Menutup Prasangka Buruk pada Ulama yang "Dekat" dengan Penguasa

 
Menutup Prasangka Buruk pada Ulama yang
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Boleh saja nyinyir kepada ulama yang dekat penguasa yang kedekatannya terbukti (bukan terasumsi atau teropini) membuatnya terjerumus kepada perbuatan nista. Memperjualbelikan agama. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Menjadi "stempel" halal terhadap kezaliman penguasa.

Memang, idealnya bisa dijumpai ulama merangkap sebagai umara, dan atau sebaliknya. Akan tetapi sangat sedikit orang yang mempunyai dua kualitas itu sekaligus. Pemisahan kepemimpinan agama (ulama) dan politik (umara) disebabkan karena tidak semua ulama mempunyai kemampuan sebagai umara, dan tidak semua umara yang memiliki kualitas sebagai ulama. Pemisahan ini bukan berarti penghilangan fungsi ulama dan umara. Bukan juga penegasian satu sama lain.

Hubungan ulama dan penguasa (umara) sangat dinamis. Namun, pada dasarnya, kepentingan ulama terhadap penguasa adalah agar ajaran agama bisa dijalankan selurus-lurusnya oleh penguasa. Mengawal umara supaya menjalani pemerintahan dengan adil dan beradab. Ulama juga berkepentingan menjaga kemaslahatan umat disampaikan oleh penguasa.

Sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Ibnu ‘Athaillah dalam Kitab Lathaiful Minan, setiap zaman selalu ada ulama waliyullah yang dimuliakan oleh penguasa di zamannya. Para penguasa itu menaati dan mematuhi ulama waliyullah di zamannya. Ada juga ulama waliyullah yang hilir mudik di tempat penguasa dan pejabat untuk memenuhi kebutuhan umat.

Orang-orang awam ada yang nyinyir; “seandainya dia ulama waliyullah tentu tidak hilir mudik di tempat penguasa dunia.”

Tentu saja pandangan seperti itu keliru, kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah, jangan lihat hilir mudiknya di tempat penguasa, namun lihatlah bagaimana sikapnya. Jika ia datang ke tempat penguasa demi kepentingan para hamba Allah, untuk mengentaskan kesulitan mereka, menjadi penghubung bagi mereka, serta tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka tentu kebiasaanya itu tidak menurunkan kehormatannya.

Tentang Syaikh Abul Hasan As-Syadziliy, Syaikh Imam Taqiyuddin Muhammad bin Ali Al-Qusyairi mengatakan; “Orang-orang dan para pejabat tidak mengetahui kedudukan Syaikh Abul Hasan As-Syadziliy karena ia sering hilir mudik di tempat mereka itu guna membantu para hamba.”

Syaikh Ibnu ‘Athaillah menceritakan di dalam Kitab Lathaiful Minan. Suatu ketika Syaikh Abul Hasan As-Syadziliy waktu di Iskandaria, memanggil seorang dokter Yahudi untuk mengobati seseorang. Tetapi dokter Yahudi menolak sebelum mendapat izin dari yang berwenang. Ada aturan dari pemerintah, dokter tidak boleh mengobati kecuali ada izin dari kepala dokter di Kairo.

Lalu Syaikh Abul Hasan As-Syadziliy berangkat ke Kairo meminta izin untuk dokter Yahudi. Setelah mendapat izin, ia langsung pulang tanpa menginap. Lalu memberi surat izin kepadanya. Dokter Yahudi terkesima dan sangat kagum dengan keluhuran akhlak Syaikh Abul Hasan As-Syadziliy.

Hilir mudik ulama waliyullah di tempat penguasa dalam rangka mengurus kebutuhan umat, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berakhlah tinggi. Mereka mengorbankan dan "menghinakan" dirinya demi meraih ridho Allah semata. Mereka mengetahui luasnya rahmat Allah. Dan dengan rahmat Allah mereka memperlakukan hamba ciptaan Allah. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Mei 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ayik Heriansyah (LD PWNU Jabar)

Editor: Hakim