Khutbah Jum’at: Kemanusiaan Mendahului Sikap Keberagamaan

 
Khutbah Jum’at: Kemanusiaan Mendahului Sikap Keberagamaan

Khutbah Pertama:

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ

فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمْ: الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ ، وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Berangkat dari atas mimbar ini khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada kita semua, untuk senantiasa berupaya senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban dengan segenap keteguhan hati dan kemantapan jiwa, dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan dengan penuh ketabahan dan kesabaran.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

Agama selalu menganjurkan sikap kemanusiaan, ketika agama melarang manusia untuk berbuat, maka esensinya agama melarang kerusakan-kerusakan yang dapat mengurangi nilai-nilai kemanusiaan. Begitupun sebaliknya apabila agama memerintahkan manusia untuk berbuat, sesungguhnya agama mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya.

Baca juga: Menegaskan Islam Sebagai Agama yang Rahmatan lil Alamin

Tidak dapat dipungkiri bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, dan juga tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit tindakan-tindakan manusia yang bertentangan dengan kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama. Dalam hal ini ajaran agama tergantung kepada pemahaman manusia terhadapnya, karena sering kali agama dipahami secara sangat tekstual sehingga, disadari atau tidak, telah melepaskan agama dari sejarah risalahnya. Dengan demikian, maka tidak heran ketika seorang beragama kemudian menjadi keras sehingga hilang nilai-nilai kemanusiaannya.

Nilai-nilai keimanan sepantasnya melahirkan rasa kemanusiaan, mewujudkan kebaikan, bukan malah sebaliknya, keras dan menakutkan. Sebab keduanya merupakan perkara yang paling utama untuk mendatangkan ridha Allah SWT. Dalam kitab Nashaihul Ibad Rasulullah SAW mengatakan bahwa keimanan kepada Allah dan kebaikan kepada orang lain menjadi kunci ibadah secara keseluruhan.

 خَصْلَتَانِ لَا شَيْءَ اَفْضَلُ مِنْهُمَا :اَلْاِيْمَانُ بِااللهِ وَالنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Dua perkara yang tidak ada satupun dapat melebihi keutamaan dari keduanya, yaitu iman kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada kaum muslimin,” (Syekh Nawawi Banten, Nashaihul Ibad, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 4).

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

Akhir-akhir ini dalam masyarakat kita menunjukkan adanya pemahaman ajaran agama secara tekstual, kaku dan eksklusif. Pemahaman secara tekstual memunculkan doktrin kebenaran sepihak dan hak justifikasi atas kesalahan kelompok lain yang dianggap tidak sepaham tidak seiman.

Baca juga: Islam Mengajarkan Cinta Bukan Permusuhan

Pemahaman ini semakin mempertajam perbedaan yang menjadi sunnatullah. Masyarakat terjebak dalam formalitas agama dan tidak jarang mengabaikan kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh agama itu sendiri, yakni kebaikan. Sehingga orang berbeda dengannya dianggap musuh dan harus diperangi.

Tidaklah patut jika ia mengaku beriman, namun ia memusuhi hingga menyakiti orang lain hanya karena perbedaan paham. Keimanan yang demikian tidak sejalan dengan petunjuk Rasulullah SAW.

لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيقَةَ الإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ

“Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat iman (iman yang sesungguhnya) sampai dia mencintai untuk manusia apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban no. 235)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

Misi risalah atau tujuan diutusnya Rasulullah Muhammad SAW ke dunia adalah untuk membawa dan menebar rahmat dan kasih sayang kepada alam semesta. Misi risalah kenabian bersifat universal untuk semua manusia, tidak hanya untuk mereka yang beriman, tetapi juga bagi mereka yang tidak beriman. Rahmat dan kasih sayang mencerminkan Islam yang ramah, santun, toleran, dan penuh dengan cinta damai. Sebagaimana tersebut tegas dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya;

وَمَا اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]:107)

Ayat tersebut di atas, menjelaskan tujuan diutusnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini secara eksplisit dan tegas, agar Nabi Muhammad dapat menebar dan menyampaikan rahmat atau kasih sayang Allah kepada seluruh alam semesta. Rahmat dan kasih sayang mencerminkan Islam yang ramah, santun, toleran, dan penuh dengan cinta damai. Islam tidak menebarkan kebencian dan permusuhan.

Baca juga: Optimisme dan Berbaik Sangka Kepada Allah dan Orang lain di tengah Musibah

Kehadiran risalah kenabian tidak hanya ditujukan bagi mereka yang muslim saja, tetapi juga bagi mereka yang non muslim. Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan hubungan interpersonal. Ajaran Islam mengenai hubungan ini bertujuan membentuk pribadi yang berakhlak mulia. Karena dengan sikap pribadi yang berakhlak mulia akan menghantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

 

Tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW, sekali lagi tidak bertujuan untuk meng-islamkan seluruh penduduk dunia, tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah untuk menebar kasih sayang dan perdamaian kepada alam semesta. Sehingga misi risalah sebagai subtansi dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin bersifat universal yang berlaku bagi siapapun tanpa memandang suku, warna kulit, bangsa, dan agama seseorang.

 

Islam sebagai agama yang membawa misi kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan hidup bagi manusia di dunia dan akhirat. Dalam penyebarannya Islam dapat tumbuh dan dianut oleh masyarakat luas tidak dilakukan dengan paksaan dan cara-cara kekerasan, melainkan dengan jalan yang damai, bijaksana, santun, dan mengedepankan pendekatakan dialogis. Penyebaran Islam yang dipenuhi dengan nilai-nilai cinta damai dan kasih sayang ini sejalan seiring dengan misi risalah Nabi Muhammad.

 

Islam tidak mengajarkan menebarkan kebencian dan permusuhan. Akan tetapi dewasa ini ada sebagian orang-orang yang dengan sadar dan sengaja menabrak dan bahkan melindas habis kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam agama. Bahkan dalam praktiknya tidak sedikit sebagian orang menggunakan slogan "atas nama agama" untuk membenarkan dan melegitimasi tindakan yang salah jalan tersebut.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

Semangat untuk meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW yang ramah, santun, cinta damai, toleran, dan penuh kasih sayang harus terus diaktualisasikan dan dikontekstualiasikan dengan semangat zaman sebagai bentuk tanggung jawab seorang muslim baik secara individual maupun sosial.

 

Dalam kitab Al Insaniyyah qobla at-Tadayyun (Kemanusiaan mendahului sikap religius), karya Habib Ali Al-Jufri menjelaskan cara Rasulullah SAW menyampaikan risalah dengan menyebutkan tiga hal.

 

Pertama: Menyambung silaturrahim (jaminan keamanan masyarakat),

Kedua: Melindungi darah (perlindungan terhadap kehidupan) dan yang,

Ketiga: Mengamankan jalan (keamanan publik). Setelah itu baru Rasulullah berbicara mengenai religiusitas yakni, menghancurkan berhala  (amar makruh nahi munkar) serta sikap kukuh bertauhid hanya menyembah kepada Allah (wilayah dakwah). Dengan jaminan sosial, kehidupan, dan keamanan publik itu barulah kemudian masyarakat dapat beribadah secara khusyuk dan tenang.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.

 

Mendahulukan rasa kemanusiaan dari sikap keberagamaan telah ditunjukkan oleh Islam dalam bentuk saling menghargai pendapat, selama perbedaan tersebut masih dalam wilayah cabang (furu’iyyah). Misalnya dicontohkan oleh Imam Syafi’i ketika berziarah ke makam gurunya Imam Abu Hanifah. Pada saat waktu sholat subuh, Imam Syafi’i tidak membaca doa qunut. Hal tersebut jelas menyalahi pendapatnya sendiri yang menyunahkan membaca doa qunut pada rakaat kedua sholat subuh. Alasan Imam Syafi’i adalah menghormati shohibul maqom yaitu Imam Abu Hanifah yang tidak membaca qunut pada saat sholat subuh.

 

Demikianlah contoh Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam menghadapi perbedaan paham keberagamaan yang telah dipraktekan tanpa menimbulkan permusuhan.

 

بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah kedua:

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

___________________________________
Disunting oleh: Ustadz Syarif Cakhyono
(Sekretaris PCNU Jakarta Timur)