KH Saifuddin Zuhri , Penjaga Ingatan Warga NU

 
KH Saifuddin Zuhri , Penjaga Ingatan Warga NU

LADUNI.ID -  Di zaman Pak Harto, orang NU "diharamkan" menjadi Menteri Agama. KH. Muhammad Dahlan dari NU hanya sempat duduk di kursi ini beberapa tahun saja (Kabinet Pembangunan I, 1967-1971). Setelah itu, selama 30 tahun, NU puasa jabatan menteri agama, sebuah posisi yang sebenarnya menjadi wilayah "tawar menawar" politik NU sejak era revolusi kemerdekaan hingga Orde Lama.

Meski demikian, NU memiliki tradisi unik berkaitan dengan jabatan Menteri Agama. Saling berbesanan, maupun hubungan menantu-mertua. KH. A. Wahid Hasyim (Menag era revolusi) menjadi besan KH. Saifuddin Zuhri (Menag 1959-1966). Lalu, nama terakhir ini menikahkan anaknya, Adib, dengan putri KH. Muhammad Ilyas (Menag 1956-1959). Kelak, menantu Kiai Ilyas, Maftuh Basyuni, juga menjadi Menag era Pak SBY, 2004-2009. Tidak berhenti sampai di sini. Lukman Hakim yang merupakan putra KH. Saifuddin Zuhri juga menjadi Menag era SBY dan Jokowi.

Saya menyebut KH. Saifuddin Zuhri sebagai "penjaga ingatan warga NU". Bukan karena kiprahnya sebagai Menag, melainkan karena kreativitasnya di bidang tulis menulis.

Tiga karyanya, “Mbah Wahab Chasbullah: Kiai Nasionalis Pendiri NU” (1971), “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” (1974) serta “Berangkat dari Pesantren” (1987) merupakan karya otentik yang merekam jejak, karakter, perjuangan para masyayikh NU untuk bangsa.

Buku biografi KH. A. Wahab Chasbullah yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1971 bagi saya bukan hanya ulasan dari seorang santri kepada ulama yang dikagumi, melainkan lebih dari itu. Melalui buku yang diterbitkan ulang oleh LKiS pada tahun 2010 ini, Kiai Saifuddin Zuhri berusaha menjaga ingatan warga nahdliyyin atas sosok ulama besar yang kemudian dikukuhkan sebagai pahlawan nasional pada 2015 tersebut.

Kebetulan, ketika Kiai Wahab menjadi Rais Am Syuriah PBNU (1947-1971), Kiai Saifuddin seringkali mendampingi beliau sehingga memahami pemikiran visioner Kiai Wahab dan komitmennya dalam menjaga NKRI.

Buku selanjutnya, “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren” pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Al-Maarif Bandung pada 1974. Karya ini pada mulanya adalah wujud keinginan Kiai Saifuddin yang akan menulis novel mengenai dunia kiai dan pesantren. Namun, karena dirasa tidak berhasil menulis novel, beliau pun melanjutkannya sebagai semacam memoir, alarm pengingat para ulama yang bukan saja mempengaruhi dirinya, melainkan mempengaruhi perjalanan NU.

Cetakan kedua buku ini diterbitkan oleh LKiS, tahun 2001. Sampulnya berupa sketsa pensil Kiai Saifuddin Zuhri saat berialog dengan KH. A. Wahab Chasbullah. Isinya dikemas dengan susunan huruf yang padat dan ulasan yang mengalir. Dari buku ini, saya menjumpai karakter kiai-kiai kampung yang ulet dan tahan banting di era penjajahan Belanda, kiprah para ulama saat berjuang mengembangkan NU dan mempertahankan kemerdekaan RI, serta karakter mulia masing-masing ulama trio pendiri NU. Termasuk pula bagaimana dialog-dialog cerdas antara para ulama disajikan dalam buku yang tidak terlalu tebal ini.

Melalui “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren”, kita yang tidak menjumpai generasi emas NU bisa menapaktilasi serta meneladani perjuangan beliau-beliau. Tentu, sebagai “orang dalam”, tulisan di dalam buku ini subyektif. Tidak masalah, bagi saya. Sebab, isi di dalamnya sangat berharga. Sehingga para pembaca bisa menyelami alur pemikiran para ulama di zamannya sekaligus membaca visi masa depannya.

Sedangkan karya yang terakhir, “Berangkat dari Pesantren” pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung, 1987. Karya ini tebal, karena merupakan otobiografi Kiai Saifuddin Zuhri. Setelah diterbitkan ulang oleh LKiS, 2012, saya baru sempat membacanya. Isinya bagus. Kupasan perjalanan hidup Kiai Saifuddin Zuhri terpampang di sini, termasuk bagaimana kiprahnya dari seorang santri biasa, lalu dikader dan dikembangkan potensinya oleh KH. A. Wahid Hasyim (yang kelak menjadi besannya), melalui revolusi fisik 1945-1950 yang mengerikan, berjuang di NU, menjadi pengawal para kiai di pentas kenegaraan, serta mengiringi manuver Partai Nahdlatul Ulama dalam gelanggang politik Indonesia.

Inilah alasan rasional mengapa saya menjulukinya sebagai “Penjaga Ingatan Warga NU”. Sebab, andaikata beliau tidak menulis tiga buku di atas, niscaya banyak perjuangan dan pemikiran para ulama NU tidak terekam dengan baik. Ketiga buku di atas, bagi saya, menjadi artefak pengetahuan yang selalu menginspirasi gerak warga nahdliyyin, khususnya dalam memandang masa lalu, masa kini dan masa depan.

Oleh: Rijal Mumazziq Z

Ketua PCNU Surabaya