Ketika Kebodohan dan Kemiskinan Ditutupi Kepalsuan

 
Ketika Kebodohan dan Kemiskinan Ditutupi Kepalsuan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Menjadi orang bodoh sebenarnya bukanlah aib. Sama dengan menjadi orang miskin, menjadi orang bodoh kadang kala adalah bagian dari skenario takdir yang tak terhindarkan meskipun sudah berusaha dihindari. Karena itulah, agama melarang mencela atau meremehkan orang miskin dan orang bodoh. Kalau sudah batas kemampuannya di situ, apa mau dikata?

Yang tercela adalah tindakan malas apabila ada. Bila tak malas tetapi sudah takdirnya begitu, maka tak ada masalah sama sekali. Memang ada yang ditakdirkan menjadi guru dan ada yang ditakdirkan jadi murid. Ada yang ditakdirkan jadi juragan dan ada yang ditakdirkan jadi pekerja. Semuanya adalah posisi baik dan tak ada yang tercela, sebab saling melengkapi.

Karena itu, mengaku sebagai orang bodoh atau orang miskin bukanlah tindakan tercela, justru itu tindakan tawadhu yang terpuji. Yang malah tercela apabila sebenarnya bodoh tetapi mengaku pintar atau miskin tetapi mengaku kaya.

Namun, tak semua orang mampu berlapang dada dengan kondisi miskin atau bodohnya. Penyakit riya' (ingin dipuji) dan takabbur (sombong) tak hanya milik orang beruntung, yang tak beruntung pun punya penyakit ini. Akhirnya muncul rasa gengsi yang selangit bila tampak bodoh atau miskin. Sekuat tenaga mencoba tampil pintar atau kaya agar dipuji dan diakui orang.

Saat itulah kebodohannya dihiasi dengan alasan-alasan pembenar untuk mengecoh. Ada yang asal menjawab semua pertanyaan seolah tahu semua hal, padahal tak mungkin ada orang tahu semua hal. Ada yang mengaku berilmu tapi sengaja menghindari diskusi ilmiah dengan orang lain dengan alasan berdebat itu buruk, tak perlu menampakkan ilmu, tak perlu pamer pengetahuan dan ngeles dengan menganggap bahwa seolah-olah orang yang berdiskusi itu niatnya pasti buruk, padahal tidak demikian. Ada juga yang bersembunyi di balik mesin Google sehingga hebatnya hanya saat di balik layar hapenya, itu pun sebenarnya tak paham betul apa yang di-copaste-nya.

Bagi yang miskin, kemiskinannya dihiasi dengan alasan zuhud dan tidak suka dunia. Di berbagai kesempatan menjelaskan betapa sebenarnya dia kaya tetapi sengaja tampil apa adanya. Tak pernah lupa menjelaskan bahwa kesederhanaan seperti dirinya adalah pilihan mulia seolah yang melebihi dirinya adalah buruk.

Dua tipe orang di atas sebenarnya sedang mempermalukan diri sendiri. Tak ada pengakuan masyarakat atas kepintaran atau kekayaan seseorang yang didapat dengan ucapan belaka. Orang berilmu secara natural akan tampak berilmu di komunitasnya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya atau mengaku bodoh sekali pun. Orang kaya secara natural juga akan tampak kaya di lingkungannya, meskipun mengaku miskin sekali pun. Demikian juga orang bodoh dan miskin akan secara natural tampak demikian dengan sendirinya, meskipun mengaku sebaliknya. Sama seperti bau keringat yang menyengat, tidak akan dianggap harum oleh orang sekitar hanya dengan cara bajunya diberi tulisan "ini aroma wangi parfum".

Selain mempermalukan diri, berpura-pura berilmu atau kaya justru merugikan diri sendiri. Yang bertingkah seolah sudah tahu tidak akan diberi tahu ilmu baru oleh orang yang benar-benar tahu. Yang pura-pura kaya tidak akan diberi kesempatan untuk dapat lowongan kerja oleh orang yang benar-benar kaya. Akhirnya kepura-puraan itu menjadi sebab ia tak berkembang lebih baik.

Jadi, kalau ingin berkembang menjadi lebih baik, maka hindarilah berpura-pura dalam kepalsuan. Syukuri apa yang ada dan tak perlu ragu menampakkan kekurangan. Dengan demikian, maka rasa hormat dan bahkan bantuan orang mudah datang. Dan yang pasti, hati tidak menjadi kotor karena riya' dan takabbur. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 Juli 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ustadz Abdul Wahab Ahmad

Editor: Hakim