Biografi Syekh Jangkung (Saridin atau Raden Syarifuddin)

 
Biografi Syekh Jangkung (Saridin atau Raden Syarifuddin)

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Syekh Jangkung
1.3  Nasab Syekh Jangkung
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Syekh Jangkung  

2.1  Guru-guru Syekh Jangkung

3.  Penerus Syekh Jangkung

3.1  Anak-Anak Syekh Jangkung

3.2  Murid-murid Syekh Jangkung

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Syekh Jangkung

4.1  Masa Kecil Syekh Jangkung

4.2  Masa Menjalani Hukuman di Kadipaten Pati

4.3  Menuntut Ilmu di Pesantren Sunan Kudus

4.4  Perjalanan Mengembara dan Dakwah Syekh Jangkung

4.5  Legenda Kebo Landoh

5.  Keteladanan Syekh Jangkung

6.  Referensi

 

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Syekh Jangkung Lahir Sekitar Tahun 1540 an M. beliau adalah putri dari Sunan Muria dan Nyai Sujinah atau Dewi Samaran adik dari Sunan Kudus. beliau terlahir dengan nama Raden Syarifuddin atau sering disebut dengan Saridin

1.2 Riwayat Keluarga S Syekh Jangkung

Syekh Jangkung mempunyai empat istri yaitu :
Pertama, Sarini dan dikarunia putra:

  1. Raden Bagus Momok Landoh

Raden Ayu Retno Jinoli yang merupakan kakak Sultan Agung kerajaan Mataram.
Raden Ayu Pandan Arum Putri kerajaan Cirebon yang dianugrahi putra :

  1. Momok Hasan Bashori atau Raden Tirto Kusumo

Rohayati putri dari Patih Palembang dan dikaruniai putra:

  1. Momok Hasan Haji

1.3 Nasab Syekh Jangkung

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
  3. Al-Imam Al-Husain bin
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq bin
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
  11. As-Sayyid Ubaidillah bin
  12. As-Sayyid Alwi bin
  13. As-Sayyid Muhammad bin
  14. As-Sayyid Alwi bin
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  19. As-Sayyid Abdullah bin
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
  21. As-Sayyid Ali Nuruddin bin
  22. As- Sayyid Maulana Mansur bin
  23. Ahmad Sahuri alias Raden Sahur alias Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban ke-8)
  24. Sunan Kalijaga alias Raden Said
  25. Raden Umar Said (Sunan Muria) menikah dengan Dewi Sujinah adik Sunan Kudus
  26. Raden Syarifuddin atau Saridin Atau Syekh Jangkung.

1.4 Wafat

Syekh Jangkung diperkirakan wafat sekitar tahun 15 Rojab 1563 Tahun Saka(Jawa) / 20 Oktober 1641 Masehi. Beliau dimakamkan di desa Landoh, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Di kompleks makam Syekh Jangkung terdapat pula makam istrinya, yaitu Retno Jinoli dan RA. Pandan Arum.

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Syekh Jangkung

Beliau dibesarkan dan dididik oleh orangtua angkatnya Kyai dan Nyai Ageng Kiringan

2.1 Guru-guru Syekh Jangkung

  1. Sunan Muria
  2. Sunan Bonang
  3. Sunan Kalijaga
  4. Sunan Kudus

3  Penerus Syekh Jangkung

3.1 Anak-anak Syekh Jangkung 

  1. Raden Bagus Momok Landoh
  2. Raden Momok Hasan Bashori atau Raden Tirto Kusumo
  3. Raden Momok Hasan Haji

3.2 Murid-Murid Syekh Jangkung

  1. Prayaguna 
  2. Bakirah

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Syekh Jangkung

Syekh Jangkung, dikenal sebagai Wali Allah penuh karomah, beliau punya sejarah panjang dengan berbagai macam versi dan terus menjadi buah bibir bagi masyarakat luas. Dari segi nama, ada yang menyebut Syekh Jangkung karena kisahnya bersama Sunan Kalijaga. Serta ada juga yang menjulukinya Kiai Landoh, karena pernah memelihara Kerbau Landoh.
Melalui ringkasan Drs. W. Darmanto, Penilik Kebudayaan Kecamatan Kajen dalam “Saridin, Seri I” yang sumbernya didapat dari cerita lisan masyarakat sekitar, Ada dua versi kisah kelahiran dan masa kecil Mbah Saridin.
Versi pertama, dari kisah tutur masyarakat ada yang menceritakan bahwa Mbah Saridin merupakan anak kandung Sunan Muria dan Dewi Sujinah, sengaja dipondokkan ke tempat Kyai Ageng Kiringan. Mengingat hubungan dekat antara dua keluarga; yaitu Syekh Muhammad Abdul Syakur, Bapak kandung dari Kyai Ageng Kiringan yang merupakan santri kesayangan Sunan Muria.
Sementara versi kedua, Kyai Ageng Kiringan merupakan ayah angkat dari Saridin. Kyai Ageng Kiringan atau Syekh Abdullah Asyiq Ibn Abdul Syakur bersama dengan Nyai Ageng Dewi Limaran atau Nyai Ageng Kiringan dan keduanya merupakan murid setia Sunan Muria. Kakak angkat Mbah Saridin, adalah Nyi Branjung, anak tunggal dari Kyai Ageng Kiringan dan Dewi Limaran. Ketika masih bayi, Mbah Saridin dilarung di aliran Sungai Tayu, Yitna. Kemudian diambil oleh Sunan Kalijaga dan diberikan kepada Kyai Ageng Kiringan yang sebelumnya telah bertirakat penuh tiga hari tiga malam di pinggiran sungai saat fajar tiba. Ibu kandung beliau sendiri merupakan Dewi Sujinah adik dari Sunan Kudus.

Sunan Muria juga berpengaruh besar terhadap jalan kewalian Mbah Saridin. Bila ditarik kesimpulan secara runtut, Mbah Saridin memiliki nasab kewalian dari Sunan Muria, dinaikkan garis ke atas sampai pada nama Sayyidina Huseinn. Namun mendapat gemblengan kanuragan dari tiga tokoh besar yakni Sunan Bonang, Sunan Kudus, serta Sunan Kalijaga. Adapun gelar Jangkung beliau dapat dari gurunya dan juga kakeknya yaitu Raden Sahid atau Sunan Kalijaga. Karena Saridin ini selalu dijangkung oleh gurunya. Makna kata jangkung menurut bahasa Indonesia dilindungi, diayomi, dipelihara, dididik, dan selalu dalam naungannya.

4.1 Masa Kecil Syekh Jangkung

Bagi sebagian warga Pati, Jawa Tengah nama Syekh Jangkung tidak bisa dilepaskan dengan cerita mengenai kesaktian Syekh Jangkung atau juga dikenal sebagai Saridin yang begitu melegenda. Menurut Babad Pati, Saridin adalah anak angkat Kyai Ageng Kiringan yang ditemukan di pinggir sungai. Selama ini Kyai Ageng Kiringan memang mendambakan anak lelaki meski telah memiliki putri yang bernama Nyi Branjung. Berkat do‟anya yang khusuk pada suatu hari ditemukanlah seorang bayi laki-laki dengan perantara gaib Sunan Kalijaga yang mengatakan sesungguhnya bayi itu adalah putra sunan Muria, Bayi itu berselimutkan kain kemben yang berasal dari kain penutup dada sang ibu. “Asuhlah dengan bijak, agar kelak menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan agama. Adapun kemben itu kelak akan menjadi senjata yang ampuh untuk mengatasi setiap bahaya yang mengancamnya,” kata Sunan Kalijaga seperti dimimpikan oleh Kyai Ageng Kiringan.

Tentu saja Kyai dan Nyai Ageng Kiringan sangat berbahagia dan berjanji akan melaksanakan amanat dari Sunan Kalijaga itu sebaik-baiknya. Mereka sadar bahwa mereka hanyalah orang desa, bersepakatlah untuk memberi nama sang bayi itu sesuai dengan adat pedesaan, yaitu Syarifuddin. Untuk memudahkan masyarakat Jawa mengucapkannya sesuai logat, nama “Syarifuddin” berubah menjadi “Saridin”. 
Dengan penuh kasih sayang suami istri itu mendewasakan Nyi Branjung dan Saridin sebagai kakak beradik hingga keduanya berumah tangga. Setelah beranjak remaja, Kyai Ageng Kiringan mengirimnya untuk berguru kepada Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, wajar saja kalau Saridin memiliki ilmu pengetahuan Agama yang sangat luas. Akan tetapi tidak pernah membuat beliau menjadi sombong. Bahkan beliau bersikap lugu layaknya orang desa.

Setelah beranjak dewasa Nyi Branjung kakak Saridin dinikahkan dengan Prawiroyudo seorang abdi dalem tumenggung Niti Kusumo dari Mataram yang menjadi buronan. Setelah Kyai Ageng Keringan wafat, Prawiroyudo mengajak Branjung pindah ke Miyono. Setelah di Miyono Prawiroyudo berterus terang bahwa dirinya adalah buronan Kasultanan Mataram dan meminta agar ia kini di panggil Ki Branjung. Ketika tinggal bersama kakaknya di Miyono inilah Saridin bertemu dan menikah dengan Sarini putri tunggal Kyai Truno Upet. Dari pernikahan ini Saridin dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok. 

Nyi Branjung dan Saridin oleh orang tuanya mendapat peninggalan warisan berupa kebun pohon durian. Dan keduanya telah setuju untuk membagi uang hasil penjualan panenan buah durian tersebut. Ki Branjung atau Prawiroyudo yang merupakan suami Nyi Branjung yang telah menyamarkan namanya dengan nama istrinya tersebut menjadi Branjung menawarkan kepada Saridin jika ada buah durian yang jatuh di malam hari maka yang memilikinya adalah Ki Branjung, sedangkan yang jatuh di siang hari maka yang memilikinya adalah Saridin. Untuk menjaga hubungan yang baik dengan saudaranya, Saridin menerima dengan senang hati tawaran Branjung tersebut. Saridin adalah seorang yang sakti, ia kemudian bersemedi pada malam hari memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar durian-durian itu tidak ada yang jatuh pada malam hari, tetapi berjatuhan pada siang hari. Dengan demikian sesuai dengan perjanjian maka durian-durian itu menjadi milik Saridin. Allah SWT mengabulkan permohonan Saridin.

Ternyata buah durian yang jatuh di siang hari lebih banyak daripada buah durian yang jatuh di malam hari. Sehingga membuat Ki Branjung mengadakan tawaran lagi, yaitu Saridin mendapat buah durian yang jatuh di malam hari dan kakaknya Branjung mendapat bagian buah durian yang jatuh di siang hari. Harapannya ialah memperoleh banyak durian yang berjatuhan di siang hari. Allah Maha Adil, sekali lagi Saridin memohon dan bersemedi agar durian-durian itu tidak dijatuhkan pada siang hari, tetapi pada malam hari. Permohonan Saridin terkabul, durian-durian berjatuhan pada malam hari. Hal ini membuat Branjung kecewa dan penasaran, karena tidak mendapatkan durian, maka mencari akal bagaimana cara untuk mendapatkan durian-durian itu. Maka munculah niat buruk Branjung untuk mencuri durian-durian yang jatuh pada malam hari.
Agar niat Ki Branjung untuk mencuri buah durian tidak diketahui oleh Saridin, ia menyamar dengan memakai pakaian dari kulit harimau. Saridin merasa keheranan mengapa buah durian yang biasanya jatuh banyak di malam hari tidak ada yang jatuh. Setelah diteliti ternyata dicuri oleh harimau. Saridin kemudian membuat tombak runcing dari bambu. Pada saat harimau mencuri buah durian, Saridin menusukkan tombak bambu tersebut tepat pada tubuh harimau hingga tewas. Tidak disangka ternyata yang dibunuh bukan harimau, tetapi kakak iparnya sendiri 

4.2 Masa Menjalani Hukuman di Kadipaten Pati

Masyarakat Desa Miyono gempar. Ki Branjung, salah satu warga yang cukup terpandang karena kekayaannya, ditemukan tewas di kebun belakang rumahnya. Segera petugas dari desa mengusut ke tempat kejadian perkara, menyelidiki sebab kematian Branjung dan siapa pembunuhnya.Di saat warga Desa Miyono sudah berkerumun di rumah Ki Branjung tiba-tiba muncul Saridin. Masyarakat langsung menunjukkan pandangan pada adik ipar Branjung yang terkenal melarat itu. Saridin datang dengan sebilah bambu runcing yang ujungnya berlumuran darah. Segera Saridin dipanggil. “Kemari kamu, Din,” ujar seorang petugas. “Ya… saya tuan,” jawab Saridin.

“Kamu tahu siapa yang membunuh Branjung?” ujar petugas itu sambil menunjuk mayat Branjung dengan sikap menyelidik. Saridin menggeleng. Tapi petugas yang sudah curiga itu tak mau menyerah. Mayat Branjung yang mengenakan baju macan ia rapikan lagi hingga tubuh Branjung yang terbaring itu kini menyerupai macan. “Nah, kalau ini kamu tahu siapa yang membunuh?” tanya petugas itu lagi.“Lha, kalau macan ini saya membunuh,” jawab Saridin. Tak ayal warga Desa Miyono gempar dengan pernyataan Saridin itu. Berarti Saridin-lah yang membunuh Branjung.

Dibawalah Saridin menghadap Kepala Desa untuk disidang secara adat. “Saridin, benar kamu telah membunuh kakak iparmu?” tanya kepala desa menegaskan. “Pak kepala desa, demi Allah saya tidak membunuh kakak ipar sendiri,” jawab Saridin polos. Sebagaimana dilakukan petugas keamanan desanya, kepala desa lalu menutup lagi tubuh Branjung dengan pakaian macannya. “Nah, kalau macan ini kamu yang membunuh?” tanya kepala desa. “Ya, betul saya yang membunuh macan ini sebab ia mencuri durian saya,” jawab Saridin. Begitu terus sampai berulang-ulang. Saridin tetap tidak mengakui telah membunuh Branjung. Ia hanya membunuh macan, sebab memang itulah yang terjadi.

Kepala desa merasa bingung apa yang harus ia putuskan. Di satu sisi ia mengetahui bahwa Branjung telah dibunuh oleh Saridin, tapi Saridin tidak bisa dihukum sebab yang ia bunuh adalah macan, samaran kakak iparnya. Karena merasa tidak bisa mencari solusi masalah yang baru pertama kali terjadi ini, Kepala Desa Miyono membawa kasus ini ke Kadipaten Pati.
Di hadapan Joyokusumo, Bupati Pati, kejadian tadi kembali berulang. Kalau pakaian macan Branjung dibuka, Saridin tidak mengakui ia telah membunuh, sedang kalau pakaian Branjung dirapatkan Saridin mengakui ia telah membunuh. Akhirnya Bupati tersebut merasa Saridin yang dihadapannya ini adalah orang desa yang lugu dan dungu maka dengan sedikit berbohong ia berkata.

“Ya sudah, Din, kalau begitu macan yang salah, karena macan salah, ia harus dikubur, kamu sendiri akan saya beri penghargaan karena telah membunuh macan. Kamu nanti akan saya pindahkan ke bangunan besar, di sana kamu akan diberi makan gratis setiap hari, kamu bebas tidur atau mengerjakan apa saja, tapi kamu tidak boleh keluar, kamu hanya boleh keluar kalau kamu bisa. Nanti kalau kamu mau mandi akan ada orang yang mengantar dan menjaga  kamu,” ujar Joyo Kusumo kepada Saridin. Sebagai orang yang melarat tentu saja Saridin senang mau diberi makan gratis. Apalagi kalau mandi akan diantar, “Wah, mirip Priyayi,” ujar Saridin gembira. Maka dibawalah Saridin ke tempat enak yang tidak lain adalah penjara itu. Di sana ia mendekam sebagai tahanan. Disitulah Saridin mulai menyadari apa yang menimpanya. Karena Bupati membolehkan dirinya keluar dari penjara kalau ia bisa. Saridin ingin keluar untuk minta maaf pada istrinya sebab telah menjadi suami yang berulah. Di sana pula Saridin menghayati wejangan Sunan Bonang, yang mengatakan, jika seorang manusia telah menyatukan rasa dengan Sang Pencipta, apa yang diinginkan pasti akan terlaksana.

Sebelum dimasukkan ke dalam rumah berjeruji besi tersebut, Saridin bertanya kepada petugas apakah boleh pulang kalau rindu anak dan istrinya. Petugas menjawab: “Boleh, asal bisa.” Beberapa hari kemudian, Saridin memohon kesempatan pulang kerumahnya. Akan tetapi jangankan dibukakan pintu oleh para sipir penjara, bahkan izin pun tidak diperbolehkannya. Sadarlah Saridin bahwa dirinya telah ditipu. Di tengah-tengah keyakinannya tersebut, Saridin yang cerdas, melihat secercah celah kelemahan dalam memutuskan hukuman penjara atas dirinya. Kelemahan itu adalah pernyataan Adipati Joyokusumo yang intinya ia boleh pulang apabila bisa. Oleh karena itu, ia pun memohon kehadirat Allah SWT agar diberi-Nya kesempatan untuk dapat keluar dari penjara sekedar untuk melihat keadaan anak-istrinya. 

Karena dalam peristiwa tewasnya Ki Branjung itu sesungguhnya Saridin berada di pihak yang diperlakukan tidak adil. Maka Allah SWT mengabulkan permohonannya. Pada suatu malam yang sepi, Saridin mengamalkan kesaktiannya sehingga terbebaslah dari rumah penjara itu tanpa diketahui para penjaga yang selalu siaga setiap saat. Setelah sampai di rumah, Saridin melihat istrinya Sarini hendak diperkosa oleh petinggi Miyono. Melihat kedatangan Saridin, petinggi Miyono kaget dan langsung melarikan diri, kemudian melaporkan kepulangan Saridin kepada Adipati Joyokusumo. Kejadian ini membuat geger Kadipaten Pati. Setelah pulang menjenguk istri dan anaknya, Saridin kembali ke penjara. Tanpa merasa bersalah, Saridin mengakui kalau dia telah pulang ke rumah untuk menjenguk istri dan istrinya.

Hal ini membuat proses hukuman kematiannya pun dipercepat. Saridin kemudian dimasukkan kedalam peti, namun yang terjadi justru prajurit yang berada di dalam peti tersebut, sehingga membuat geram para prajurit. Karena merasa dipermainkan para prajurit membawa Saridin ketiang gantungan di alun-alun kadipaten. Ketika tali sudah dipasang dan hendak ditarik ternyata tali tersebut menjadi sangat berat, dan Saridin juga menawarkan diri untuk ikut serta dalam menarik tali gantungan tersebut dan dijawab boleh kalo bisa. Akhirnya Saridin turut serta menarik tali tersebut yang menyebabkan salah seorang anggota prajurit terpental yang kemudian Saridin dikejar-kejar para prajurit hingga sampai terusir dari wilayah Kadipaten Pati.

4.3 Menuntut Ilmu di Pesantren Sunan Kudus

Berkat pertolongan dari Allah yang melekat pada dirinya, beliau berhasil meloloskan diri. Dan sejak saat itu, Saridin hidup sebagai buronan Kadipaten Pati. Dalam keadaan sedih hidup sebagai buronan Saridin bertemu dengan Sunan Kalijaga. Kemudian Sunan Kalijaga mengingatkan agar ia tidak sembarangan dalam menggunakan anugrah kelebihan yang melekat pada dirinya. Sunan Kalijaga menyarankan Saridin untuk berziarah ke makam ibunya di Keringan. Oleh karena itu Saridin pun bergegas pergi ke makam Nyi Sujinah. Setelah beberapa malam lamanya nyepi di makam Nyi Sujinah bergelar Dewi Samaran, Saridin pun bertemu dengan ibunya itu. Dalam mimpinya tersebut ibunya menyarankan agar ia berguru kepada Sunan Kudus.
Akhirnya beliau pun tinggal di untuk menuntut ilmu di Pesantren Kudus. Sesuai tradisi di Pesantren Kudus, kefasihan dan kemerduan suara dalam membaca al-Qur’an dan lain-lain menjadi prioritas utama, membaca syahadat pun mesti seindah mungkin. Sehingga wajar santri Pesantren kota Kudus begitu fasih dalam membaca al-Qur’an. Pada satu waktu Sunan Kudus mengadakan pengujian terhadap semua santri termasuk Saridin, untuk membaca syahadat satu persatu. Semua santri begitu fasih dan lancar dalam membaca syahadat. Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes membaca syahadat, beliau berdiri tegap, berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap kedepan. Kemudian menarik napas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya komat-kamit entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat. Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak beliau berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan memilih kelapa yang paling tinggi terus meloncat. Memanjat ke atas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.

 Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak (daun kelapa kering) di puncak batang kelapa). Beliau menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan, terus naik dan menginjakkan kakinya di tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan melompat tinggi dan melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.  Badan Saridin menimpa bumi,terkapar. Tetapi anehnya tidak suara benda jatuh ke bumi. Sebagian santri berlari mendekat untuk melihat Saridin. Tetapi ternyata itu tidak perlu. Saridin membuka matanya dengan wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa. Ia bangkit dan membungkuk menghadap Sunan Kudus dan berkata: “ Sami’na wa atha’na aku telah mendengarkan dan aku telah mematuhi.” Gemparlah seluruh pesantren dan penduduk berduyun-duyun berkumpul dalam ketidak mengertian dan kekaguman. Saling bertanya dan bergumam namun tidak menghasilkan pengertian apa pun. Akhirnya Sunan Kudus mengumpulkan para santri dan penduduk masuk ke dalam masjid.

Sunan Kudus kemudian berkata kepada Saridin, mengapa Saridin menjatuhkan dari pohon kelapa? Saridin menjawab, “Kalau hanya sekedar mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dilakukan para santri seperti tadi,anak kecil pun bisa. Maka, saya memaknai syahadat dengan menjatuhkan diri dari pohon kelapa seperti ini. Sebab, bersyahadat maknanya adalah keyakinan atau keimanan kepada Gusti Allah di dalam hati.” Begitulah makna hakikat kalimat syahadat yang ada dalam benak Saridin. Itu mengisyaratkan adanya keyakinan yang mendalam dalam diri Saridin. Kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Jika dengan menjatuhkan diri dari pohon kelapa tadi akhirnya mati, berarti ketetapan kematiannya memang saat itu juga. Karena tidak mati, berarti dia memang belum saatnya mati.

Kemudian Sunan Kudus berkata kepada para santri dan penduduk,“Saridin telah bersyahadat, bukan membaca syahadat. Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya. Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa.” Menurut Saridin Syahadat adalah mempersembahkan seluruh hidup dan dirinya. Saridin tidak takut mati, karena hidup dan mati adalah kehendak Tuhan. 

Kemudian Sunan Kudus berkata: “Bagaimana sekarang kalau aku menyuruhmu makan jamu gamping yang panas dan membakar tenggorokan dan perutmu? “Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau aku kemudian mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati.” Sunan Kudus melanjutkan: “Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, Insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain? ”Maksud Sunan? ”Bagaimama kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?”

“Kalau itu terjadi, yang membahayakan bukanlah aku Kanjeng Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri, Jawab Saridin. Setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama, dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Allah melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnya, dengan keyakinannya, dengan tempat ia berpijak, serta dengan berbagai kemungkinan sunnatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda. ”Sunan Kudus bertanya lagi, ”Orang memang tak akan menyebutmu kadal, kuda, atau kodok, melainkan bunglon, apa katamu? ”Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya. Akhirnya seluruhnya yang hadir terdiam, tak lama kemudian Sunan Kudus membubarkan acara tersebut.

Karena murid baru beliau sering dikerjai oleh murid-murid lama. Para santri setiap hari diwajibkan mengisi tempat air untuk wudu. Nah, Saridin yang juga terkena kewajiban itu rupanya tidak kebagian ember. Para santri lama tak ada satupun yang mau meminjamkan ember padanya. Melihat Saridin bingung kesulitan mendapatkan ember, seorang santri bilang dengan maksud mengolok. “Din, kamu tidak kebagian ember ya, tuh ada keranjang…. Bawa saja air di sumur itu pakai keranjang,” ujar santri itu sambil menahan senyum. Terdorong melaksanakan kewajibannya Saridin membawa saja keranjang rumput itu. Ajaib, air yang seharusnya lolos di sela-sela lubang keranjang itu, malah dapat tertampung hingga Saridin dapat mengisi tempat wudu sampai penuh. Para santri yang melihat hanya melongo melihat ulah Saridin.

Berita itu akhirnya sampai kepada Sunan Kudus. Di hadapan mursyidnya itu Saridin dengan jujur menceritakan semuanya tanpa ada satupun yang tertinggal. Menganggap Saridin sedang menyombongkan diri dengan kelebihannya, Sunan Kudus lalu mengetes Saridin. “Din… kamu kan tadi mengisi air, sekarang di tempat wudhu itu apakah ada ikannya?” tanya Sunan Kudus. “Setiap air pasti ada ikannya, Kanjeng Sunan, begitu pula di tempat air wudu itu,” jawab Saridin polos. Para santri yang mendengar jawaban Saridin kontan tertawa. “Mana mungkin tempat wudhu ada ikannya,” pikir mereka. Tapi setelah di cek memang betul ditemukan ikan di dalamnya.
Sunan Kudus gusar melihatnya, kali ini Sunan Kudus merasa ditantang. “Baik, Saridin, sekarang apa yang ada ditanganku ini?” ujar Sunan Kudus. “Buah kelapa, kanjeng,” jawab Saridin pelan.

“Katamu setiap air ada ikannya, kelapa ini didalamnya ada airnya, apakah kau tetap mengatakan bahwa dalam kelapa ini ada ikannya?” tanya Sunan Kudus lagi. “Ada Kanjeng,” jawab Saridin polos. Kembali hadirin tertawa karena menganggap Saridin dungu. Tapi setelah kelapa itu dibelah kagetlah mereka semua, termasuk Sunan Kudus, karena didalamnya ada ikan hidup yang berenang di air kelapa. Menganggap Saridin melakukan hal-hal yang tak patut, yaitu memperlihatkan karomah diri pada orang lain. Menyadari bahwa budaya memamerkan segala bentuk anugerah Allah bisa mengancam eksistensi Pesantren Kudus sebagai salah satu pusat dakwah Islamiah, maka Sunan Kudus mempersilahkan Saridin untuk meninggalkan wilayah Kudus dan tidak menginjakkan kakinya di bumi Kudus. 

Setelah diusir oleh Sunan Kudus, Saridin tidak pulang ke Landhoh, namun masuk ke dalam jumbleng (tempat buang air besar) Kaputren Kudus untuk bertapa. Keberadaan Saridin kemudian diketahui oleh salah satu putri Kudus yang hendak buang air. Putri Kudus tersebut tak lain adalah Nyai Sunan, ketika Nyai Sunan Kudus merasa akan buang air besar, maka masuklah Nyai Sunan ke jumbleng atau WC tersebut. Baru saja Nyai Sunan ingin jongkok, Saridin tertawa terbahak-bahak. Nyai Sunan terkejut dan tak mengira sama sekali bahwa tempat itu telah ada manusia masuk. Serta-merta Nyai Sunan lari untuk melaporkan hal itu kepada Sunan Kudus. Demi mendengar laporan Nyai Sunan, Sunan Kudus segera ke belakang menyatakan kemarahannya. Para santripun serentak menghambur ke arah jumbleng, mereka hendak mengeroyok Saridin, namun Sunan Kudus melarangnya karena Saridin berada di pihak yang benar, yaitu tidak menginjakkan kakinya di tanah Kudus melainkan ia berdiri di atas batang bambu di atas kotoran manusia yang berada di Jumbleng tersebut. Kemudian terjadi dialog antara Saridin dan Sunan Kudus. Sunan Kudus bertanya: “Sampai kapan kamu akan berjongkok di situ?” “Terserah Sunan,” jawab Saridin, “Hamba bermaksud berguru kepada Sunan. Hamba mohon diterima menjadi murid Sunan. Untuk itu hamba bersedia melakukan apapun yang Sunan perintahkan.” “Kamu mau jongkok disitu sepekan?” “Sendiko, Sunan.” Dan Saridin benar-benar jongkok di jumbleng itu sampai sepekan.

Karena jengkel dengan kelakuan Saridin akhirnya Sunan Kudus murka dan dikejarnya Saridin untuk diberikan hukuman setimpal. Tetapi Saridin berlari dan terus berlari hingga sampailah di suatu sungai dan menceburkan dirinya. Ketika Sunan Kudus sampai di tempat itu Saridin naik ke darat dan melarikan diri dengan meninggalkan bau busuk (bacin, Jawa) dan akhirnya tempat tersebut diberi nama desa Bacin. Saridin terus berlari ke arah barat. Ketika Sunan Kudus sampai di suatu tempat, Sunan Kudus beserta para pengawalnya menginjak-injak pekarangan yang baru dibuat dan rusak, maka tempat itu kemudian disebut desa Karanganyar dari perkataan pekarangan yang baru dibuat. Kemudian Sunan Kudus terus mengejar Saridin kearah selatan. Saridin berlari terus dan sampai disuatu tanggul dan disitu beliau beristirahat. Ditanggul itu Saridin dengan iseng  mendatangkan angin ke arah Sunan Kudus , tetapi dapat ditahan oleh Sunan Kudus, hanya pengikutnya yang terkena angin sehingga banyak yang berjatuhan. Maka tempat tersebut diberi nama Tanggul Angin. 

Saridin terus berlari dan berlari akhirnya sampai disuatu tempat ia bersembunyi dan naik di atas pohon cangkring yang tinggi. Tiada berapa lama Sunan Kudus datang dan Saridin melihat kedatangannya terus meloncat turun dan melarikan diri. Kemudian tempat itu diberi nama desa Cangkring diambil dari nama pohon Cangkring tersebut.Saridin masih juga berlari dan tak akan mau menyerah ataupun menghentikan larinya. Jarak antara Saridin dan yang mengejarnya semakin jauh. Sampai di sebuah pasar Saridin langsung masuk. Melihat kelakuan Saridin seperti kurang sehat akalnya, orang-orang di pasar menjadi bubar. Orang yang sedang berjualan mengemasi barang dagangannya dan orang yang sedang berbelanja terus saja lari menjauhi Saridin. Sementara itu, Sunan Kudus dan pengikutnya telah sampai di pasar itu. Melihat orang berlari-lari itu, Sunan Kudus bertanya kepada seorang diantaranya. Orang yang ditanyakannya menjawab bahwa di pasar itu telah kedatangan seorang yang berperawakan tinggi, masih muda tetapi badannya penuh dengan kotoran manusia. Mendengar penuturan itu, Sunan Kudus pun tahu bahwa orang yang dimaksudkan adalah Saridin. Berkatalah Sunan Kudus, bahwa karena orang-orang yang di pasar itu menjadi bubar, maka tempat tersebut dinamakan Pasar Bubar.

Demikianlah satu babak dalam cerita Saridin yang turun temurun dalam tradisi masyarakat Pati. Tokoh ini dikenal masyarakat sebagai seorang wali yang memiliki keluguan tiada tara. Ia memang rakyat biasa yang polos, tapi justru karena kepolosannya itulah yang membuat menguasai ilmu hakikat. Sunan Kalijaga. Wali keramat inilah yang mengajarkan Saridin ilmu hakikat. Makanya kemudian Saridin mengamalkan beberapa wejangan sufistik dari Sunan Bonang yang beliau dapatkan dari Sunan Kalijaga.

4.4 Perjalanan Mengembara dan Dakwah Syekh Jangkung

Dengan putus asa Saridin pergi, rupanya hal yang dialaminya diketahui Sunan Kalijaga. Wali yang bijak ini lalu menasehati Saridin untuk sabar sekalipun perbuatannya tadi dilakukan tanpa maksud menyombongkan diri. Sikap Sunan Kudus juga dijelaskan oleh Sunan Kalijaga sebagai sikap yang wajar seorang manusia biasa yang merasa malu jika dipermalukan di depan orang lain di hadapan murid-muridnya. Setelah peristiwa itu Sunan Kalijaga menyuruh Saridin mengasingkan diri untuk lebih dalam mengenal Allah SWT serta menjalani latihan-latihan rohani untuk menyatu dengan-Nya.
Kemudian Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan, dengan hanya dibekali dua buah kelapa sebagai pelampung. Tidak boleh makan kalau tidak ada makanan yang datang, dan tidak boleh minum kalau tidak ada air yang turun. Setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di salah satu kerajaan di Pulau Sumatera ada yang mengatakan daerah Palembang. Yang belum masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mataram. Raja tersebut menganggap remeh Sultan Agung. Saridin menyela omongan Raja tersebut, dia merasa terpanggil sebagai seorang yang sama-sama dari Tanah Jawa. Beliau  mengaku sebagai hamba Mataram yang mau menguji kesaktian dengan sang raja. “Aku bisa menghitung kekuatan pasukan kerajaan ini, yang paduka gelar di alun-alun kerajaan,” kata Saridin. Ribuan pasukan itu telah siap siaga untuk melawan Sultan Agung Mataram. “Ya, coba kalau bisa kamu menghitung ribuan pasukanku dengan tepat, aku akan mengaku kalah sama kamu, Saridin,”. 

Lalu Saridin melesat dengan cepat ke atas, berlari dari ujung ke ujung tombak yang mengacung ke langit. Semua dihitung dengan cepat seperti kilat. Dia kemudian berada dihadapan raja dengan menebak jumlah pasukan yang berbaris. Raja itu pun tertunduk, bergetar dan ciut nyalinya menghadapi kesaktian Saridin. Seketika itu raja takluk dihadapan Saridin, namun dia tidak menerima sembah bakti. Saridin menyarankan untuk tunduk kepada Sultan Agung saja, sebab Saridin adalah salah satu hamba dari Mataram. Dengan demikian raja tersebut tunduk-takluk kepada Sultan Agung tanpa perlawanan sama sekali. Bahkan beliau juga membantu memberantas pemberontak disana dan dinikahkan dengan Putri dari Patih Palembang yang bernama Rohayati sebagai hadiah. Selain sakti mandraguna, Saridin juga dikenal sebagai ahli berdakwah Agama Islam. Beramal ibadah, membantu kaum du’afa dan para fakir-miskin. konon kabarnya Saridin melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah hingga mendapatkan gelar Syekh.

Setelah lama mengembara Syekh Jangkung ingin kembali ke daerah asalnya, yaitu Miyono., ia kemudian dikenal sebagai sufi yang namanya cukup disegani di masa Kerajaan Mataram. Ia mengajarkan konsep-konsep tasawuf pada orang-orang yang ingin mengaji padanya.  Ketenaran Saridin sampai ke wilayah Mataram. Kehebatan Syeh Jangkung akhirnya sampai di telinga Sultan Agung Raja Mataram. Sultan Agung sedang bingung karena warga di Alas Roban mengadu karena saat ini banyak warga yang menderita karena Ki Jati, penguasa alas Roban sangat kejam dan banyak membunuh warga yang akan membuka ladang di daerah itu. Ki Jati adalah orang yang sangat sakti yang bisa berubah menjadi siluman ular yang sangat ganas. Tidak itu saja. Ki Jati yang menganut aliran sesat, selalu menculik gadis-gadis muda di sekitar alas roban untuk dijadikan tumbal agar dia tetap digdaya dengan ilmu hitamnya. Sultan Agung lalu minta tolong pada Syeh Jangkung untuk menumpasnya. Syeh Jangkung lalu mendatangi Ki Jati. 

Terjadilah pertarungan hebat antara Syeh Jangkung dengan Ki Jati. Ki Jati kalah dan Syeh Jangkung minta agar Ki Jati berjanji akan meninggalkan alas roban. Namun Ki Jati masih menyimpan dendam pada Syeh Jangkung. Atas jasanya menumpas penguasa Alas Roban, Syeh Jangkung mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli. Saat Syeh Jangkung berbahagia akan melaksanakan pernikahannya, Ki Jati yang masih dendam raganya masuk kedalam Retni Jinoli. Syeh Jangkung kini harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Dengan sungguh-sungguh Syeh Jangkung menyembuhkan calon istrinya. Istri Syeh Jangkung sembuh dan siluman ular yang masuk ke raga Retno Jinali diusir keluar. Wanita trah Keraton Mataram itu lalu menjadi istri sah Syeh Jangkung dan diboyong ke Miyono.

Sebagai keturunan ningrat dan ulama, Syekh Jangkung pernah mengemban amanah Sultan Cirebon untuk menumpas pemberontakan yang telah melakukan penculikan terhadap putri Sultan Cirebon, Ratu Pandan Arum. Untuk menumpasnya, Syekh Jangkung dibantu oleh Sunan Kalijaga, Sayyid Widagdo, Sayyid Abdullah Asyiq, dan Sayyid Panjunan. Misi ini mendapat keberhasilan yang gemilang meskipun salah satu anggota ulama ini ada yang syahid, yaitu Sayyid Widagdo.

4.5 Legenda Kebo Landoh

Ketika usia Syech Jangkung mendekati senja dia memilih hidup sebagai petani dengan membuka perkampungan baru di kawasan Pati, Jawa Tengah. Dalam perjalanan mencari perkampungan sampailah di Desa Lose. Di sini, dia bertemu dengan tujuh orang yang sedang memperbaiki atap sebuah rumah. Dari sinilah Syekh Jangkung ingin membuktikan kebaikan perilaku ketujuh orang tersebut. Lantas, dia mengalihkan perhatian mereka dengan bertanya apakah ada warga sekitar yang akan menjual kerbau. Maksud Syekh jika ada maka dia ingin membeli dua ekor dengan alasan untuk keperluan membajak sawah. Ke tujuh orang melihat pakaian Syekh Jangkung yang compang-camping tidak mengindahkan pertanyaan tersebut. Malah menghinanya dengan jawabannya yang menyakitkan. Mereka mengatakan di desanya tidak akan ada orang menjual kerbau padanya. Namun, bila mau dia akan diberi kerbau yang sudah mati. Di luar perkiraan ke-tujuh orang itu, Syekh Jangkung menerima tawaran mereka. Lalu berangkatlah mereka bersama menuju tempat kerbau mati. 

Syekh Jangkung lantas menatap seonggok kerbau yang sudah tidak bergerak itu. Badannya sangat besar dengan tanduk yang sudah melengkung. Melihat kerbau itu, Syekh Jangkung lantas salat dan meminta kepada Allah agar kerbau itu dihidupkan kembali. “Sekarang bangunlah,” ujar Syekh Jangkung sambil mengelus-elus tanduk kerbau itu. Aneh bin ajaib, tiba-tiba kerbau itu mengibaskan ekornya menandakan dia hidup kembali. Tahu kejadian ajaib itu serta merta ke tujuh orang yang semula meremehkan diri Syech Jangkung langsung bersujud untuk menyampaikan permintaan maafnya. Sejak itu Syekh Jangkung membuka perkampungan di tempat ke tujuh orang tersebut. Yang lantas dikenal dengan nama Desa Landoh, Kecamatan Kajen, Pati. Sebelum meninggal dunia, Syekh Jangkung berpesan agar kelak kerbau itu disembelih dan dibagikan kepada seluruh penduduk. Tapi, ketika dia meninggal dunia, kerbau itu menghilang dan baru muncul pada hari ke 40. 

Oleh anaknya, kerbau itu disembelih dan dibagikan kepada penduduk Landoh. Sementara itu, kulitnya (lulang) disimpan dengan rapi. Suatu ketika ada seorang pedagang yang kehilangan sabuk pengikat barang dagangan. Dia mengadu kepada Tirtokusumo, anak Syekh Jangkung yang akhirnya memberikan tulang kerbau peninggalan ayahnya. Namun, di pinggir kampung sapi yang mengenakan tulang kerbau itu mengamuk. Tak seorang pun yang berhasil membunuhnya. Anehnya, sapi itu tiba-tiba menjadi kebal terhadap senjata. Ketika sapi itu kelelahan, Tirokusumo mengambil tulang kerbau itu. Dan, sapi itupun dengan mudah bisa dibunuh dengan tombak. Dari kejadian tersebut, akhirnya masyarakat yakin jika tulang Kebo Landoh adalah jimat sakti untuk kekebalan. Tirtokusumo kemudian membagikan kulit tersebut dalam ukuran kecil kepada penduduk Desa Landoh, termasuk Sultan Agung.

5. Keteladanan Syekh Jangkung

Meskipun jejak langkah Saridin masih merupakan misteri, namun setidaknya menurut juru kunci makam Saridin, RH. Damhari Panoto Jiwo, menjelaskan bahwa Saridin dilahirkan di Landoh, Kiringan, Tayu, Pati. Nama Saridin berarti inti sarinya agama (esensi agama). Maka semangat belajar atau berguru Saridin juga sangat tinggi. Guru-gurunya antara lain: Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus. Kehidupan Saridin tidak terlepas dari pengaruh guru-gurunya tersebut. Seperti Mijil  dan  Maskumambang.  Sunan Kudus juga ahli tasawwuf dengan paham wihdatul wujud yang berpengaruh terhadap Saridin tentang membaca syahadat Saridin malah memanjat pohon kelapa dan menjatuhkan diri. 

Berbeda dengan Sunan Kudus yang memilih berdakwah dengan menetap di pesantren, Sunan Kalijaga sebaliknya, ia memilih berdakwah dengan berkeliling. Menurutnya, seluruh penjuru dunia adalah pesantren sehingga ia tidak memiliki pondok pesantren. Sunan Kalijaga melegalkan semedi dan sesaji sebagai media penyebaran Islam. Dakwahnya melalui media seperti tembang, wayang, gamelan, dan syair pujian pesantren. Sunan Kalijaga juga ahli tasawwuf. Kebiasaan Saridin bersemedi kemungkinan besar mengikuti jejak Sunan Kalijaga. Demikian juga Sunan Bonang juga ahli dalam bidang dan tasawwuf. Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai jenis tapa dan mengajak bertapa kepada muridnya. Sunan Kalijaga tidak hanya mengajak, tetapi juga melakukannya,  sebagaimana  diperintahkan oleh Sunan Bonang waktu Sunan Kalijaga hendak berguru kepadanya. Bertapa di sini dapat dimaknai secara tersirat, yaitu menahan atau mencegah.

Selanjutnya, Saridin mendapat gelar Syekh Jangkung karena keinginan, ucapan, dan kemauannya senantiasa dikabulkan oleh Allah Swt. Syekh Jangkung memanfaatkan segala kelebihannya untuk mengabdi ke beberapa negeri yaitu kasultanan Cirebon, Mataram, Palembang, dan Rum. Saridin adalah tipe orang yang mempunyai kekuatan ruhani dan nurani dibandingkan dengan teman-temannya. Beliau  juga tipe orang yang lebih cenderung melihat landasan vertikal, jalur ke atas, hablum minallah. Berarti dia bukan tipe orang yang gampang terpengaruh melihat sebab akibat, kemakhlukan, muamalah, jalur menyamping atau landasan horisontal (hablum minannas). 

Syekh Jangkung adalah orang yang lugu, jujur, ulet, sabar, apa adanya, qana‟ah, tidak serakah. Syekh Jangkung juga adalah seorang tokoh yang selalu taat beribadah kepada Allah. Apapun yang dijalaninya, dia selalu percaya bahwa Allahlah yang telah mengatur segalanya. Cara berdakwah Syekh Jangkung adalah dengan cara lugas dan kejujuran, tetapi disertai dengan mental tauhid dan keyakinan kepada Allah yang kuat sehingga tekun beribadah. Syekh Jangkung menunjukkan bukti kekuasaan Allah kepada masyarakat dengan selalu terkabul do‟anya sehingga memudahkan beliau dalam berdakwah dan menunjukkan bahwa ia orang yang dekat dengan Allah, sehingga keislamannya tidak bisa diragukan lagi. 

Syekh jangkung adalah sosok waliyullah (kekasih Allah) yang alim, zahid, dan Wirai. Ia tidak terpesona dengan gemerlapnya dunia meskipun harta berlimpah ruah selalu saja mendekati dirinya tanpa harus diminta. Hidup di lingkungan istana yang serba mewah tidak membuat dirinya tergiur dengan harta dan jabatan. Ia ingin meninggalkan segala kemewahan dan lebih memilih hidup di tengah-tengah masyarakat untuk menyebarkan agama Islam. Wali Allah adalah orang-orang yang dekat kepada Allah, karena mereka menyerahkan diri kepada-Nya, mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (menjadikan Allah sebagai pemimpin mereka), serta mereka akan mendapatkan perlindungan dari Allah. 
Religiusitas Saridin yang sufistik-populis berdampak pada cara dakwahnya yang merakyat, dapat menyesuaikan kondisi sosial, keagamaan, dan kebudayaan masyarakatnya. Dengan karamah-karamah yang luar biasa, membuatnya menjadi seorang waliyullah yang banyak disebut-sebut masyarakat, ditambah sikap-sikap yang nyleneh, membuat masyarakat semakin mengenangnya.

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
  6. Ali Mahmudi, Hikayah Syekh Jangkung, 1-2.
  7. Indah Puspowati, Religi Jawa Dalam Cerita Seh Jangkung Rubrik Cerita Rakyat Majalah Djaka Lodang (Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta, 2012)
  8. Nazid Nasrudin Muslim, Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Ajaran Saridin, 
  9. Wawan Susetya, Renungan Sufistik Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2007),
  10. Yudiono K.S. dan Kismarmiati, Cerita Rakyat Dari Kudus (Jawa Tengah) (Jakarta: PT. Grasindo, 1996)
  11. Ki Pati, Melacak Jejak Sosok Syeh JangkungSari-Din di Abad Kita (Semarang: Dahara Prize, 2012)
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya