Dakwah Pembangunan Menurut Quraish Shihab

 
Dakwah Pembangunan Menurut Quraish Shihab
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Rakimin Al-Jawiy

Laduni.ID, Jakarta – Dakwah itu bermakna ajakan kebajikan yang tidak didapati langsung maknanya pada ayat maupun hadis. Dari sini dapat dipahami bahwa praktek dakwah tidak harus disertai ayat ataupun hadis. Setiap orang bahkan non-muslim yang mengajak kebajikan pada hakikatnya adalah dakwah.

Untuk memperoleh kebajikan dalam dakwah diperlukan berbagai syarat untuk mencapainya. Pesan iqra' (QS. Al-Alaq) untuk para muballigh adalah baca dan pelajari segala materi yang akan disampaikan, agar sesuai dengan objek ataupun kebutuhan umat. Selanjutnya kesiapan mental akan menghantarkan kesuksesan dalam berdakwah, karena dakwah penuh dengan tantangan, hambatan bahkan ancaman.

Untuk membangun mentalitas dakwah, berdakwah harus dilambari dengan akhlak para muballighnya dan menjunjung tinggi etika dalam berdakwah. Berdakwah harus optimis, tabah, sabar dan ikhlas. Sebab sikap pesimis akan mendatangkan kegagalan dalam dakwah.

Selain itu, ketahuilah siapa objek dakwah dan sesuaikan dengan materi dakwah. Jangan sampai tausiah pernikahan berisikan materi tentang kematian. Seperti ketidakbolehan menegur jamaah agar tidak ribut ketika khutbah berlangsung. Kenapa? objek yang tidak tepat untuk materi yang sebenarnya baik, menjadi salah karena tidak bersesuaian antara isi, objek dan caranya.

Suatu ketika ada orang yang bertanya, bolehkah shalat tidak pakai peci? Di Maroko shalat tidak pakai peci. Pakai peci atau penutup kepala lainnya disetiap negara memiliki cara dan bentuk yang berbeda. Dikatakan ma'ruf apabila bersesuaian dengan ciri khas sosial budaya di mana umat Islam tinggal. Hal ini selaras dengan pandangan Bin baz yang berpendapat bahwa ma'ruf itu seyogyanya sesuai dengan sosial dan budaya masyarakat itu sendiri. Seperti penutup kepala Indonesia, ya, pakai peci.

Selanjutnya dakwah itu harus bil hikmah. Menurut Quraish Shihab hikmah itu amal ilmiah atau ilmu yang amaliah. Hikmah itu juga bermakna kendali untuk kebaikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Kemudian syarat dakwah itu “Mauidzhah Hasanah”. Dikatakan mauidzhah hasanah adalah ketika menyampaikan kebenaran dengan menjalankan apa yang disampaikan. Dengan demikian muballigh yang sesungguhnya adalah keselarasan apa yang disampaikan dengan apa yang dikerjakan.

Berikutnya wa jaadilhum billatii hiya ahsan (berdiskusi yang baik) adalah bermakna menghormati pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangan kita.

Dakwah yang benar adalah dakwah yang dibangun dari hal-hal yang disyaratkan Allah di atas. Sementara dakwah yang keliru adalah dakwah yang menghakimi orang lain sebagai sesat dan menyesatkan. Biarlah Allah yang menghakimi manusia lurus atau sesat. Jangan kita mengambil peran Allah dengan mengatakan bahwa mereka sesat dan yang lain benar.

Manusia tak akan hidup tanpa bernafas, maka dari itu ia membutuhkan oksigen. Agama itu oksigen jiwa. Jiwa itu tak kan bisa bertahan hidup tatkala hidup tanpa agama. Jadi tugas dakwah itu menyampaikan syiar Islam dan mengajak pada kebajikan maka raihlah kebajikan demi kebajikan. Tugas dakwah adalah menyampaikan dan bukan pula mengIslamkan. Dalam konteks beda agama bagimu agamamu bagiku agamaku, dalam konteks satu agama bagi kami amalan kami bagimu amalanmu.

Dalam dakwah pembangunan, memilih materi dakwah sangat mutlak diperlukan. Pada masa orde baru materi dakwah disampaikan muballigh dengan menekankan materi-materi yang mengandung pahala yang besar sedangkan ketika Eropa maju maka materi pun berubah menjustifikasi bahwa kemajuan Eropa ada diberitakan didalam Al-Qur'an.

Dakwah pembangunan layak dibutuhkan, dakwah wasatiyah adalah model yang diharapkan. Dakwah wasathiyah itu harus didasarkan ilmu pengetahuan yang luas dan sikap yang terbuka. Wasatiyah mengandung unsur keadilan, dan adakalanya adil itu tidak berat sebelah tapi juga proporsional.

Keberpihakan dakwah ada pada terwujudnya kebajikan. Maka dari itu dalam dakwah kendalikan emosi kita dengan tetap melakukan kebaikan tanpa melakukan keburukan. Sebab tidak ada praktek dakwah yang dibenarkan ketika dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar. Dakwah wasatiyah harus dibalut dengan rasa cinta dan kasih sayang.

Kehati-hatian dalam dakwah penting dilakukan agar dakwah tertata dan menghasilkan amar ma'ruf dan nahi munkar.

Semoga bermanfaat

Oleh: Rakimin Al-Jawiy – Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang