Karakter Kekerasan Berbasis Gender

 
Karakter Kekerasan Berbasis Gender
Sumber Gambar: creativemarket.com, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kekerasan berbasis gender pada perempuan mempunyai sejumlah karakter yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya penghapusannya, yakni sebagaimana berikut:

1. Ia terjadi hanya karena seseorang menjadi perempuan. Andai ia laki-laki, maka kekerasan tersebut tidak akan terjadi.
2. Berakar pada cara pandang bahwa perempuan adalah kelas rendah (patriarkis garis keras) atau lebih rendah daripada laki (garis lunak).
3. Telah terjadi selama berabad-abad hingga hari ini dan diinternalisasikan pada kita sejak kecil sehingga dianggap wajar, bahkan kadang merupakan keharusan.
4. Mewarnai cara pandang dunia manusia, baik filosof, ilmuwan, seniman, penguasa negara, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll.
5. Merupakan bagian dari ketidakadilan gender pada perempuan, bersama-sama dengan stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, dan beban ganda.
6. Karenanya, menjadi bagian dari ketidakadilan secara umum yang mestinya menjadi tanggung jawab bersama untuk mengatasinya, bukan semata-mata tanggungjawab perempuan.

Apa artinya?

Kekerasan berbasis gender pada perempuan menjadi sangat mudah ditemukan di mana-mana, seperti muncul dari pendapat filosof yang sangat rasional, ilmuwan yg sangat ilmiah, karya seni termasuk lawakan, kebijakan negara, norma dan tradisi yang dikenal sebagai kearifan sosial/lokal, dan kemaslahatan agama, yang seharusnya bijak, arif, dan maslahat bagi perempuan.

Lalu apa dampaknya pada pelaku?

Walau tidak selalu, namun juga tidak mustahil, melakukan tindakan kekerasan tertentu berbasis gender pada perempuan bisa dipandang rasional, obyektif, pelakunya adalah warga negara yang baik karena taat pada konstitusi, punya selera humor yang baik, warga masyarakat yang tahu unggah-ungguh karena menghormati norma dan tradisi leluhur, sekaligus umat beragama yang sholeh/sholehah.

Apa resiko bagi pejuang keadilan gender?

Walau tidak selalu, namun juga tidak mustahil, ikhtiar membangun sistem adil gender pada perempuan di berbagai sendi kehidupan itu bisa "dikeroyok" berbagai kalangan sebagai tindakan yg emosional, subyektif, tidak punya selera humor yang baik, melawan konstitusi negara, pamali, dan dosa!

Dari gambaran itu, maka perlu adanya upaya penghapusan. Upaya penghapusan tentu mesti dimulai atau disertai perubahan cara pandang atas kemanusiaan secara umum, khususnya kemanusiaan perempuan. Inilah yang dilakukan Islam saat diturunkannya. Manusia bukan hanya makhluk fisik, tapi juga intelektual dan spiritual. Demikian pula perempuan sebagai manusia. Mereka bukanlah hanya makhluk fisik, apalagi makhluk seksual, apalagi cuma objek seksual!

Kesadaran tentang sebuah tindakan yang mengandung kekerasan pada perempuan tidak otomatis tumbuh kesadaran yang sama pada tindakan lain yang juga mengandung kekerasan pada perempuan. Artinya, kita benar-benar perlu membangun kesadarannya tindakan demi tindakan.

Tantangan utama dalam proses ini adalah mengenali sebuah tindakan yang mengandung kekerasan pada perempuan. Utamanya jika tindakan yang sama tidak berdampak demikian pada laki-laki. Bahkan sebaliknya berdampak bagus pada mereka karena perbedaan sistem reproduksi mereka yang berbeda dengan perempuan.

Sementara, nilai dan prilaku tidak adil gender pada perempuan sesungguhnya bisa siapa saja terima dan saksikan sejak kecil. Setiap kita adalah anak kandung sistem patriarki. Sistem adil gender hanya bisa terwujud jika kita memilih untuk jadi anak kandungnya yang durhaka?!

Terimakasih pada banyak kalangan termasuk filosof, ilmuwan, seniman, penguasa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll, yang sudah berjibaku mewujudkan sistem kehidupan yang adil juga bagi perempuan, sejak dulu kala.

Semoga kita bisa meneladani keteguhan jiwa dalam menempuh jalan terjal kemanusiaan, termasuk kemanusiaan perempuan. Amin. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 06 Mei 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Dr. Nur Rofi'ah (Dosen Pascasarjana Konsentrasi Ilmu Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta)

Editor: Hakim