Kemanusiaan yang Fitri

 
Kemanusiaan yang Fitri

LADUNI.ID, Jakarta - Esok kita menyambut datangnya hari Raya. Hari Raya yang kali ini berbeda nuansa. Kita semua merayakannya bukan dengan kemeriahan seperti biasa, namun semoga tidak akan mengurangi kegembiraan hari Raya. Hari Raya seperti yang sering kita baca, adalah hari kemenangan umat Islam yang telah melaksanakan puasa. Hari kembalinya kita ke fitrah yaitu keadaan semula sebagaimana manusia pertama kali dilahirkan. Sesuai arti kata Idulfitri secara harfiah.

Prof. Azyumardi Azra menyampaikan dalam teologi Islam kembali ke fitrah berarti kembalinya manusia ke pusat eksistensialnya. Istilah fitrah disebutkan sekali dalam Al-Quran, dalam surat Al-Rum:30, yang bermakna, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada din (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Menurut Seyyed Hosein Nasr, dengan mencapai fitrah, maka manusia kembali ke sumbu eksistensinya, meninggalkan lingkaran luar yang jauh dari pusat eksistensial manusia itu sendiri. Semakin menjauhnya manusia dari sumbu eksistensinya, dalam banyak hal karena manusia gagal mengembangkan unsur-unsur ketuhanan yang suci di dalam dirinya. Manusia dibekali Tuhan, antara lain dengan sifat hanif, pengasih, penyayang, dan pemaaf, yang dapat menghantarkan manusia— baik secara personal maupun komunal ke arah kebaikan dan kedamaian.

Hari Raya Idulfitri yang sebelumnya, hal yang lumrah kita lakukan adalah saling berkunjung. Dari yang muda kepada yang tua, seorang anak kepada orang tua, dan cucu sungkem kepada kakek dan nenek. Temu alumni, temu kolega, temu kawan lama, yang lazim disebut halalbihalal telah menjadi bagian budaya masyarakat di seluruh Indonesia. Memang peristiwa yang sangat indah untuk kembali merekatkan ukhuwah Islamiah dan ukhuwah berbangsa kita.

Akan tetapi yang membuat 'istimewa', hari Raya tahun ini kita merayakannya secara berbeda. Tidak ada temu keluarga, temu alumni dan silaturahmi dengan tetangga. Tidak ada perjalanan mudik beramai-ramai dan bermacet-macetan di jalan. Karena rutinitas tahunan itu tidak bisa kita lakukan pada tahun ini. Ketika kita tidak saling mengunjungi, ketika wujud silaturahmi kita justru harus menjaga jarak. Dan ketika kita harus tetap sabar menahan rasa rindu ingin jumpa.

Maka dari itu hari kembalinya fitrah kita sebagai manusia, yang mengacu pada naluri hanif, pada tahun ini benar-benar diuji. Naluri kebaikan untuk menguatkan rasa kemanusiaan, rasa solidaritas, rasa kasih sayang kepada sesama manusia melampaui sekat-sekat perbedaan. Sebab hari Raya kali ini tak semata kita mengutamakan kemanusiaan bagi sesama umat Islam yang merayakan hari Raya tetapi untuk semua lapisan masyarakat. Dan berharap akan menjadi getaran positif bagi dunia. Demi pulihnya semesta dari wabah ini.

Dengan kita merayakannya di rumah, tanpa berjabat tangan, tanpa saling berkunjung. Kita sama-sama menerima dan memahami bahwa kita sudah saling berjabat hati, saling berpelukan melalui doa, dan saling memaafkan satu sama lain. Keadaan ini memang sebuah kejadian luar biasa yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Memberi kita hikmah, bahwa kita benar-benar tidak tahu nasib kita beberapa waktu ke depan. Rahasia kehidupan yang semestinya membuat kita semakin rendah hati. Merasa diri bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa di atas bumi ini. Barangkali itu bisa menjadi renungan hari Raya.

Puasa adalah jalan riyadah jasmani dan ruhani sebagai latihan menyucikan jiwa, untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Jika seseorang mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi dirinya bisa lebih dalam memaknai kehidupan. Maka itu mememungkinkannya untuk lebih arif dalam memandang diri, masyarakat dan lingkungan alamnya. Sehingga dirinya tidak akan semerta-merta egois, merugikan orang lain dengan mementingkan dirinya sendiri dalam bertindak. Dan inilah kemanusiaan yang fitri.


*) Oleh Neyla Hamadah, Mahasiswi Jurusan Manajemen UNU Yogyakarta