kepengasuhan Kyai Noerhasan. Adalah pengasuh ke-IV, dengan urutan

  1. Sayyid Sulaiman,
  2. KH. Aminullah,
  3. KH. Mahalli,
  4. KH. Noerhasan bin Noerkhotim.

Sejak dahulu, pengasuh PP. Sidogiri sering kali dipegang oleh menantu. Sebut saja Kyai Aminullah adalah menantu Sayyid Sulaiman, kemudian dilanjutkan Kyai Mahalli, menantu Kyai Aminullah, demikian juga Kyai Noerhasan adalah pengasuh yang notabene adalah menantu Kyai Mahalli. Bahkan kepengasuhan Sidogiri pernah dipegang oleh santri atau ulama lain, seperti Kyai Abu Dzarrin, Kyai Utsman, dan Kyai Husain.

Baru pada masa KH. Cholil Nawawie dan setelah beliau, kepengasuhan Sidogiri tidak dipegang menantu dan dibantu Panca Warga (saudara-saudara pengasuh, putra-putra Kyai Nawawie), yang kemudian dilanjutkan Majelis Keluarga Sidogiri (sepupu-sepupu pengasuh, cucu-cucu Kyai Nawawie).

Dengan sistem kepengasuhan seperti di atas, dimana yang menjadi pengasuh tidak harus putra pengasuh sebelumnya, menunjukkan bahwa kepengasuhan sebuah pesantren tidak harus diperebutkan. Hal ini memberi kesan yang sangat mendalam bahwa pesantren bukanlah sistem kerajaan yang harus dilanjutkan oleh putra mahkota. Di samping saling mengalah dan tidak mau menjadi pengasuh merupakan ciri khas Kyai-Kyai Sidogiri.

4.2 Pengajar Kitab-Kitab Besar
Pada awal-awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, sistem dakwah yang diterapkan adalah melalui cara halus dan beragam pendekatan bertahap. Demikian juga pada awal-awal berdirinya PP. Sidogiri. Sistem pengajarannya bertahap, mulai dari pendekatan emosional dan pengenalan dasar-dasar ajaran Islam, kemudian pengenalan teori, hingga berkembang pada pendalaman teori.

Pada masa Sayyid Sulaiman dan Kyai Aminullah, setelah mengenalkan dasar-dasar ajaran Islam, tentunya pengenalan teori yang dilakukan masih berkisar pada pengajaran kitab-kitab kecil. Baru setelah beberapa lama kemudian, ketika para santri sudah cukup siap untuk betul-betul mendalami ajaran agama, maka diperlukan kiranya pembelajaran ilmu alat (tata bahasa Arab), sebagai sarana untuk mengenal ajaran dan pengetahuan Islam lebih mendalam.

Baru setelah melewati masa hampir satu abad, yang diyakini pada masa Kyai Noerhasan menjadi Pengasuh, dimulailah pengajaran dengan menggunakan kitab-kitab besar, yang meliputi Ihya’ Ulumiddin, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain sebagainya.

Masa Kiai Noerhasan bertepatan dengan abad revolusi keagamaan besar-besaran, di mana saat itu banyak dari jemaah haji Indonesia yang menetap di Makkah untuk belajar dan mendalami agama dari sumber aslinya, walaupun sebenarnya pemerintah Belanda sangat getol menghalangi jemaah haji dengan berbagai peraturan yang mengikat.

Dengan demikian, masa-masa kepengasuhan Kyai Noerhasan merupakan masa-masa transformasi pengajaran keagamaan, dari pengajaran kitab-kitab kecil menuju pengajaran kitab-kitab besar. Pada masa itu pula santri yang belajar dari luar daerah mulai banyak berdatangan. Pengajaran kitab-kitab besar sangat berdampak positif bagi perkembangan dan kemajuan intelektual santri, hingga melahirkan Kyai-Kyai besar yang berkompeten di bidangnya masing-masing.

Pengajaran kitab-kitab besar di PP. Sidogiri yang dirintis Kyai Noerhasan banyak menarik santri pesantren lain untuk juga mengaji ke Sidogiri. Saat itu PP. Sidogiri memang masih berupa pesantren kecil dengan sedikit santri, sedangkan beberapa pesantren lain di Pasuruan sudah berupa pesantren besar dengan jumlah santri yang juga besar, seperti Cangaan dan Keboncandi. Namun karena PP. Sidogiri mengajarkan kitab-kitab besar, maka santri-santri pesantren lain juga ikut mengaji ke Sidogiri.

Di antara santri Sidogiri semasa kepengasuhan Kyai Noerhasan bin Noerkhotim adalah Syekh Cholil Bangkalan. Syekh Cholil tidak menetap di Sidogiri, namun tinggal di Keboncandi Winongan, kurang lebih 20 km dari Sidogiri.

4.3 Metode Pengajaran
Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, metode pengajaran yang dipakai dalam sebuah komunitas pesantren umumnya adalah beberapa metode sederhana, seperti metode sorogan, wetonan/bandongan, dan lainnya. Pada masa itu belum dikenal sistem pendidikan agama seperti yang kita temukan pada zaman sekarang.

Pembelajaran biasa dilakukan dengan metode sorogan. Yakni guru membacakan kitab, murid-murid mendengarkan, lalu murid mengulang bacaan sang guru. Atau dengan metode wetonan, yakni guru membacakan kitab pada sekelompok murid, murid-murid membuka kitab dan menyimak dengan caranya masing-masing, sambil memberi makna miring (gandul) pada lafal-lafal dalam kitabnya.

Namun umumnya sang Kyai selain membacakan kitab yang sedang disajikan juga tidak meninggalkan sajian-sajian yang bersifat wejangan (mau‘idhah hasanah). Sorogan dan bandongan disertai sedikit pemantapan wejangan adalah metode yang sudah lama diterapkan dalam kurikulum PP. Sidogiri khususnya, dan pondok pesantren lain pada umumnya.

Baru kemudian dalam kepengasuhan KH. Abdul Djalil bin Fadlil, PP. Sidogiri mengadopsi sistem pengajaran klasikal dengan mendirikan Madrasah Miftahul Ulum. Maksud dan tujuan didirikannya madrasah ini adalah sebagai sarana awal untuk bisa mengikuti pengajian yang diasuh langsung oleh Pengasuh.

5. Teladan Beliau
Sampai saat ini, KH Noerhasan bin Noerkhatim kurang begitu dikenal dan diketahui oleh kebanyakan santri dan masyarakat Sidogiri. Putra-putri dan cucu-cucu beliaulah, serta salah satu murid beliau (Syekh Cholil Bangkalan) yang banyak dikenal orang akan kealiman dan kekeramatan beliau. Padahal apa yang tampak dari mereka tak dapat dipisahkan dari didikan dan teladan dari Kyai Noerhasan.

5.1 Istikamah dalam Ibadah
Kepribadian KH. Noerhasan bin Noerkhotim merupakan cerminan sosok ‘âbid (ahli ibadah). Semua aktivitas sehari-hari beliau senantiasa berhiaskan nilai-nilai dan akhlak mulia, seperti warak, tawadu, khusuk, serta ramah kepada setiap yang ditemui beliau, baik santri beliau sendiri, tetangga maupun masyarakat umum. Setiap berpapasan dengan orang lain, tanpa sungkan pastilah beliau menyapanya terlebih dahulu.

Adapun ibadah yang paling tampak dari beliau adalah syahirullayâlî, tidak tidur malam. Ibadah yang dalam konteks tasawuf merupakan syarat thariqah ini beliau lakukan secara istikamah untuk mendekatkan diri pada Sang Khaliq, Tuhan pencipta alam semesta. Sebab derajat manusia akan terangkat tinggi di hadapan Tuhannya tergantung dari ibadah malam yang beliau lakukan. Bahkan beliau sangat menganjurkan pada putra-putri beliau untuk melakukan rutinitas sahirullayâlî ini.

Meski demikian, beliau tidak semata sibuk dengan urusan ibadah beliau tanpa memperhatikan aspek sosial. Karena manusia di samping sebagai makhluk individu, juga makhluk sosial yang butuh untuk berinteraksi dengan manusia di sekeliling beliau. Menyambung hubungan famili dengan bersilaturahim merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang Kyai Noerhasan jalani.

Sebagai salah satu bukti upaya menyambung hubungan famili dengan keluarga Bangkalan adalah dengan memondokkan semua putra beliau kepada Syekh Cholil Bangkalan yang notabene masih famili. Konon beliau sering berkunjung kepada famili-familinya di Bangkalan. Hubungan Silatur-Rahim semacam itu berlanjut hingga saat ini.

Ungkapan “alIstiqâmah ainulkarâmah” merupakan sebuah gambaran akan tingginya nilai istikamah dalam segala aktivitas sehari-hari Kyai Noerhasan. Sewaktu mondok, Kyai Noerhasan dikenal istikamah berjamaah dan muthâla‘ah. Jelaslah motto beliau adalah “Tidak ada waktu tanpa belajar,” sebagai implementasi dari makalah Arab, “al-Waqtu kas-saif, in lam taqtha‘hu qatha‘aka” (Waktu ibarat pedang, kalau kau tak memotongnya, ia akan memenggalmu).

Nilai keistikamahan ini yang selalu di pegang teguh Kyai Noerhasan, yang kemudian menjiwai putra-putra beliau. Kyai Nawawie mencetuskan sebuah kata bijak, “Lâzimil-muthâla‘ah wal-jamâ‘ah, tanâl al-‘ulûm an-nâfi‘ah” (Tekunlah belajar dan salat berjamaah, niscaya kau peroleh ilmu manfaat). Hingga saat ini makalah ini tertancap kuat di hati sanubari setiap santri.

Menurut riwayat, kekeramatan Kiai Noerhasan nampak setelah beliau wafat. Bahkan ada yang mengatakan beliau nampak kepada santri dengan rupa “macan putih”. Dan ada juga yang mengatakan bahwa yang nampak macan putih itu adalah Kyai Bahar, putra pertama beliau. Akan tetapi yang terkenal sebagai macan putih adalah Kyai Noerhasan bin Noerkhotim. Menurut penjelasan salah satu narasumber, “Macan berarti berani, putih berarti suci. Jadi Macan Putih berarti berani karena suci”.

Di samping istikamah, beliau juga suka berkhidmah, mengabdi pada pondok, agama dan masyarakat. Semangat pengabdian ini begitu tertanam kuat sesuai tuntunan Hadis, “Sayyidul-qaumi khâdimuhum” (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).

5.2 Disegani Guru Beliau
Banyak keterangan bahwa Kyai Noerhasan alim sejak kecil. Beliau menguasai berbagai disiplin keilmuan, terutama ilmu Fikih. Akan tetapi kealiman beliau tidak tampak sebagaimana kelebihan-kelebihan beliau yang lainnya. Baru setelah mempunyai putra-putra yang alim, tampaklah kealiman dan kelebihan beliau.

Dan meskipun beliau alim, tidak tampak sedikitpun kesombongan pada diri beliau. Pribadi Kyai Noerhasan merupakan sosok pribadi yang wara’. Sifat wara’ yang dimiliki membuat Kyai Noerhasan senantiasa menjaga diri dari perkara yang tidak jelas hukumnya, syubhat. Apalagi terhadap perkara haram. Beliau menjaga hawa nafsu syaithaniah agar tidak terumbar bebas mencari mangsa kemaksiatan.

Beliau lebih mengedepankan sifat zuhud sebagai aplikasi ilmu yang dimiliki. Sudah barang tentu orang yang tenggelam di dalamnya, hasrat dan keinginan akan dunia menghilang, berpaling sama sekali dari hidup beliau. Oleh karena itu, penampilan Kyai Noerhasan selalu sederhana, sehingga sedikit sekali orang yang mengenal kealiman dan kelebihannya. Kealiman yang dipadu dengan rona-rona sufistik itu membuat Sayyid Abu Bakar Syatha, guru beliau, menaruh rasa sungkan kepada murid kesayangan beliau itu.

Suatu ketika, di Makkah Al-Mukarramah terdapat suatu masalah yang tidak kunjung selesai dibahas, walau sudah beberapa kali dimusyawarahkan oleh ulama setempat. Waktu itu Kyai Nawawie, putra beliau sedang menuntut ilmu di sana. Kemudian masalah tersebut oleh Kyai Nawawie di bawa ke Sidogiri.

Sesampainya di Sidogiri, masalah tersebut diajukan kepada abah beliau, Kyai Noerhasan. Langsung saja Kyai Noerhasan memberikan jawaban sekaligus ‘ibârah-nya. Dengan jawaban dari Kyai Noerhasan, para ulama yang tadinya tidak taslîm (masih janggal) menjadi taslîm, menerima jawaban Kyai Noerhasan. Bahkan mereka berkeinginan untuk mengaji pada Kyai Noerhasan.

5.3 Khumul, Tak Suka Menampakkan Diri
Sikap sehari-hari Kyai Noerhasan terkesan menyimpan segala atribut ke-kyai-an dan ketokohan beliau, khumûl. Dalam kamus sufi disebutkan bahwasanya khumûl berarti sikap “menyembunyikan” setiap aktivitas kebaikan dan tidak ingin populer.

Beliau tidak keluar rumah tanpa ada keperluan yang penting, seperti untuk mulang kitab dan keperluan penting lainnya. Kalupun keluar rumah, beliau berpakaian sederhana layaknya orang-orang pada umumnya, bahkan seringkali ada santri baru yang tidak mengenal bahwa beliau adalah kyainya.

Kendatipun Kyai Noerhasan seorang yang khumûl, kealiman dan kekeramatan beliau lambat laun tercium juga, dan menarik para penuntut ilmu untuk mengaji ke Sidogiri. Karena itulah Kyai Noerhasan dianggap seorang wali khafi mastûr. Sebab seorang wali itu, ibarat minyak wangi, sekalipun sudah disimpan, semerbak harumnya akan tercium juga.

Mengapa Kyai Noerhasan khumûl? Dikatakan, “Sanjungan dan pujian adalah racun yang mematikan”. Adagium Arab ini menggambarkan bahwa pujian seseorang bisa menimbulkan kesombongan pada orang yang dipuji. Karena itulah Kyai Noerhasan bin Noerkhotim menutupi jati diri beliau sebagai seorang sayyid keturunan Rasulullah SAW., di samping juga agar keturunanan beliau tidak tafâkhur (sombong) dan membanggakan nasab atau nenek moyang.

Sebagaimana pesan Ibnu Atha’illah As-Sakandari, “Idfin wujûdaka fî ardhil-khumûl,” (Pendamlah dirimu di bumi khumûl). Sifat khumûl merupakan ajaran tasawuf yang penting, sebagai langkah penyelamatan bagi orang yang menjalani hidup sufi, agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran. Tindak-tanduk inilah yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari Kyai Noerhasan.

6. Melestarikan Amalan Shalawat Nabi
Ciri khas santri Sidogiri ketika selesai shalat maghrib adalah membaca shalawat Nabi “Shallallâhu ‘alâ Muhammad” di masjid atau di kompleks-kompleks pemukiman santri. Kyai Noerhasan-lah yang pertama kali mengijazahkan bacaan tersebut kepada Keluarga Sidogiri, sebagai upaya untuk melestarikan shalawat Nabi SAW.

Shalawat tersebut dikenal dengan nama Shalawat Khidir, karena Nabi Khidir-lah yang mengijazahkan shalawat tersebut langsung kepada Kyai Noerhasan. Sekarang bacaan shalawat tersebut menjadi bacaan wajib bagi santri, yang dibaca sebanyak 313 kali dengan ditambah bacaan istighfar sebanyak 70 kali.

Kiprah dan peranan para ulama dalam mendidik santri-santrinya tak lepas dari sarana dan prasarana pendukung. Salah satunya berupa tempat pengajaran yang mampu menampung semua santri untuk menimba ilmu dari Sang Guru.

Pada masa kepengasuhan KH. Noerhasan bin Noerkhatim, gedung yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat pengajaran para santri adalah surau beliau. Pemusatan pengajaran pada tempat ini terus berlangsung hingga periode-periode selanjutnya. Dengan sistem pengajaran yang sederhana.

Ada pula yang mengatakan, Kyai Noerhasan melaksanakan pengajian di dua tempat, yaitu di Masjid dan Surau. Masjid Sidogiri yang konon sudah dibangun sejak masa Kyai Aminullah ini (awal-awal tahun 1700-an), pada masa Kyai Noerhasan betul-betul dimanfaatkan untuk kegiatan thalabul ilmi. Bahkan semua kegiatan yang bersifat ubudiyah (ibadah) dan ta‘lîmiyyah (pengajaran) dipusatkan di dua tempat itu.

Pada waktu itu struktur dan lokasi masjid tidak banyak mengalami perubahan sebagaimana ketika dibangun Kyai Aminullah. Masjid yang masih dihuni sisa-sisa jin, musuh bebuyutan Kyai Aminullah itu membuat suasana tampak seram dan menakutkan. Konon, makhluk-makhluk jahat itu pernah bersumpah untuk selalu mengganggu tujuh keturunan Kyai Aminullah.

Namun demikian, Kyai Noerhasan dan para santri tidak gentar untuk menggunakan masjid sebagai tempat berbagai kegiatan ibadah dan dakwah, sebagaimana tujuan awal pembangunan masjid, “Lamasjidun ussisa ‘alat-taqwâ”. Hanya dengan pasrah dan tawakal pada Allah-lah gangguan apapun tidak akan berpengaruh.

7. Peletak Pertama Surau H
Peletak pertama pembangunan Surau Daerah H adalah KH. Noerhasan bin Noerkhotim, kendatipun saat itu masih belum dikenal dengan sebutan Surau H. Karena pembuatan sistem kedaerahan dengan mengikuti abjad A,B,C dan seterusnya itu baru dimulai pada masa kepengasuhan KH. Cholil Nawawie atas prakarsa KA Sa’doellah Nawawie.

Pembangunan surau itu bersamaan dengan pembangunan dalem (rumah) Kyai Noerhasan di sebelah utara surau tersebut. Di bagian utara surau, terdapat sebuah kamar tempat Kyai Noerhasan membacakan kitab-kitab kuning yang diikuti sejumlah santri yang mondok ataupun yang mengaji dari kampung sekitar.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya dibangunlah surau-surau yang lain. Seperti Surau Daerah G, Surau Daerah I, dan surau-surau lainnya. Pembangunan surau-surau di kompleks PP. Sidogiri selain sebagai tempat dilaksanakannya ibadah shalat, juga dimaksudkan sebagai tempat mengajarnya para Kyai Sidogiri. Seperti Surau Daerah G, tempat mengajarnya KH. Abdul Adzim bin Oerip, dan Surau Daerah I tempat mengajarnya KH. Noerhasan Nawawie.

Struktur bangunan Surau H sebenarnya sudah mengalami perbaikan dan pemugaran. Pemugaran terakhir dilakukan sekitar tahun 1990-an. Sebelum dipugar, di sebelah selatan surau terdapat jeding yang di atasnya ada dua bilik pemukiman santri dan tempat bedug.

Sedangkan di sebelah timur ada halaman suci yang cukup luas untuk tambahan tempat shalat dan mengaji santri. Awalnya, sebelum dipugar lokasi surau tersebut tidak seluas sekarang. Luasnya hanya seukuran bagian dalam di sekitar lokasi mihrab.

Deretan dalem-dalem kuno Sidogiri berjejer di sebelah selatan dan utara jalan kompleks pondok pesantren. Di situlah para Masyayikh bertempat tinggal. Adapun dalem kuno yang didiami KH. Noerhasan bin Noerkhotim adalah dalem sebelah utara jalan, tepatnya di sebelah utara Surau H, yang kini didiami keluarga KH. Abdul Alim Abdul Djalil.

Di dalem itu pula KH. Nawawie bin Noerhasan dan KH. Cholil Nawawie berkediaman (kemudian Kyai Cholil membangun rumah baru di utara masjid). Struktur bangunannya terbuat dari kayu dan bambu. Dalem tersebut diyakini lebih kuno daripada dalem-dalem lainnya.

Karena dalem-dalem yang sebelah selatan jalan baru dibangun pada periode Kyai Nawawie. Sedangkan dalem kediaman Sayyid Sulaiman, dalem Kyai Aminullah dan dalem Kyai-Kyai sepuh lainnya sudah tidak berbekas tanpa sisa.

Dalem Kyai Noerhasan yang sangat bersejarah bukanlah tempat tinggal yang tanpa usikan. Tak sembarang orang mampu bertahan lama di rumah itu. Berbagai gangguan dan teror makhluk-makhluk jahat (jin) kerap kali mengusik penghuni rumah.

Gangguan makhluk-makhluk halus itu sebenarnya sudah terikrar lama sejak masa Kyai Aminullah. Kekalahan mereka oleh Kyai Aminullah saat membabat Sidogiri, membuahkan dendam yang tak berkesudahan, tak terkecuali dalem Sang Pengasuh juga menjadi sasaran kedengkian mereka.

8. Peninggalan Beliau
Kyai Noerhasan bin Noerkhatim cukup banyak meninggalkan benda-benda pusaka dan benda-benda kuno lainnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu yang cukup lama berlalu, benda-benda artefak tersebut satu persatu hilang ditelan zaman.

Kyai Kholili Hasbullah, ayahanda Mas Hasbullah Mun’im, pernah mempunyai sebuah gentong, lumpang batu dan lesung yang diyakini sebagai peninggalan Kyai Noerhasan. Selain gentong tersebut bikinan beliau sendiri, bersama gentong itulah Kyai Noerhasan mengalami kejadian cukup unik.

Suatu ketika dalam perjalanan haji menuju Makkah Mukarramah, di tengah luasnya samudera, Ibu Nyai yang menyertai beliau meriang kesakitan hendak melahirkan putra yang sedang dikandungnya. Tak lama kemudian di tengah laut itu lahir putra pertama mereka, seorang bayi mungil yang telah lama ditunggu kehadirannya. Karena lahir di tengah-tengah lautan, buah hati tersebut diberi nama Bahrul Ulum, yang berarti Lautan Ilmu.

Kemudian setelah kelahiran, adzan dan iqamah pun dilantunkan Kyai Noerhasan di telinga putra beliau. Si bayi mungil kemudian dimandikan dengan gentong yang sengaja dibawanya itu. Selain mempunyai kisah bersejarah, gentong tersebut juga mempunyai khasiat dan berkah, yakni apabila dibuat tempat beras, maka beras yang terisi di dalamnya tak pernah habis dalam satu tahun, walau sering diambil. Sekarang gentong dan lumpang tersebut diletakkan di lokasi Madrasah PP. Is’adul Ummah, Susukanrejo, Pohjentrek Pasuruan.

Selain peralatan kuno, Kyai Noerhasan juga banyak meninggalkan benda-benda pusaka dan kitab-kitab kuno. Di antara benda pusaka yang masih ada adalah sebuah tombak pusaka. Konon tombak tersebut mempunyai nilai mistis sebagai penjaga tanah karomah di Sidogiri. Keberadaan dan letak tanah karomah tersebut tidak ada yang tahu dengan pasti. Kini tombak tersebut disimpan di dalem al-Maghfûr lah KH. Abdul Alim Abdul Djalil.

Sesuai dengan wasiat Kyai Lim, satu-satunya benda pusaka tersebut tidak boleh diapa-apakan, dipindah tempat ataupun dibawa keluar. Sedangkan kitab-kitab peninggalan Kyai Noerhasan bin Noerkhatim adalah kitab-kitab kuno berukuran besar kira-kira 25 cm x 35 cm. Salah satunya adalah kitab Tafsir Al-Qadhy Baidhawy. Kitab-kitab kuno tersebut kini disimpan bersama kitab-kitab kuno peninggalan Masyayikh lainnya di kamar bagian utara surau H, tempat di mana beliau mengajar.

Semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

9. Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya