Perilaku di Bidang Politik Warga Nahdlatul Ulama

 
Perilaku di Bidang Politik Warga Nahdlatul Ulama

Politik adalah satu makna dengan berjuta makna, mulai arti yang paling luas sampai pada arti yang paling sempit. Mulai arti yang paling umum sampai dengan arti yang paling khusus. Semuanya berhubungan dengan kenegaraan, kekuasaan, dan pemerintahan. Seorang petani membayar pajak, berarti dia mendukung kelestarian pemerintahan. Maka dia bisa dianggap melakaukan perbuatan politik. Sebaliknya juga seorang yang tidak mau membayar pajak, maka juga melakukan perbuatan politik.

Politik biasanya diartikan sebagai upaya mengikutsertakan diri atau teman masuk dalam kekuasaan, ikut mengambil keputusan dalam pemerintahan/ kenegaraan, menjadi anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, perbuatan-perbuatan yang biasanya dilakukan oleh para politikus meskipun tidak hanya parta politik yang mampu melakukan politik. Pada dasarnya, semua orang yang hidup dalam suatu negara adalah makhluk politik, termasuk warga nahdliyyin.

Nahdlatul Ulama memang dilahirkan tidak sebagai partai politik, namun merupakan kekuatan politik yang berpotensi besar, karena anggotanya yang puluhan juta jumlahnya. Oleh karena itu, semua partai politik selalu ingin mempengaruhi pimpinan Nahdlatul Ulama untuk mendapatlkan kekuasaan politik. Dalam keadaan seperti ini Nahdlatul Ulama dapat memainkan politiknya untuk mempengaruhi partai-partai politik.

Nahdlatul Ulama bermain politik pada tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari ‘kursi-kursi politik’ tetapi bagaimana para politisi dalam kursi-kursi politik tersebut dapat diarahkan sesuai dengan garis- garis politik Nahdlatul Ulama. Poltik yang dimainkan oleh Nahdlatul Ulama adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan semua anak bangsa, tidak hanya untuk kepentingan suatu kelompok atau golongan.

Sebagai jam’iyyah yang bukan partai politik tetapi merupakan kekuatan politik yang sangat besar, adakalanya Nahdlatul Ulama mengalami kesulitan besar dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam sejarahnya Nahdlatul Ulama mempunyai pengalaman tantang cara-cara menyalurkan aspirasi politiknya.

  1. Pada zaman penjajahan Belanda, Nahdlatul Ulama menyembunyikan perbuatan politiknya kecuali dalam hal-hal besar, seperti:

    1. 1)  sikap anti penjajahan, mempersiapkan umat/ rakyat untuk kemerdekaan, disembunyaikannya di pesantren-pesantren.

    2. 2)  menuntut Indonesia berparlemen bersama MIAI (Majlis Islam A’la Indonesaia, gabungan semua organisasi Islam se- Indonesia) dan GAPI (gabungan politik indonesia) supaya pemerintah Hindia Belanda didampingi oleh dewan perwakilan rakyat Indonesia.

    3. 3)  dan lain-lain.

  2. Pada zaman pemerintahan Jepang yang membebaskan semua organisasi rakyat, para tokoh Nahdlatul Ulama bersama-sama dengan tokoh lain, memperlihatkan sikap kerjasama dengan Jepang, supaya dapat terus berhubungan dengan rakyat dan mempersiapkan merebut kemerdekaan.

  3. Pada zaman revolusi fisik, Nahdlatul Ulama bahu membahu dengan semua lapisan masyarakat Indonesia dalam memper- tahankan dan mengsisi kemerdekaan dengan menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai Masyumi.

  4. Sesudah revolusi fisik selesai, Nahdlatul Ulama mandiri sebagai parta Nahdlatul Ulama dan ternyata berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik yang tangguh di tingkatan nasional.

  5. Pada zaman orde baru yang memaksa partai-partai bergabung menjadi dua partai dan satu Golkar, maka Nahdlatul Ulama memfungsikan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai tahun 1984, hingga Nahdlatul Ulama menyatakan tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan apapun.

  6. Ketika datang zaman reformasi, Nahdlatul Ulama memper- silahkan warganya mendirinya partai.

Langkah-langkah di atas adalah cara-cara yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada suatu kondisi dan situasi tertentu untuk kepentingan perjuangan Nahdlatul Ulama sendiri, bukan suatu yang qat’i, dan bukan suatu yang abadi yang tidak dapat berubah sepanjang masa tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan perjuangan Nahdlatul Ulama sendiri. Yang pokok bagi Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah yang mandiri, tidak menjadi bagian dari oraganisasi manapun baik organisasi politik ataupun organisasi kemasyarakatan.

Orang mengkritik Nahdlatul Ulama ketika Nahdlatul Ulama dekat dengan suatu partai, tetapi orang diam seribu bahasa ketika Nahdlatul Ulama dekat dengan organisasi sosial kemasayarakatan. Dekat atau tidak dekatnya tergantung kepada kepentingan Nahdlatul Ulama sendiri. Inilah intisari pengertian naskah Khittah NU, butir 8 alenia 6 yang berbunyi, “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga.”

Kalimat di atas diteruskan dengan kalimat yang selajutnya;

“Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal ini, warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak- hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab dan berakhlakul karimi, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mampu mengembangkan mekanisme musyawrah dan mufakat dalam memecahkan permaslahan yang dihadapi bersama.”

Lebih dari itu, Nahdlatul Ulama memberikan “Pedoman Berpolitik bagi Warga Nahdlatul Ulama” keputusan muktamar di Krapyak Yogyakarta sebagai berikut:

  1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

  2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

  1. Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

  2. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya berketuhanan yang maha esa, berperi- kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan dan kesaatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  3. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

  4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memper- kokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan dengan akhlak karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

  5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.

  6. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-asoirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu dengan yang lainnya, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

  7. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasya-rakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.
     

Salah satu masalah yang paling penting bagi Nahdlatul Ulama di bidang politik nasional adalah sikap terhadap Pancasila dan dasar negara Republik Indonesia. Nahdlatul Ulama menerima pancasila sebagai satu-satunya azas berbegara. Sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama ini dapat dipahami lebih jelas melalui “Deklarasi tentang hubungan pancasila dengan Islam”, hasil keputusan muktamar ke-27 NU di Situbondo, sebagai berikut:

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak digunakan untuk menggantikan agama.

  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputiaspek hubungan manusia dengan Allah  dan hubungan antar manusia.

  1. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.

  2. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.

Nahdlatul Ulama memandang bahwa negara Republik Indonesia adalah hasil kesepakatan seluruh bangsa Indonesia, di mana kaum muslimin dan kaum nahdliyin terlibat dalam kesepakatan melalui pemimpin yang mewakilinya. Oleh karenanya nagara ini harus diper- tahankan kelestariannya. Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sudah final bagi Nahdlatul Ulama, dalam arti tidak usah mendirikan “negara lain” menggantikan negara ini.

 

Sumber: Buku Aswaja dan Ke-NU-an, Ma'arif NU DIY, 2004