Menghias Kebodohan dan Kemiskinan Dengan Kepalsuan

 
Menghias Kebodohan dan Kemiskinan Dengan Kepalsuan

LADUNI.ID - Menjadi orang bodoh sebenarnya bukanlah aib. Sama dengan menjadi orang miskin, menjadi orang bodoh kadangkala adalah bagian dari skenario takdir yang tak terhindarkan meskipun sudah berusaha dihindari. Karena itulah, agama melarang mencela atau meremehkan orang miskin dan orang bodoh. Kalau sudah batas kemampuannya di situ, apa mau dikata?

Yang tercela adalah tindakan malas apabila ada. Bila tak malas tetapi sudah takdirnya begitu, maka tak ada masalah sama sekali. Memang ada yang ditakdirkan menjadi guru dan ada yang ditakdirkan jadi murid. Ada yang ditakdirkan jadi juragan dan ada yang ditakdirkan jadi pekerja. Semuanya adalah posisi baik dan tak ada yang tercela sebab saling melengkapi.

Karena itu, mengaku sebagai orang bodoh atau orang miskin bukanlah tindakan tercela justru itu tindakan tawadlu yang terpuji. Yang malah tercela apabila sebenarnya bodoh tetapi mengaku pintar atau miskin tetapi mengaku kaya.

Namun, tak semua orang mampu berlapang dada dengan kondisi miskin atau bodohnya. Penyakit riya' (ingin dipuji) dan takabbur (sombong) tak hanya milik orang beruntung, yang tak beruntung pun punya penyakit ini. Akhirnya muncul rasa gengsi yang selangit bila tampak bodoh atau miskin. Sekuat tenaga mencoba tampil pintar atau kaya agar dipuji dan diakui orang.

Saat itulah kebodohannya dihiasi dengan alasan-alasan pembenar untuk mengecoh. Ada yang asal menjawab semua pertanyaan seolah tahu semua hal, padahal tak mungkin ada orang tahu semua hal. Ada yang mengaku berilmu tapi sengaja menghindari diskusi ilmiah dengan orang lain dengan alasan berdebat itu buruk, tak perlu menampakkan ilmu, tak perlu pamer pengetahuan dan ngeles semisal itu seolah-olah orang yang berdiskusi itu niatnya pasti buruk, padahal tidak demikian. Ada juga yang bersembunyi di balik Google sehingga hebatnya hanya saat di balik layar hapenya, itu pun sebenarnya tak paham betul apa yang dicopasnya.

Bagi yang miskin, kemiskinannya dihiasi dengan alasan zuhud dan tidak suka dunia. Di berbagai kesempatan menjelaskan betapa sebenarnya dia kaya tetapi sengaja tampil apa adanya. Tak pernah lupa menjelaskan bahwa kesederhanaan seperti dirinya adalah pilihan mulia seolah yang melebihi dirinya adalah buruk.

Dua tipe orang di atas sebenarnya sedang mempermalukan diri sendiri. Tak ada pengakuan masyarakat atas kepintaran atau kekayaan seseorang yang didapat dengan ucapan belaka. Orang berilmu secara natural akan tampak berilmu di komunitasnya, meski pun ia berusaha menyembunyikannya atau mengaku bodoh sekali pun. Orang kaya secara natural juga akan tampak kaya di lingkungannya, meskipun mengaku miskin sekali pun. Demikian juga orang bodoh dan miskin akan secara natural tampak demikian dengan sendirinya, meskipun mengaku sebaliknya. Sama seperti bau keringat yang menyengat, takkan dianggap harum oleh orang sekitar hanya dengan cara bajunya diberi tulisan "Ini aroma parfum".

Selain mempermalukan diri, berpura-pura berilmu atau kaya justru merugikan diri sendiri. Yang bertingkah seolah sudah tahu takkan diberi tahu ilmu baru oleh orang yang benar-benar tahu. Yang pura-pura kaya takkan diberi kesempatan untuk dapat lowongan kerja oleh orang yang benar-benar kaya. Akhirnya kepura-puraan itu menjadi sebab ia tak berkembang lebih baik.

Jadi, kalau ingin berkembang menjadi lebih baik, maka hindarilah berpura-pura. Syukuri apa yang ada dan tak perlu ragu menampakkan kekurangan. Dengan demikian, maka rasa hormat dan bahkan bantuan orang mudah datang. Dan yang pasti, hati tak menjadi kotor karena riya' dan takabbur.

Oleh: Abdul Wahab Ahmad