Tahun 676-680 M: Muawiyah Memburu Kekuasaan dan Menyesatkan Janji Hasan bin Ali

 
Tahun 676-680 M: Muawiyah Memburu Kekuasaan dan Menyesatkan Janji Hasan bin Ali
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Muawiyah bin Abu Sufyan adalah sosok yang brilian dalam bidang politik, mampu meniti karier dari posisi gubernur hingga mencapai takhta khalifah. Keberhasilannya tergambar jelas dari perjalanan panjangnya, mulai dari kepemimpinan sebagai gubernur Suriah selama kurang lebih 20 tahun, yang kemudian semakin diperluas wilayahnya melalui kebijakan otonom yang diberikan oleh Khalifah Utsman bin Affan.

Setelah itu, Muawiyah memimpin sebagai khalifah selama dua dekade penuh, mulai dari tahun 660 hingga 680 Masehi. Dengan kepandaian dan strategi politik yang cemerlang, Muawiyah berhasil memperkokoh dan memperluas kekuasaannya, meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah politik Islam.

Selama empat dekade, Muawiyah bin Abu Sufyan memegang kendali sebagai pemimpin daerah yang kuat dan berpengaruh. Namun, kebijakan-kebijakan selanjutnya yang diterapkan oleh Muawiyah, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah dia turun dari jabatan khalifah, memegang peranan penting dalam menggambarkan warisan dan pengaruhnya yang berkelanjutan. Akan kami jelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.

Janji yang dibuat dengan Hasan bin Ali

Mari kita kembali sejenak ke tahun 660 Masehi, di mana perseteruan politik antara faksi Muawiyah di Suriah dengan faksi Hasan bin Ali di kawasan suci Haramain, Kuffah, dan Basrah sedang memanas. Dalam upaya untuk mengakhiri pertikaian dan mencegah pecah belah seperti masa pemerintahan Khalifah Ali, Hasan bin Ali memilih jalan kesepakatan damai dengan merendahkan diri dan mengakui kekhalifahan yang dipegang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, meskipun dengan beberapa syarat yang dia tetapkan.

Salah satu syarat yang diajukan oleh Hasan adalah bahwa setelah wafatnya Khalifah Muawiyah, pemilihan khalifah berikutnya harus dilakukan melalui proses yang sama seperti yang dilakukan untuk Khalifah Utsman, yaitu melalui pembentukan dewan Syura'.

Meskipun perjanjian itu disetujui dan ditandatangani dengan penuh antusiasme oleh Muawiyah, tetapi pertanyaannya adalah, apakah perjanjian tersebut dapat dilaksanakan?

Pertimbangan Muawiyah Untuk Menentukan Pemimpin Selanjutnya

Pada masa tersebut, muncul beberapa simbol politik menjadi beberapa kubu. Di antara kubu-kubu tersebut, Hijaz menonjol dengan simbol politik yang menyerupai Khulafaurrasyidun, menitikberatkan pada fondasi politik yang berakar pada Al-Quran dan sunnah. Pandangan masyarakat pada politik mereka tak lain adalah sebagai representasi paling ideal dari politik Islami.

Di dataran Iraq, pandangan politik mengenai siapa yang pantas memimpin umat Muslim cenderung bersandar pada konsep Ahlul Bait. Kelompok ini terdiri dari individu-individu yang memiliki ketulusan cinta terhadap Ali bin Abi Thalib. Kecenderungan emosional mereka terwariskan secara turun-temurun sejak zaman kuno, kala para raja Kisra memerintah Persia.

Di dataran Syam, terdapat politik praktis yang diwakili oleh dinasti Umawiyah, yang secara khusus dapat dilihat dalam masa pemerintahan Muawiyah. Dinasti ini dikenal karena pendekatannya yang pragmatis terhadap kekuasaan dan politik.

Muawiyah memegang keyakinan bahwa pusat pemerintahan sebaiknya berada di Syam, karena di sana penduduknya terbukti sangat setia terhadap pemerintahannya dibandingkan dengan kota-kota lainnya.

Dia juga menilai bahwa jika suatu saat ia meninggal dan kepemimpinan beralih, akan terjadi konflik dan peperangan di antara dua kubu umat Muslim, bahkan mungkin lebih parah daripada masa fitnah pertama yang telah terjadi sebelumnya.

Pada periode tersebut, terdapat masih banyak sahabat dan tabi'in yang memiliki kapabilitas yang cukup untuk memimpin suatu wilayah. Beberapa di antara mereka adalah tokoh-tokoh yang sangat dihormati dan direkomendasikan untuk peran kepemimpinan, antara lain: Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdurrahman bin Abu Bakar.

Dalam melihat potensi pemimpin di antara banyak sahabat yang ada, Muawiyah tidak menemukan figur yang dianggap cocok atau menguntungkan bagi kepentingan wilayah Syam. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, ia akhirnya mengambil keputusan bahwa orang yang paling sesuai untuk mewakili dan melindungi kepentingan Syam adalah putranya sendiri, Yazid bin Muawiyah.

Keputusan ini mungkin diambil atas dasar keyakinan bahwa Yazid memiliki pemahaman yang mendalam tentang keadaan dan kebutuhan khusus wilayah tersebut, serta kemampuan untuk mempertahankan stabilitas politik di wilayah yang telah dibangun oleh ayahnya.

Yazid tumbuh dan berkembang di dataran Syam saat ayahandanya masih menjabat sebagai gubernur wilayah tersebut. Muawiyah secara intensif memberikan pengajaran kepada Yazid dengan harapan agar putranya menjadi sosok yang cakap dan berpengaruh. Meskipun belum berhasil, Muawiyah mempercayakan peran penting kepada Yazid dengan menunjuknya sebagai panglima dalam upaya ekspedisi menaklukkan Konstantinopel.

Khalifah Muawiyah Mengangkat Yazid bin Muawiyah

Pada tahun 680 Masehi, di mana sang khalifah telah lanjut usia dan akhirnya meninggal dunia. Beliau menurunkan jabatan khalifahnya kepada putranya, Yazid bin Muawiyah. Namun, terdapat pendapat yang mengklaim bahwa sebenarnya Muawiyah telah mempersiapkan dan mengangkat putranya sebagai khalifah pada tahun 676 Masehi.

Muawiyah mengundang semua pemimpin terkemuka ke ibu kota Syam untuk memberikan sumpah setia kepada Yazid, dan tindakan ini kemudian diikuti oleh seluruh penduduk Syam. Muawiyah memiliki keyakinan bahwa proses baiat tidak hanya cukup dilakukan oleh perwakilan, tetapi juga harus disetujui oleh komunitas Islam di Madinah.

Penolakan Terhadap Kebijakan Tersebut

Terjadi banyak penolakan beberapa kalahang, terkhusus dari Kuffah, Madinah, maupun Mekkah. mereka menimbang bahwa Muawiyah telah mengingkari janjinya kepada Hasan bin Ali. Muawiyah meninggalkan cara-cara yang dipaakai oleh para sahabat, justru malah mengikuti raja-raja kekaisaran.

Beberapa tokoh yang menolak untuk memberikan sumpah setia kepada Yazid adalah Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar. Namun, Muawiyah tidak membiarkan ketidaksepakatan ini menghambat rencananya. Sebagai gantinya, ia mengambil langkah tegas dengan memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Madinah bersama 1.000 pasukan untuk mendapatkan persetujuan dari pihak otoritas di Madinah.

Meskipun Muawiyah telah berusaha membujuk mereka, tokoh-tokoh seperti Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar tetap teguh pada pendiriannya, menolak untuk memberikan sumpah setia kepada Yazid bin Muawiyah.

Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa Muawiyah akhirnya menggunakan kekuatan untuk memaksa penduduk Madinah agar membaiat Yazid, namun pandangan ini kemudian terbantahkan dengan wasiat yang ditinggalkan oleh Muawiyah kepada Yazid sebelum kematiannya. Dalam wasiat tersebut, Muawiyah menegaskan kepada putranya,

"Jangan bersikap lunak sampai mereka semua membaiatmu."

Menanggapi wasiat ayahnya, Yazid menunjukkan sikap yang sangat tegas terhadap para pendukung Ali bin Abi Thalib di Kuffah dan Basrah. Kerasnya tindakan Yazid terhadap mereka menciptakan ketegangan yang meningkat, memicu munculnya pemberontakan-pemberontakan kecil di wilayah tersebut, hingga nantinya terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan bagi umat muslim dan keluarga Rasulullah SAW. []


Sumber:

1. Dr. Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2022. Sejarah Islam: Dari Arab Pra-Islam Hingga Runtuhnya Khilafah Utsmani. Jakarta Selatan: PT Qaf Media Kreativa.

2. Dr. Al-'Isy, Yusuf. 2012. Dinasti Umawiyah: Sebuah perjalan lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang mengawali dan mewarnai perjalanan Dinasti Umawiyah. Jakarta Timur. PUSTAKA AL-KAUTSAR

----------------

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar