Mencintai Para Pewaris Nabi SAW

 
Mencintai Para Pewaris Nabi SAW
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Tanda cinta seseorang kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, diantaranya dengan mencintai para pewaris Nabi SAW, dari mulai para sahabat Nabi SAW sampai ulama-ulama dan para awliya’ pada masa sekarang ini. Kewajiban menghormati mereka bukan sekedar berdasarkan sadah (sayyid/keturunan Nabi, red) atau bukan. Sebab Allah Ta’ala dalam memberikan fadhal-Nya, keutamaan-Nya, kepada hamba-Nya sebagai wali-Nya. Siapapun yang dikehendaki Allah sebagai wali-Nya, jadilah. Sekali lagi, tidak terikat dari keturunan mana, atau siapa. Dan kewajiban kita adalah menghormati para waliyullah, yang notabene orang yang dekat dengan Allah dan Rasul-Nya.

Sang wali itu berasal dari kalangan sadah atau bukan, itu tidak penting, kita harus tetap menghormatinya. Yang namanya Awliya tidak harus dari keturunan atau keluarga Nabi. Allah Ta’ala berfirman, “Innama Yakhsyallah min ibadihil ulama. Ala inna auliya Allah la khaufun alaihim walahum yahzanun.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa bahwa para ulama dan awliya itu sangat umum, tidak harus dari kalanagan sadah. Adapun faktor sadah merupakan faktor pendukung.

Mereka sadah atau bukan, kewajiban kita adalah mencintai para ulama dan para awliya, pewaris Nabi SAW.

Sementara mengenai sadah, baik menjadi wali Allah maupun tidak, kita tetap berkewajiban menghormati mereka. Sebab dalam tubuh mereka, yang disebut dzuriyah Rasulullah SAW, terdapat darah daging Baginda Nabi SAW. Mereka menjadi ulama ataupun tidak, kita tetap berkewajiban mencintai dan menghormati mereka.

Sudah menjadi kewajiban kita untuk mencintai para pewaris Nabi SAW, bahkan kecintaan umat Islam Indonesia kepada para habaib sudah menjadi tradisi yang sulit untuk dihilangkan. Namun, jangan terlalu berlebihan dalam mencintai habaib.

Mesikpun habaib bernasab hingga Rasulullah, mereka juga manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan begitu pun kekurangan. Menurut KH. Ahmad Ishomuddin, berbeda dari para Nabi dan Rasul, para habaib tidak terjaga (ma’shum) dari melakukan kesalahan, maksiat dan dosa.

Tapi, dengan begitu kita tidak lantas melontarkan perkataan yang tidak pantas kepada habaib. Jika pun seorang habib melakukan suatu kesalahan, maka yang kita benci adalah perilakunya, yang kita tidak sukai adalah perbuatannya, bukan individu/personalnya. Jangan pula kita membenarkan apa yang menjadi kesalahannya. (red)

Mencintailah sewajarnya, jika ada kesalah, maka cela perbuatannya bukan individunya. Suatu kesalahan tidak akan pernah, sedikit pun, melunturkan rasa cinta kita kepada pewaris Nabi SAW. Melainkan, sedikit kebaikan yang tersampaikan akan menambahkan rasa cinta kita kepada para pewaris Nabi SAW. (red)

 

Kutipan Tanya Jawab oleh Habib Luthfi bin Yahya dalam rubrik Al Kisah

IG: @darulhasyimijogja

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله واصحابه اجمعين

 

Sumber: https://www.facebook.com/mtdarulhasyimijogja/photos/a.133161574073474/850240232365601