Malu Mau Meniru, Mereka Malah Bikin Demo Berjilid

 
Malu Mau Meniru, Mereka Malah Bikin Demo Berjilid

Ngono yo ngono, nanging yo ojo ngono 

(Begitu ya begitu, tapi jangan begitu)

LADUNI.ID, Jakarta - Mereka sepertinya iri melihat NU. Amalan-amalan yang dilakukan NU itu kok ya mantap, menjangkau ke depan, up to date, shahih li kulli zaman dan makanin, cocok untuk kapan pun dan di manapun dan pas untuk segala kalangan. Mereka sebenarnya mengakui bahwa amaliah NU itu jos, dan disenangi masyarakat.

Namun begitu, masalahnya adalah, mengapa kok NU yang mendahului melaksanakan amaliah tersebut, kok bukan mereka? Saya yakin seandainya amaliah tersebut mereka yang mendahului maka amaliah tersebut bebas dari tuduhan aneh-aneh yang mereka ciptakan, sepi dari fitnahan bid'ah, sesat, syirik dan kafir.

Contoh amaliah-amaliah NU tersebut, di antaranya:

  1. Amaliah tahlilan. Dengan berbagai cara mereka mencari dalil untuk mengharamkan tahlilan. Namun kenyataannya semakin tahlilan dipersekusi, semakin viral dan populer tahlilan dilaksanakan umat Islam. Kehebatan tahlilan itu disamping amaliah yang syar'iyah, juga ijtimaiyah dan siyasah. Tahlilan sebagai ajang silaturahmi yang memang dianjurkan dalam Islam, juga sebagai wahana pemberdayaan masyarakat. Ketika datang di kumpulan tahlilan, di sana ada saling interaksi antarumat, ada silaturahim, saling tanya kabar keluarga, kabar kesehatan, kabar pekerjaan, dan sebagainya. Ada yang berkeinginan bersama untuk urunan/petungan dana untuk bikin usaha, pendanaan untuk anggota yang sakit, saling tanya kerja dimana jika ada yang belum dapat kerja bisa diajak kerja bagi yang perlu tenaga kerja dan manfaat sosial kemasyarakatan lainnya. Inilah manfaat dahsyat tahlilan baik dari sisi diniah, ijtimaiyah dan siyasah. Inilah yang di-iri oleh ormas yang anti NU sehingga mengharamkan tahlilan.
  2. Amaliah istighatsah. Amaliah ini sunguh dahsyat dalam mengumpulkan massa. Puluhan ribu, ratusan ribu, jutaan, puluhan juta bahkan ratusan juta pernah dilakukan NU. Metode pengumpulan massa versi NU ini yang ingin dipunyai ormas anti NU tapi mereka malu jika ikut-ikutan NU sehingga tidak ada jalan lain kecuali membid'ahkannya.
  3. Majlis dzikir dan majlis shalawat. Amaliah ini merupakan metode yang tak kalah dahsyatnya untuk taqarrub kepada Allah juga pengumpulan massa yang tentunya untuk tujuan murni agama, jika termanfaatkan untuk maksud politik (dukung-mendukung calon) itu efek samping saja.
  4. Amaliah mauludan (maulid Nabi). Dulu mereka membid'ahkan dan melarangnya sekarang tidak tahan akan dahsyatnya maulidan, sehingga mereka terpaksa juga maulidan di Monas akhir-akhir ini.
  5. Amaliah haul, disamping manfaat diniah (agama), juga ijtimaiyah (sisial kemasyarakatan) dan juga siyasah (politik), ajang efektif pengumpulan massa.
  6. Amaliah ziarah kubur, dibaan, manaqiban, tawasulan, dan sebagainya itu adalah amaliah yang dahsyat baik dalam rangka hablum minalkah dan habluminannas.

Karena mereka tidak ada acara untuk mengumpulan massa (mau niru NU malu karena amaliah tersebut di atas sudah kadung dibid'ahkan, disyirikkan, dikafirkan, ditasyabbuhkan dengan kafir), maka mereka menggunakan media demo berjilid-jilid.

Ujung-ujungnya sebagai media pengumpulan masa untuk mendoktrinkan paham politiknya. Dan demo-demo berjilid dipastikan terus berlangsung selama umat Islam radikal masih bercokol di Indonesia.

Orang yang nyinyir dengan amaliah NU itu ada dua kemungkinan, yaitu: Pertama, karena benci NU. Golongan ini memang dari sononya sudah anti NU. Baginya apapun yang dilakukan NU itu salah, bid'ah, desat, syirik dan kafir. Bagaimanapun terang benderangnya dalil yang diketengahkan NU, mereka tutup mata dan telinga. Pokoknya NU salah, titik. Debat dengan mereka tidak akan membuahkan hasil karena hatinya sudah membatu dan syaraf otaknya sudah banyak yang putus. Menghadapi golongan seperti ini, tidak lain dan tidak bukan cuma satu kata, TENGGELAMKAN.

Kedua, karena tingkat kedalaman keilmuan Islamnya masih dangkal. Islam itu mudah tapi jangan dimudah-mudahin (diremehkan), dan Islam itu sulit tapi jangan dipersulit. Yang mudah jangan dipersulit dan yang sulit jangan dimudah-mudahin (dicari jalan pintas yang berakibat merusak maksud hakikinya).

Semakin tinggi ilmunya maka semakin "berNU". Dawuh Buya Hamka: "Ketika aku masih khatam satu kitab, aku mengharamkan tahlilan, ziarah kubur. Namun sekarang tidak mengharamkan karena sudah khatam puluhan kitab". Ulama NU tidak mengharamkannya, ya memang ilmunya sudah mumpuni.

Semakin dalam/tinggi ilmu keislaman seseorang maka baginya segala permasalahan kehidupan ini ada saja jalan keluarnya, karena dadanya lapang dan pikirannya tidak sempit. Coba buktikan, misalnya

Bagi Gus Mus, bagaimana peliknya masalah yang kita ungkapkan bisa dipastikan ada alternatif solusinya, seakan-akan semuanya itu serba boleh. Gus Mus tidak mudah menuduh sesat, bid'ah, munafik, syirik apalagi kafir. Ini karena pandangan ilmu agamanya luas, tidak sempit, tidak hitam putih. Lain halnya jika "ustadz" (atau ustadz dadakan) yang menjawab, kemungkinan jawabannya sedikit-sedikit bid'ah, syirik, dan kafir. Karena yang diketahuinya masih sempit/sedikit sehingga kebenaran itu hanya yang diketahui saja. Konsekuensinya, yang tidak diketahui adalah salah/sesat.

Mengapa bagi Gus Mus semua serba boleh? Ya, karena fatwa itu melihat siapa yang meminta fatwa. Perbedaan siapa dan dimana fatwa itu mau ditelorkan maka berbeda pula jawaban fatwa tersebut. Dan perlu diketahui, fatwa itu bahasa hukum. Dan hukum itu hitam putih. Namun seorang hakim (yang memutuskan sebuah hukum) atau mufti (yang memutuskan sebuah fatwa) tidak boleh hanya melihat, suatu perbuatan itu dilakukan tapi juga harus melihat mengapa perbuatan itu dilakukan.

Dan syariat (dalam bahasa agamanya dipersempit menjadi fiqh) itu ada beberapa tingkatan. Ada fiqh dakwah, fiqh siyasah dan fiqh genuine. Bahkan jika diperluas dalam penerapannya, ada fiqh sosial, fiqh lingkungan, fiqh anti korupsi dan sebagainya. Macam-nacam fiqh ini perlu diketahui agar dalam melihat dari persoektif hukum Islam, tidak picik dan berfikiran sempit.

Orang yang hanya ahli fiqh saja, yang tanpa dibarengi cabang ilmu-ilmu Islam lainnya, biasanya cara berfikirnya kaku, keras dan hitam putih. Baginya permasalahan keagamaan itu hanya ada dua, halal dan haram. Ini sifat dari bahasa hukum memang straigh.

السَّلامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنينَ وَأتاكُمْ ما تُوعَدُونَ غَداً مُؤَجَّلُونَ وَإنَّا إنْ شاءَ الله بِكُمْ لاحقُونَ

Assalâmu‘alaikum dâra qaumin mu’minîn wa atâkum mâ tû‘adûn ghadan mu’ajjalûn, wa innâ insyâ-Allâhu bikum lâhiqûn.

Do'a bersama menyambut Bulan Suci Ramadhan dan Ziaroh ke Makam Muassis Desa Giripurno bersama Ranting NU Giripurno, PAC IPNU IPPNU Kawedanan.


Artikel ini ditulis Zainal Faizin