Mengintip Fenomena Edukatif

 
Mengintip Fenomena Edukatif

LADUNI.ID, KOLOM- Tidak sedikit yang berperilaku brutal (mem-bully temannya, ujaran kebencian, memperkosa, membunuh). Termasuk ikut-ikutan menciptakan narasi kebohongan. Ungkapan populer, ”guru (baca: orang tua/dewasa) kencing berdiri, siswa (baca: generasi muda) kencing berlari” semakin terbukti

Dari opini di harian Kompas (27/3/2019; 15/4/2019; 23/4/2019) terkait pasca-kebenaran diperoleh informasi bahwa Brexit, Trump, dan Bolsomaro adalah tiga dedengkot nyata betapa masyarakat dunia telah memasuki era post-truth. Narasi kebohongan yang diulang-ulang (dengan propaganda, demogogi, dan ujaran kebencian) akhirnya diterima sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat kita sedang bergelut dengan narasi kebohongan ini. Hampir setiap saat nalar sehat anak-anak bangsa tergerus oleh tsunami hoaks. Masyarakat Indonesia melawan kebohongan dengan kebohongan. Epidemi intuitif-subjektivitas menjadi menu keseharian kita. 

Bagaimana dengan lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka pembentuk generasi emas Indonesia? Indikasi ke arah sama sudah mulai menggejala. Amati saja berita/ tayangan media elekronik, massa, dan sosial terkait perilaku anak-anak yang masih sekolah.

Pendidikan Akhlak Mulia

Lalu, apakah kondisi ini dapat diperbaiki? Jika ya, hal apa yang perlu menjadi perhatian utama di setiap satuan pendidikan? Mencermati penyempurnaan kurkulum lembaga pendidikan, sebenarnya revitalisasi tindak pendidikan di negara kita telah berada di jalan yang ”benar”.

Gagasan revolusi mental pemerintah Jokowi – Jusuf Kalla (2014) yang dikonkretkan menjadi pendidikan karakter oleh Kemdikbud dan Kemristekdikti (2017) adalah salah satu upaya menghasilkan insan kamil Indonesia. 

Namun, hingga kini gaung program tersebut senyap di tengah keriuhan gonjang-ganjing politik. Para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan seperti kehilangan energi dan komitmen mendidik generasi penerus bangsa menjadi manusia beriman dan berakhlak mulia, berilmu, serta berprestasi. 

Menyesali keadaan serta mengeluh terus-menerus apalagi pesimisme adalah sikap yang perlu dijauhi. Negara ini tidak pernah punah. Setelah hajatan demokrasi usai serta sembari menunggu pemimpin terpilih mari menggemakan ke seantero negeri penggalan puisi Chairil Anwar: aku mau hidup seribu tahun lagi. Kita kobarkan (bukan korbankan) jiwa nasionalisme, patriotisme, dan optimisme dalam diri setiap generasi. 

Seiring dengan peringatan Hardiknas 2019, kiranya para pendidik di tanah air tercinta ini kembali melaksanakan aktivitas pembelajaran yang berporos pada pendidikan akhlak mulia.

Ataupun dengan sebutan lain seperti pendidikan moral, pendidikan karakter, dan pendidikan budi pekerti tidak perlu diperdebatkan. Tindak edukatif haruslah menghasilkan generasi yang tinggi iman, tinggi ilmu, dan tinggi pengabdian. 

Tampaknya hukum panen, tanamlah pemikiran maka kamu akan menuai tindakan, tanamlah tindakan, kamu akan menuai kebiasaan, tanam kebiasaan, kamu akan menuai karakter, tanamlah karakter, kamu akan menuai nasib semakin urgen diaktualkan dalam praktik pendidikan.

Jika tidak, anak-anak kita yang sedang memasuki era industri 4.0 (Jepang telah memperkenalkan era masyarakat 5.0) akan menjadi korban keganasan era pasca-kebenaran.

Di tengah-tengah kondisi degradasi moralitas, etika, dan budi pekerti serta politisasi identitas keagamaan di Indonesia, tri pusat pendidikan (keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) haruslah bahu-membahu (berkolaborasi) mendidik anak-anak kita dengan mengutamakan pendidikan akhlak mulia ataupun sebutan lainnya.

Dalam hal ini jauhkan teori/ceramah/khotbah, kedepankan keteladan (role model). Semoga anak-anak Indonesia mampu menjadi terdepan menapaki era revolusi industri 4.0/era masyarakat 5.0 dan terhindar dari kebrutalan era pasca-kebenaran. Selamat merayakan hari pendidikan nasional 2 Mei 2019. ***

***Sadieli Telaumbanua, Penulis adalah Dosen  Universitas Prima Indonesia. analisadaily.com.