Mengkaji Ulang Kepemimpinan Perempuan dan Cita-Cita Al-Qur’an

 
Mengkaji Ulang Kepemimpinan Perempuan dan Cita-Cita Al-Qur’an
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dr. KH. Husein Muhammad yang akrab disapa Buya Husein, pengasuh Pesantren Daar Al-Fikr Arjawinangun, Cirebon dan pendiri Fahmina Institue, dalam sebuah video wawancara yang diunggah di akun media sosial Puan Amal Hayati, menyebutkan sebuah istilah menarik yang beliau temukan, yaitu istilah Mantiqotul Jisr yang berarti tempat pertemuan di tengah-tengah jembatan. Namun, maksud sebenarnya bukanlah “letterlijk” demikian, sebab istilah ini hanya sebuah analogi atas sebuah kondisi realitas yang ingin diuraikan.

Secara runut Buya Husein menjelaskan yang maksud dari istilah “Mantiqotul Jisr bahwa jembatan itu adalah sebuah jalan yang menghubungkan antara satu titik awal ke titik lainnya sebagai tujuan, maka yang dimaksud dari istilah “Mantiqotul Jisr adalah sebuah pertemuan antara tradisi sebagai titik awal menuju cita-cita sebagai titik tujuan.

Perubahan atas tradisi adalah sebuah keniscayaan. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang muslim itu pada hakikatnya telah selesai dalam artian secara format tekstualnya atas kasus tertentu namun visi atau cita-cita yang dikehendaki masih berlanjut hingga kini.

Jadi, apa yang ada dalam Al-Qur’an hari ini adalah sesungguhnya hasil dari pertemuan antara tradisi di mana teks Al-Qur’an itu hadir untuk pertama kali menuju pada sebuah cita-cita yang dituju pada saat itu. Dan baru sampai di situ, sehingga kita sebagai Kaum Muslim berkewajiban untuk melanjutkannya, tidak boleh berhenti di tengah jalan.

Lebih lanjut Buya Husein mengutip sebuah ayat Al-Qur’an Surat An-Nisa' ayat 34:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ  فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebab Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Memang benar pada saat itu laki-laki adalah pemimpin bagi pada umumnya kaum perempuan, karena menimbang memang pada saat itu laki-laki memiliki kelebihian intelektualitas daripada umumnya kaum perempuan. Alasan berikutnya, karena laki-laki pada saat itu berstatus sebagai mahluk publik atau sosial sementara perempuan adalah mahluk domestik.

Sementara sekarang kita menghadapi sebuah realitas baru dari sebuah kebudayaan, di mana perempuan telah diberi ruang yang luas untuk mengaktualisasikan diri mereka di ruang publik tidak seperti dulu, karena itu, perempuan sekarang secara faktual memiliki potensi-potensi yang sama yang juga dimiliki oleh laki-laki.

Nah di sinilah, cita-cita yang harus dicapai dengan kondisi baru itu, keadilan dan kemanusiaan. Jadi kita harus melanjutkan cita-cita itu dalam rumusan baru dalam bingkai kebijakan-kebijakan baru, di mana perempuan manakala dia memiliki seluruh potensi kemanusiaan, intelektualitas dan aktivitas publik yang sama dengan laki-laki, maka perempuan berhak untuk menjadi pemimpin bagi masyarakatnya. Baik dalam lingkup ruang domestik maupun publik. Dan itulah keadilan yang dicita-citakan oleh Al-Qur’an saat ini. Wallahu A’lam bis Showab. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari video wawancara Dr. KH. Husein Muhammad. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

___________

Penulis: Ahmad Syahroni

Editor: Hakim