Tahun 651 M: Jejak Islam di Negeri Tirai Bambu

 
Tahun 651 M: Jejak Islam di Negeri Tirai Bambu
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada abad ke-7 Masehi, dunia tengah mengalami perubahan besar dalam hal politik, agama, dan perdagangan. Di satu sisi, di Tiongkok, Dinasti Tang sedang mengalami masa keemasannya, di mana perdagangan, seni, dan ilmu pengetahuan berkembang pesat.

Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah ekspansi Islam yang sedang berlangsung di Asia Tengah dan Timur Tengah. Dengan penaklukan wilayah-wilayah baru oleh Kekhalifahan Islam, misi dakwah Islam mulai menjangkau wilayah-wilayah yang jauh seperti Tiongkok.

Para pedagang Muslim dan misionaris menjadi utusan perdamaian, perdagangan, dan dakwah agama Islam di wilayah tersebut.

Interaksi Awal Islam dengan Kebudayaan China

Sebuah pendapat dari orang Muslim di China mengatakan bahwa awal interaksi Islam dengan China adalah ketika “Islam di sebarkan pertama kali oleh seorang paman Rasulullah SAW dari pihak ibu, yang makamnya diklaim berada di Kanton”.

Sumber lain menyatakan bahwa Islam pertama kali mencapai China ketika Rasulullah SAW mengirim empat utusan ke negeri tersebut, tidak hanya membawa hadiah untuk Raja China, tetapi juga menyebarkan dakwah. He Qiaoyuan mencatat bahwa salah satu dari mereka menyebarkan dakwah di daerah Guangzhou (Kanton), sementara yang lain berada di Yanzhou. Sementara dua lainnya di Quanzhou.

Namun karena kurangnya sumber-sumber yang valid dari pendapat-pendapat diatas, dari para kaum Intelektual Muslim maupun China, pendapat tersebut akhirnya hanya dianggap sebagai legenda belaka.

Para kaum intelektual lebih sepakat dengan pendapat bahwa, tahun 651 Masehi sebagai awal dari interaksi antara Islam dengan China. Hal ini dipicu dari kalahnya Yasdagrid II dari Dinasti Sasaniyah, dan kemudian anaknya menjadi buronan bernama Firuz (ejaan Bahasa Arab, nama Persia-nya Peroz I) meminta bantuan ke negeri Tiongkok.

Kaisar merasa terlalu jauh untuk mengirimkan pasukan, sebagai gantinya, utusan dari China dikirim untuk mendamaikan kedua belah pihak, sekaligus mengintai kekuatan baru yang muncul dari Timur benua Asia tersebut.

Saat utusan dari China tersebut kembali ke negaranya, mereka ditemani oleh seorang jendral yang diutus oleh Utsman bin Affan, yaitu Sa’ad bin Abi Waqash. Jendral itulah yang nantinya membuka hubungan diplomatik yang erat kepada pihak China dalam hal berdagang.

Hubungan antara China dengan Arab juga terlihat dalam periode Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifahnya yaitu Al-Mansur. Pada masa itu terjadi peristiwa pemberontakan An Lushan di China, Kaisar Xuanzhong meminta bantuan berupa tentara bayaran dari Arab untuk mengatasi masalah tersebut.

Kondisi Sosial Masyarakat Muslim Arab di Negara China

Awalnya memang hubungan antara Muslim Arab dengan China hanya sebatas hubungan perdagangan karena memang pada masa Bani Umayyah, Arab menjadi pusat penghubung antara daerah Timur-Barat.

Tetapi, lama-kelamaan hubungan antara Muslim Arab dengan Dinasti Tang kian membaik, apalagi ketika terbantunya Kaisar Xuanzhong dalam peristiwa pemberontakan An Lushang, masyarakat Muslim Arab disediakan suatu wilayah untuk mereka tinggali.

Suatu pendapat mengatakan, pasukan ini nantinya menetap di dataran China atas sebab, ketika mereka ingin kembali ke Tanah Arab, mereka mendapatkan cacian sebagai “Pemakan Daging Babi”, mereka juga takut perlakuan ini juga mereka dapatkan saat berada di Tanah Arab.

Dinasti Tang juga melarang pernikahan antara Muslim Arab dengan perempuan China menghindarkan adanya campur darah antara kedua belah pihak. Hal ini yang mendasari bahwa para Muslim Arab ditempatkan jadi satu tempat yang biasa disebut dengan fangfang. Walaupun pada akhirnya, kebijakan ini ditiadakan ketika masa periode Dinasti Song.

Muslim Arab menyebut diri mereka dengan sebutan Zhutang yang bermakna “ditampung”, sementara orang-orang China menyebut mereka dengan panggilan Hushang (pedagang asing) atau juga Fanke (tamu asing).

Sebutan lain juga berlaku kepada anak keturunan Muslim Arab yang lahir disana, mereka biasa disebut Tusheng Fanke (orang asing yang lahir di China).

Walaupun pernikahan antara kedua budaya menjadi salah satu faktor utama dalam penyebaran Islam di China, beberapa sumber yang kami kumpulkan mengatakan bahwa para pedagang Muslim Arab lah yang paling banyak berpengaruh dalam persebaran Islam di Tanah China.

Orang Muslim Arab bermukim di beberapa pesisir pelabuhan, beberapa diantaranya adalah:

Guangzhou, Yangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Mingzhou, dan Changan.

Peninggalan Islam di China

Di “negeri tirai bambu” ini, jejak-jejak keberadaan Islam terukir begitu dalam, salah satunya adalah keberadaan sebuah makam yang dihormati oleh banyak Muslim China dan diyakini sebagai makam dari sahabat Rasulullah SAW, Sa’ad bin Abi Waqash.

Di dekat makam tersebut terdapat sebuah bangunan masjid yang didirikan dari abad ke-7 Masehi bernama Masjid Guangta. Masjid yang didirikan sekitar 1.300 tahun yang lalu ini memperlihatkan kekayaan sejarah Islam di wilayah ini.

Meskipun arsitekturnya dari luar terlihat seperti klenteng, namun begitu memasuki pintunya, suasana Timur Tengah yang kental sangat terasa. Di dalamnya, kita disambut dengan dekorasi indah berupa kaligrafi yang menghiasi dinding-dindingnya, memperkuat nuansa keagamaan dan keindahan seni Islam

Dalam kesimpulannya, interaksi antara dunia Islam dan Tiongkok pada abad ke-7 Masehi menjadi sebuah babak penting dalam sejarah hubungan antara kedua budaya yang berbeda.

Meskipun dimulai sebagai hubungan perdagangan, interaksi ini berkembang menjadi interaksi politik, sosial, dan agama yang mendalam.

Keberadaan masyarakat Muslim Arab di Tiongkok, meskipun dihadapkan dengan pembatasan sosial, telah memberikan kontribusi penting dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut.

Jejak peninggalan Islam yang masih dapat ditemukan hingga saat ini menjadi bukti nyata akan pentingnya peran Islam dalam sejarah dan budaya Tiongkok.

Perkawinan antara budaya Islam dan Tiongkok menghasilkan pengaruh yang berkelanjutan dalam berbagai bidang, dari seni dan arsitektur hingga ilmu pengetahuan dan filsafat. []


Sumber:

1. Prof. Dr. Thomas W Arnold. Buku Sejarah Lengkap Penyebaran Islam.
2. 
Tang Ta Sen. Buku Cheng Ho: Penyebaran Islam dari China ke Nusantara.
3. Iqbal. Jurnal Islam di China Dalam Tinjauan Historis. IAIN Palangka Raya

----------------

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al-Muntadar