Biografi KH. Ruhiat, Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya

 
Biografi KH. Ruhiat, Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren
3.2  Perjuangan Melawan Penjajah
3.3  Kiprah Beliau di Nahdlatul Ulama
3.4  Perjuangan Beliau Melawan PKI
3.5  Perjalanan Beliau Paska Orde Baru
4.    Pesan-pesan Beliau Kepada Para Santri
5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Ruhiyat atau yang kerap disapa dengan Ajengan Ruhiyat lahir pada 11 November 1911, di Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. KH Ruhiyat terlahir dari keluarga pasangan Haji Abdul Ghafur dan Umayyah. Ayah beliau merupakan lurah pada jaman kolonial atau sekitar tahun 1917 setelah penggabungan dua Desa yakni Cimunding dan Sukasenang.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari pernikahannya KH. Ruhiyat dikarunia dua puluh tujuh orang anak, yaitu:

  1. Hasan Ahmad Ruhiyat
  2. KH. Ilyas Ruhiyat
  3. Hj. Maemunah
  4. Abdul Wahid Ruhiyat
  5. KH. Dudung Abdul Halim Ruhiyat
  6. Jubaedah
  7. Siti Sa’adah
  8. Hj. J. Mardiyah
  9. KH. Abun Bunyamin Ruhiyat
  10. Hj. Euis Hasanah
  11. Hj. Hamidah
  12. Hj. Habibah
  13. H. Acep A. Ruhiyat
  14. H. Agus Saiful Bahri Ruhiyat
  15. Hafsoh
  16. Hindasah
  17. Hj. Zainab M.
  18. S. Munir Ruhiyat
  19. H. Yusuf Amin Ruhiyat
  20. Halimah
  21. Fatimah
  22. H. Komarudin Ruhiyat
  23. H. Ubaedilah Ruhiyat
  24. Hj. Atiyah
  25. Hj. Laela S.
  26. Mahmudah
  27. Hj. Neneng M.

1.3 Wafat

KH. Ruhiyat wafat pada tanggal 28 November 1977 atau bertepatan pada tanggal 17 Dzulhijjah 1397, dan perhitungan menurut kalender Hijriah inilah yang dijadikan patokan peringatan haul-nya.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Pada usia belia, KH. Ruhiyat menimba ilmu di Pesantren Cilenga di bawah asuhan KH. Sobandi, kurun waktu 1922-1926. Di Pesantren Cilenga, beliau belajar bersama KH. Zaenal Mustofa yang belakangan dinobatkan sebagai pahlawan nasional karena melawan penjajah semasa Jepang.

Pada tahun 1927 hingga 1928, KH. Ruhiyat mondok di Pesantren Cimasuk, Sukaraja, Kabupaten Garut, di bawah asuhan KH. Raden Ahmad Emed. Kemudian berlanjut di Pesantren Kubang Cigalontang di bawah asuhan KH. Abbas Nawawi dan Pesantren Cintawana di bawah asuhan KH. Toha.

2.1 Guru-guru Beliau

  1. KH. Sobandi (Pondok Pesantren Cilenga)
  2. KH. Raden Ahmad Emed (Pondok Pesantren Cimasuk, Sukaraja)
  3. KH. Abbas Nawawi (Pondok Pesantren Kubang, Cigalontang)
  4. KH. Thoha (Pondok Pesantren Cintawana)

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Pesantren
Setelah menimba ilmu ke berbagai pesantren, pada tahun 1931 KH. Ruhiyat mendirikan Pesantren Cipasung dengan bangunan pertamanya yakni masjid, asrama, pondok atau rumah Kyai, dengan santri 40 orang. Bangunan itu didirikan di atas tanah milik ayah KH. Ruhiyat.

"Bangunannya itu terbuat dari bambu atau semi permanen. Asrama yang pertama dibangun itu ada sampai saat ini namanya Asrama Pusaka," kata salah seorang keluarga Pesantren Cipasung.

Tahun pertama bermukim di daerah pesantren, KH. Ruhiyat beradaptasi dan mencoba bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Tidak jauh dari Cipasung, telah ada Majelis Talim di Kampung Jinten yang didirikan Ajengan Ahmad Zahid, di Cisaro Ajengan Azhuri, dan di Cikiray Ajengan Hidayat. Kedua ajengan terakhir merupakan putera dari Ajengan Ahmad Zahid.

Pemilihan Cipasung sebagai nama pesantren sendiri dimaksudkan untuk membendung dakwah Jemaah Ahmadiyah dan mempersempit gerakan Wahhabiyyah yang setiap saat selalu mengundang perdebatan.

"Untuk memudahkan gerakan dakwah dan meraih simpati warga, KH. Ruhiyat juga menjalin relasi dengan warga yang dianggap tokoh di antaranya H. Afandi, H. Uzer, dan H. Ucoy Qusoi,"

KH. Ruhiyat adalah tokoh terkenal pada zamannya karena beliaulah pendiri Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Namun generasi saat ini kurang lagi mengenal ketokohan beliau. Bahkan putera beliau yaitu KH. Ilyas Ruhiyat lebih dikenal apalagi setelah menduduki jabatan tertinggi di NU sebagai Rais Aam.

Pesantren Cipasung saat ini merupakan pesantren terbesar dan paling berpengaruh di Jawa Barat. Perannya dalam penyiaran agama, pengembangan masyarakat dan menjaga harmoni sosial sangat besar. Selain keteguhannya mengembangkan pesantren yang responsif pada perkembangan dunia pendidikan, pada masa penjajahan, Ajengan Ruhiyat juga seorang patriot yang mengorbankan tenaga dan pikiran untuk kemerdekaan Republik Indonesia.

3.2 Perjuangan Beliau Melawan Penjajah
Jika syarat seorang pahlawan nasional adalah mendukung kemerdekaan sejak awal mula diproklamasikan, maka Ajengan Ruhiyat memenuhi syarat itu. Tak lama setelah berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Cipasung, beliau segera pergi ke kota Tasikmalaya.

Dengan menghunus pedang, beliau berpidato di Babancong, podium terbuka yang tak jauh dari Pendopo Kabupaten. Beliau menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih cocok dengan perjuangan Islam, oleh karenanya harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Beliau meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya itu. Beliau tokoh Islam pertama di Tasikmalaya yang melakukan hal itu.

Ketika terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung, beliau tak goyah sekalipun gangguan dari pihak DI sangat kuat. Beliau menolak tawaran menjadi salah seorang imam DI. Beliau menampik gerakan yang disebutnya ‘mendirikan negara di dalam negara’ itu, karena beliau melihat sebagai bughat (pemberontakan) yang harus ditentang.

Puncaknya beliau hampir diculik oleh satu regu DI, tetapi berhasil digagalkan. Akibat sikap beliau yang tegas itu membuat mengalami keprihatinan yang luar biasa, karena terpaksa harus mengungsi setiap malam hari, selama tiga tahun lamanya.

Kegigihan beliau sebagai seorang pejuang dibuktikan dengan pernah dipenjara tak kurang dari empat kali.

Pertama, pada tahun 1941 beliau dipenjara di Sukamiskin selama 53 hari bersama pahlawan nasional KH. Zainal Mustafa. Alasan penahanan ini karena Pemerintah Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung dan Sukamanah yang dianggap dapat mengganggu stabilitas kolonial.

Kedua, bersama puluhan Kyai beliau dijebloskan ke penjara Ciamis. Beliau hanya tiga hari di dalam penjara karena keburu datang tentara Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas Hindia Belanda tahun 1942.

Ketiga, tahun 1944 beliau dipenjara oleh pemerintah Jepang selama dua bulan, sebagai dampak dari pemberontakan KH. Zainal Mustofa di Sukamanah. Pada saat itu, Ajengan Cipasung dan Sukamanah lazim disebut dua serangkai dan sama-sama aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Keempat, beliau dijebloskan ke penjara Tasikmalaya selama sembilan bulan pada aksi polisionil kedua, dan dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan. Ini membuktikan bahwa beliau adalah seorang non-kooperatif sehingga sangat dibenci penjajah yang membonceng pasukan NICA itu.

Sebelum masuk penjara yang terakhir itu, sepasukan tentara Belanda datang ke pesantren pada waktu beliau sedang shalat ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara Belanda itu memberondongkan peluru ke arah mereka yang sedang salat. AR luput dari tembakan, tetapi dua santri beliau tewas dan seorang lagi cedera di kepala.

Mungkin beliau tidak disebut sebagai pahlawan karena tidak pernah menduduki jabatan dalam pemerintahan, sebab konsisten memilih jalur pendidikan pesantren sebagai pengabdian beliau, bahkan sebagai tarekat-nya.

“Tarekat Cipasung adalah mengajar santri,” ujar beliau. Karena tidak pernah menjadi politisi yang berjuang di parlemen. Sebab kata beliau, “Biarlah bagian politik itu sudah ada ahlinya, Akang memimpin pesantren saja, jangan sampai semua ke politik. Kalau pesantren ditinggalkan, bagaimana nanti jadinya negara merdeka ini kalau penduduknya tidak berakhlak agama?”

Melihat track record beliau di atas, sesungguhnya tidak berlebihan jika ajengan patriot itu mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Nasional.

3.3 Kiprah Beliau di Nahdlatul Ulama
Kecintaan sang Ajengan pada NU sangat mendalam, oleh karena itu pada saat Ajengan Sukamanah berbulat tekad untuk melawan Jepang, keduanya membuat kesepakatan. Ajengan Sukamanah tidak akan melibatkan NU secara organisasi dan perjuangannya bersifat pribadi, agar NU tidak menjadi sasaran tembak tentara Jepang.

Secara organisatoris, Ajengan Sukamanah menyatakan keluar dari NU. Dengan kesepakatan ini, jika terjadi akibat buruk dari perlawanannya sesuatu yang sudah mereka perhitungkan, organisasi NU tidak akan terbawa-bawa dan beliau tetap bisa mengembangkan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Kesepakatan itu dibuktikan oleh Ajengan Ruhiyat lewat keterlibatannya di NU sampai ke tingkat pusat.

Kariernya di PBNU dibuktikan dengan menjadi A’wan (wakil) Syuriah PBNU periode 1954-56 dan 1956-59, serta perkembangan NU di Tasikmalaya dan Jawa Barat yang ditunjang oleh para alumni Cipasung.

Demikian pula dukungannya pada pilihan politik NU, diambilnya tanpa reserve sehingga kebijakan NU dapat disosialisasikan dengan cepat di wilayah Priangan Timur.

3.4 Perjuangan Beliau Melawan PKI
Dalam menanggapi konsep Nasakom, beliau mengatakan, “Kalau kita tidak menerima Nasakom, PKI akan berkacak pinggang. Menerima Nasakom adalah satu siasat NU yang membuat PKI lupa daratan sehingga lupa akan bahayanya. Mereka merasa ada yang mendukung atas tujuan taktiknya, padahal secara diam-diam orang NU telah siap menghadapi apa yang akan terjadi.

Buktinya, ketika orang lain bingung saat PKI melakukan kup, orang NU sudah langsung bisa menetapkan bahwa itu gerakan PKI. Buktinya langsung tanpa ragu meminta pemerintah untuk membubarkan PKI. Alhamdulillah oleh pemerintah Orba dapat dikabulkan, PKI dibubarkan.”

Setelah peristiwa 65 terjadi, KH. Ruhiyat tidak terlibat menoreh ‘luka sejarah’. Di sekitar Cipasung konflik NU-PKI tak setajam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. ‘Serangan’ pihak PKI berkisar pada cemoohan, misalnya orang yang sedang mengaji disebut sedang ‘menggonggong’. Memang, belajar dari kasus serangan DI/TII beliau sempat mengaktifkan kembali latihan pencak silat, tetapi hanya untuk berjaga-jaga.

Bukti bahwa Cipasung tak terlalu terganggu suasana politik waktu itu, ialah peresmian Fakultas Tarbiyah yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), pada tanggal 25 September 1965. Tarikh ini juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi di Cipasung berdiri tiga tahun mendahului IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di situlah beliau menunjukkan aprogresivitas pemikirannya.

3.5 Perjalanan Beliau Paska Orde Baru
Setelah pemerintah Orde Baru tampil, tokoh-tokoh yang sebelumnya ragu kepada NU banyak yang datang ke Cipasung. Mereka menyatakan ‘pertobatan’ dan percaya bahwa NU tidak pernah punya tujuan khianat dan merongrong kepada bangsa dan negara Indonesia, atau berniat mendirikan negara dalam negara.

Mereka kemudian menitipkan sanak saudaranya untuk belajar di Cipasung. “Bagaimana kalau keluarga, anak-anak Anda nantinya menjadi NU?” tanya AR. Kemudian mereka menjawab, “Tidak apa-apa kalau mereka menjadi NU sebab kami percaya NU tidak pernah ada maksud merongrong negara, nusa, dan bangsa.”

KH. Ruhiyat memang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh NU dan pesantrennya menjadi persinggahan para tokoh itu jika mengunjungi wilayah Priangan Timur. Beliau juga menjadi salah satu teman baik KH. A. Wahid Hasyim.

Menurut catatan Saifuddin Zuhri (1987), semua sahabat dekat Pak Wachid biasanya intensif saling surat-menyurati untuk merespon berbagai perkembangan pesantren dan situasi politik nasional. Dalam biografi KH. Masykur yang ditulis oleh Soebagijo I.N., terdapat sebuah foto yang mengabadikan kunjungan Kyai Masykur, Kyai Wahid ke Cipasung.

4. Pesan-pesan Beliau Kepada Para Santri

Dengan cara pandangnya yang terbuka atas berbagai perkembangan duniawi, beliau mendorong santrinya yang ingin terlibat dalam pengelolaan negara, baik melalui jalur politik maupun birokrasi. Hal itu sebagai bagian dari keikutsertaan mengisi kemerdekaan, setelah sebelumnya Kyai dan santri ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu. Karena itu, banyak alumni Cipasung yang menjadi politisi dan mengisi kebutuhan birokrasi terutama di Jawa Barat.

Namun demikian beliau juga sangat mendukung santrinya yang ingin menjadi ajengan dan membuka pesantren. Misalnya kepada santri asal Garut bernama Memed Sopandi, beliau berpesan empat hal, yaitu:

  1. Sekalipun santrinya hanya satu orang tetap harus diajar dengan sungguh-sungguh.
  2. Jangan berdagang di pasar.
  3. Jangan jadi aparat pemerintah.
  4. Jangan terlalu suka menerima undangan keluar pesantren sehingga sering meninggalkan pengajian.

Lalu beliau berkata, “Pulanglah, kalau ada kesulitan dalam pengajian, jangan kembali ke sini, tanya saja Munjid!” Munjid adalah kamus berbahasa Arab karya seorang non-muslim, Louis Ma’luf, di sana terdapat berbagai informasi, baik mengenai keilmuan agama, ilmu sosial maupun ilmu alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan.

5. Referensi

  1. Anonim. t.t. Riwayat Singkat K. H. Ruhiat (Almarhum) Pendiri Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tasikmalaya.
  2. Bunyamin, H. A. E. 1995. Lintasan Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di Tasikmalaya. Tasikmalaya.
  3. Falah, Miftahul. 2009. Perubahan Sosial di Kota Tasikmalaya. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Fasa Unpad.
  4. Lubis, Nina H. 2006. 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lemlit Unpad.

Mari kita sejenak mendoakan beliau, semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

Semoga kita sebagai murid, santri, dan muhibbin beliau mendapat keberkahan dari semua yang beliau tinggalkan.

Mari sejenak kita bacakan Tahlil untuk beliau: Surat Yasin, Susunan Tahlil Singkat, dan Doa Arwah

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya