Mengulik Sejarah Nahdlatul Ulama dalam Gelanggang Politik

 
Mengulik Sejarah Nahdlatul Ulama dalam Gelanggang Politik
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada awal perjuangannya, NU menitikberatkan pada pendidikan dan dakwah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Hingga tahun tahun 1930-an, NU tetap istiqomah berada di jalur pendidikan dan dakwah. Tetapi pada tahun di atas 1930-an sikap istiqomah NU mulai berubah, utamannya ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pengetatan pengajaran agama (Guru Ordonnantie, 1925), perubahan undang-undang perkawinan, yang seakan sengaja dibuat untuk melarang poligami, melakukan otopsi jenazah kaum Muslim, dan subsidi pemerintah yang lebih besar kepada sekolah-sekolah Kristen. (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, ter. Farid Wajidi dan MA Bakhtiar, hlm. 47)

Kondisi tersebut menjadi titik awal tokoh-tokoh NU terlibat dalam urusan negara. Sinyal kedua yang menunjukkan peningkatan minat politik dalam tubuh NU terlihat dalam Muktamar 1938, yaitu dengan adanya usulan agar organisasi tersebut terlibat langsung dalam perwakilan politik dan mencari posisi di Volksraad (dewan rakyat yang memberikan pertimbangan kepada pemerintah kolonial), meskipun usulan tersebut akhirnya ditolak. (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, ter. Farid Wajidi dan MA Bakhtiar, hlm. 48)

Keterlibatan NU dalam politik semakin nyata ketika menjelang kemerdekaan yang ditandai dengan munculnya tokoh muda NU, Gus Wahid Hasyim sebagai penggerak dan pelopor kemerdekaan.

Setelah kemerdekaan, NU menjadi partai politik pada tahun 1952. Pada tahun 1955 dan 1971 NU ikut ambil bagian menjadi kontestan Pemilu dan memperoleh suara signifikan. Tetapi setelah terjadi fusi partai pada tahun 1973 dengan bergabung dengan PPP, NU mengalami berbagai persoalan dan memasuki fase yang cukup sulit. Hingga akhirnya, pada tahun 1984, NU secara resmi keluar dari partai politik dengan menegaskan untuk kembali ke Khittah 1926. (Laode Ida, Anatomi Konflik, hlm. 26)

Namun demikian, meskipun sudah menyatakan diri keluar dari partai politik, keterlibatan elite NU secara langsung maupun tidak langsung dalam politik pada Pemilu pasca penyataan keluar dari politik praktis tidak dapat dihindari.

Kiprah politik NU dalam kerangka Khittah mengalami goncangan besar karena terjadinya peristiwa politik yang sangat menentukan, yakni berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden. Kalangan Nahdliyyin meyakini bahwa saat itu tibalah saatnya untuk menghentikan pengembaraan politik lewat media Orde Baru yang terkooptasi, dan mulai berpolitik secara sehat dengan menegaskan identitasnya sebagai komunitas NU.

Karenanya, warga NU di semua penjuru tanah air merespons peristiwa bersejarah itu dengan mengedepankan usulan agar PBNU menciptakan satu wadah yang berfungsi menyalurkan aspirasi politik kalangan NU. Usulan yang bersumber dari semua elemen NU, mulai mengalir ke Sekretariat Jenderal dan fungsionaris PBNU melalui berbagai sarana komunikasi, seperti telepon, telegram, surat dan email. (Abidin Amir, Peta Islam Politik, hlm. 109)

Tak cukup dengan cara itu, belasan ribu orang yang menjenguk Gus Dur yang sedang sakit, secara langsung mengajukan permintaan agar PBNU mendirikan parpol. Ketika itu, dikabarkan Gus Dur menyebut mereka dengan sebutan warga NU yang “seolah-olah sakit kalau tidak berpolitik”, sehingga “perlu dibuatkan wadah agar tidak gentayangan, tidak jelas”. (Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, hlm. 6)

Sebagai tindak lanjut atas desakan agar PBNU menfasilitasi pendirian partai, maka tangal 3 Juni 1998 PBNU membentuk Tim Lima yang terdiri dari KH. Ma’ruf Amin (Rais Syuriah/Koordinator harian PBNU), KH. M. Dawam Anwar (Katib Am PBNU), Dr. KH. Said Aqiel Siradj (Wakil Katib PBNU), HM. Rozy Munir, ME., M.Sc. (Ketua PBNU) dan H. Akhmad Bagja (Sekjen PBNU). Tim Lima tersebut ditugasi untuk memenuhi aspirasi warga NU. (Abidin Amin, Peta Islam Politik, hlm. 111)

Selanjutnya pada tanggal 20 Juni 1998, PBNU menyusun Tim Asistensi untuk membantu tugas Tim Lima. Setelah melalui diskusi dan pertemuan, maka pada tanggal 23 Juli 2008 bertempat di rumah Gus Dur, sejarah politik Indonesia modern menyaksikan kelahiran partai politik dari “rahim NU” yang bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tercatat ada lima orang deklarator utama, yakni KH. Abdurrahman wahid, KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. A. Mustofa Bisri, KH A. Muchith Muzadi.

Setahun berikutnya, pada Pemilu 1999 untuk pertama kalinya PKB yang proses pendiriannya difasilitasi oleh PBNU mengikuti Pemilu, dan secara nasional memperoleh suara yang cukup besar. Demikian pula pada tahun 2004, PKB kembali memperoleh suara yang cukup besar, meskipun sedikit mengalami penurunan jumlah pemilih. (Muhammad Asfar, Pemilu dan Prilaku Memilih 1995-2004, hlm. 118)

Peran Kyai NU dalam Dunia Politik

Sejarah perpolitikan NU dan partai politik yang memiliki hubungan sejarah dengan NU tidak dapat dilepaskan dari peran para kyai dan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan pesantren.

Sebagaimana diketahui bahwa kyai merupakan tokoh yang selalu identik dengan NU, karena NU lahir melalui proses yang melibatkan peran signifikan para kyai. Sementara pondok pesantren di mana kyai menjadi pemimpin di dalamnya, menjadi tempat kaderisasi bagi tokoh-tokoh yang kelak kemudian menjadi pengurus NU, terutama yang berhubungan dengan ajaran keagamaan yang dikembangkan oleh NU. Dari sisi inilah, posisi kyai merupakan entitas sangat penting dalam perjalanan NU, terutama soal keterlibatannya dalam politik.

Kyai dalam tradisi politik NU dikelompokkan sebagai kaum elite. Dalam sejarah perpolitikan NU, kyai tidak sekedar sebagai “pengumpul massa” (vote getter) yang cukup ampuh, tetapi ada juga yang menjadi pengurus dan anggota partai, calon legislatif, anggota legislatif bahkan pemimpin eksekutif.

Keterlibatan kyai NU dalam politik sudah berlangsung sejak masih bergabung dengan Masyumi, berpisah dengan Masyumi dan terlibat dalam Pemilu 1955, Pemilu 1971 dan hingga sekarang. Bersamaan dengan itu, elite NU yang lain seperti putra-putri kyai, menantu kyai, alumni pondok pesantren (santri) atau mereka yang memiliki hubungan ideologis dan kesejarahan dengan NU ikut mewarnai proses perpolitikan NU.

Sejarah perjalanan politik NU tidak dapat dipisahkan dengan keadaan elite NU Jawa Timur. Sebab di provionsi ini NU lahir dan berkembang dengan sangat pesat. Provinsi Jawa Timur merupakan kawasan dengan jumlah pesantren terbesar dan terbanyak di Indonesia. Dari provinsi ini, lahir dan tumbuh tokoh-tokoh yang kelak menjadi pemimpin NU maupun pemimpin nasional.

Di samping itu, dalam sejarah perpolitikan NU, perolehan suara pemilih partai NU atau partai politik yang berbasis NU di Jawa Timur pada Pemilu 1955, 1971, 1999 dan 2004 cukup besar dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Karena hal itulah, maka dampak bagi peran elite NU yang berasal dari Jawa Timur sangat menonjol dibandingkan dengan elite NU yang lain, setidaknya dari sisi kuantitas. Dari aspek inilah, persoalan dinamika partisipasi elite NU Jawa Timur dianggap memiliki daya tarik tersendiri. (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, ter. Farid Wajidi dan MA Bakhtiar, hlm. 221)

Dari sini kemudian kita menemukan sebuah fakta, bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh elite NU Jawa Timur meliputi partisipasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam tingkat eksekutif maupun legislatif, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, yakni melalui jalur petronase lewat anggota keluarga atau santri senior yang dipercaya sebagai alat kepentingan elite dalam menyuarakan kepentingannya, dengan mendudukkan mereka sebagai wakil di partai, parlemen atau eksekutif.

Partisipasi selanjutnya dalam bentuk pelaksanaan, yakni keterlibatan para elite dalam melaksanakan keputusan hingga di lapangan, baik yang dilakukan oleh dirinya maupun lewat perantara orang lain. Partisipasi yang umum dilakukan, dalam bentuk pengambilan manfaat dari kebijakan yang sudah diputuskan, baik di bidang pendidikan, sosial, kesehatan dan pelayanan masyarakat.

Para elite dalam mengambil manfaat cenderung pasif dengan tidak mempersoalakan terhadap produk yang diperoleh dari akibat partisipasi tersebut, selama hal tersebut dianggap halal dan tidak bertentangan dengan agama.

Jika dilihat lebih jauh, terdapat perbedaan pola partisipasi politik sebelum dan sesudah Orde Baru. Pada masa Orde Baru partisipasi politik masyarakat lebih bercorak mobilisasi (mobilized participation), dan tidak sepenuhnya berangkat dari kesadaran politik masyarakat. Ketika itu partisipasi masyarakat seperti dalam kampanye Pemilu, dan di tempat pemungutan suara, cenderung meningkat karena tekanan atau perintah/mobilisasi aparat pemerintah, dan bukan kebutuhan mereka sendiri untuk memberikan kontribusi dalam proses politik. Masyarakat mengikuti pemerintah karena takut stigma yang populer kala itu, ”anti pembangunan”, ”ekstrem kanan dan ekstrem kiri”.

Stigmatisasi itu cukup efektif untuk memobilisasi masyarakat guna memberikan legitimasi politik bagi Orde Baru. Sedangkan pada “Reformasi” pasca Orde Baru, partisipasi politik lebh bersifat otonom (autonomous participation). Hal ini, dapat dimungkinkan dapat dilakukan karena pada era reformasi terjadi “equilibrium” politik antara peran negara (state) dan masyarakat (society). Era bureaucratic authoritarian, di mana birokrasi negara melakukan kooptasi dan penetrasi dalam semua lini kehidupan sudah berakhir, berganti dengan transaksi politik antar kekuatan politik secara demokratis.

Pola Partisipasi NU pasca Orde Baru

Melihat realitas partisipasi politik elite NU pasca Orde Baru, lebih tepat dikatakan sebagai bentuk partisipasi “Simbolik-Pragmatik”. Secara simbolik, partisipasi politik elite NU dapat digambarkan dengan model partisipasi yang hanya pada tataran simbol dan kulit, tidak menyentuh pada partisipasi yang sesungguhnya, yang didasari atas keyakinan keagamaannya. Hal ini masih terlihat seringnya menggunakan simbol keulamaan, kekyaian, kepesantrenan dan paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam melakukan partisipasi politik, utamanya pada aspek keikutsertaan dalam mendirikan partai, menjadi pengurus dan anggota partai, atau hanya sebagai partisipan partai. Simbol keulamaan dan kekyaian merupakan simbol yang sangat dekat dengan hal-hal yang bersifat spritualitik dan holistik, sehingga keterlibatan simbol dalam politik dimaknai sebagai keterlibatan agama dalam politik, keterlibatan “peran-peran ketuhanan” dalam politik.

Partisipasi yang masih “simbolik” memiliki kecenderungan untuk berpolitik secara artificial, dengan menempatkan “kepentingan sesaat” sebagai dasar dalam perjuangannya, bukan atas dasar perjuangan ideologi “hidup-mati”.

Model partisipasi politik yang artificial memiliki kecenderungan politik yang “cair”, sangat rentan dengan kepentingan, dan bahkan konflik. Kecenderungan ini dapat diamati, misalnya antara lain dengan mudahnya elite NU berpindah dari satu partai ke partai lain karena alasan “perbedaan sikap” atau pikiran-pikirannya “tidak terakomodasi”. Begitu pula, dengan sangat mudahnya elite NU mendirikan partai politik baru dengan mengatasnamakan simbol keulamaan, kekyaian, kepesantrenan atau bahkan menganggap sebagai satu-satunya partai politik yang memperjuangkan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sementara bentuk partisipasi “pragmatik” adalah bentuk partisipasi yang didasarkan kepada kalkulasi politik yang matang, memperhitungkan untung rugi dan dampak sosial-ekonominya. Partisipasi yang pragmatik tidak banyak menggunakan nalar “normatif” sebagai pijakan berpolitik, melainkan kepada pemenuhan hal-hal yang bersifat instrumental, yakni partisipasi yang berdasar pada hal-hal yang bersifat materi “puas-tidak puas.”

Budaya politik elite NU Jawa Timur, terbentuk oleh pergumulan budaya besar (mayor) dan kecil (minor) yang cukup panjang dan intens, baik berasal dari tradisi Islam maupun Kejawen. Hasil dari pertemuan ini, melahirkan beberapa varian subkultur di Jawa Timur, yakni: budaya Pesisiran, Mataraman, Arek, Madura dan Pendalungan. Lima subkultur memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda satu sama lain.

Akibat dari hibridasi dan amalgamasi kultur dan subkultur membawa akibat pada budaya politik elite NU yang mendiami kawasan tersebut. Budaya elite politik yang berada di kawasan subkultur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut;

Budaya elite NU Mataraman bersifat rasional, lebih mementingkan substansi dari pada simbol, sangat taat pada raja/pimpinan negara dan memiliki kecenderungan berpolitik secara personal.

Budaya politik elite NU Pesisiran cenderung rasional-pragmatis, substansi dan simbol berjalan paralel. Kepatuhan santri kepada kyai tidak selalu beriringan dengan kepatuhan di bidang politik.

Budaya politik elite Madura masih tradisional-kharismatik, masih kuat mempertahankan simbol-simbol tradisi keagamaan, fanatik pada kyai dan kepatuhan kepada kyai menyangkut bidang agama dan politik.

Budaya politik elite Pendalungan cenderung tradisional-kharismatik tetapi pada hal-hal tertentu mulai pragmatis karena akibat interaksi dengan budaya popular, masih kuat mempertahankan simbol tradisi keagamaan, demikian juga masih fanatik pada kyai.

Sementara dalam Budaya Arek cenderung rasional-pragmatis (karena pengaruh budaya popular metropolitan), dari sisi prilaku cenderung egaliter, toleran dan kosmopolit, dan hubungan kyai politik ditempatkan secara proporsional.

Ragam dalam Pilihan Politik

Madura dan Pendalungan misalnya, memilih PKB sebagai pilihan utama, dan kalau keluar dari tradisi tersebut hanya melebar kepada partai yang memiliki ikatan historis dengan PKB, yakni PPP. Sementara dalam tradisi politik Arek dan Pesisir, antara PKB dan partai nasionalis-sekuler cenderung seimbang.

Pada bagian lain di Mataraman, kecenderungan kepada PKB sangat kecil, sehingga yang dominan adalah partai nasionalis-sekuler. Pilihan politik elite NU Jawa Timur pasca Orde Baru cenderung tidak berubah dari kondisi sebelumnya, yakni partai-partai yang didukung oleh elite kyai akan memperoleh suara yang cukup besar, kecuali di daerah Mataraman, di mana faktor kyai bukan menjadi penentu.

Partisipasi politik elite Nahdliyin, secara umum berakar dari pandangan religius, Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menjadi dasar hampir semua perilaku organisasi yang diperankannya, termasuk perilaku politiknya.

Karakter Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengutamakan keseimbangan orientasi dalam memahami ajaran Islam ini pada hakikatnya merupakan aliran tengah dari dua kutub besar, Jabariyah (yang cenderung fatalistik) dan Qadariyah (yang cenderung rasional). Konsekuensinya, watak perpolitikan NU berlangsung di antara dua kutub pemikiran, antara radikal dan akomodatif.

Sikap politik elite NU, yang berpangkal tolak dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dibagi ke dalam tiga prinsip, yaitu kebijaksanaan, keluwesan dan moderatisme. Istilah kebijaksanaan digunakan dalam pengertian bahwa dalam pengambilan tindakan diupayakan untuk memperoleh manfaat atau menghindari kerugian.

Keluwesan berarti NU selalu mencoba sedapat mungkin untuk menyesuaikan diri dengan waktu dan peristiwa yang sedang terjadi dan tidak pernah mengajukan sesuatu yang bersifat absolut atau tanpa syarat. Sementara moderatisme dapat diartikan sebagai suatu keinginan untuk menghindarkan tindakan yang ekstrem, dan bersikap hati-hati dalam bertindak dan menyatakan pendapat. Perilaku moderat, terutama kecenderungan untuk memilih cara yang umum disebut sebagai ”pendekatan jalan tengah”, ditemukan dalam pemikiran Islam atau cita-cita ideal budaya Jawa.

Dalam sejarah perpolitikan elite NU, mulai Orde Lama, Orde Baru hingga Masa Reformasi pasca Orde Baru, banyak sekali ditemui sikap politik yang dilakukan oleh para elite NU yang dianggap ambigu dan ambivalen oleh sebagian masyarakat yang tidak memahami NU. Sehingga sering kali muncul pemahaman negatif atas sikap-sikap tersebut, karena ketidakpahaman atas dasar keagamaan yang digunakan oleh NU.

Pemahaman negatif tersebut sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Masyumi ketika melihat tindakan tersebut dengan menyebut NU dengan sebutan partai plin-plan, oportunis, lunak dan bunglon. Namun sesungguhnya, perilaku dan sikap terhadap masalah-masalah sosial dan politik yang sering disebut dengan sikap “akomodatif” merupakan bentuk konsistensi atas nalar keagamaan yang dikembangkan oleh NU, bukan sikap sebaliknya. Karena itu, pemahaman terhadap penggunaan nalar keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan satu paket dalam memahami perilaku politik elite NU. Dan demikian itu berlanjut sampai sekarang. []


Penulis: Hakim

Editor: Roni