Mengapa PKPNU Menjadi Penting? Ini Penjelasannya

 
Mengapa PKPNU Menjadi Penting? Ini Penjelasannya
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Tidak salah barangkali bahwa warga nahdliyin itu jumlahnya ratusan juta orang. Tidak salah pula bahwa kaum santri sudah memiliki puluhan bahkan ratusan badan yang berwujud organisasi NU, banom-banom NU, lembaga-lembaga NU, perangkat-perangkat NU, unit-unit kerja NU dan lain sebagainya.

Namun statistik memberikan fakta bahwa, minimnya presentase level pengurus yang telah melewati serangkaian pendidikan dan pelatihan yang memadai untuk tampil dan bekerja sebagai pemimpin.

Hal itu sudah menjadi pemandangan umum, karena kebijakan besar berdasar pemikiran masa lalu yang kurang lebih prakteknya, NU melakukan kaderisasi berjenjang sesuai tingkatan usia. Usia pelajar didorong ikut IPNU-IPPNU, usia dewasa masuk Ansor-Fatayat, lalu usia matang terjun di NU-Muslimat.

Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) lahir dan tumbuh dengan latar belakang kebutuhan mendesak, akan kesadaran berjamaah dalam shof yang rapi. Sejauh ini pendidikan kader yang dilakukan oleh badan otonom (banom) NU belum memenuhi watak kolosal, selain karakter lain yang bersifat ideologis untuk memenuhi kebutuhan kepengurusan NU.

Kebutuhan itu mendesak dikarenakan adanya fakta bahwa, warga nahdliyin masih selalu menjadi bulan-bulanan dalam berbagai kontestasi kehidupan sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan politik. Karena itu warga nahdliyin memerlukan satu perangkat sistem kaderisasi yang efektif, massif dan masal!

Diskoneksi Kaderisasi

Sepintas tampak ideal pola kaderisasi berjenjang, namun faktanya tidaklah seindah yang dibayangkan. Kontinuitas pendidikan kader di masing-masing badan otonom, tidak otomatis connect dengan perekrutan kepengurusan di wadah-wadah organisasi, yang dihuni warga nahdliyin usia matang.

Karena beberapa factor, tidak banyak kader-kader terbaik Ansor maupun Fatayat, yang kemudian bisa terpasang dalam formasi kepengurusan NU maupun Muslimat. Tidak jarang penyebabnya adalah faktor psikologis belaka. Banyak kalangan elit Ansor atau Fatayat, baik pusat maupun daerah enggan masuk induk organisasi yakni NU atau Muslimat. Karena basic needs mereka yang tak mungkin terpenuhi di wadah-wadah barunya.

Ada juga faktor perbedaan mendasar antara watak budaya organisasi badan otonom dengan induknya. Kader-kader terbaik di banom-banom, tidak mudah beradaptasi dengan nilai-nilai baru yang mapan di induk organisasi.

Jadi tak perlu analisis rumit untuk mengungkap lemahnya harokah NU di level bawah. Berapa banyak MWC NU dan PAC Muslimat yang sanggup menjalankan tugas-tugas keormasan yang efektif? Seberapa kuat pengurus-pengurus NU dan Muslimat membangun jaringan rapi secara vertikal sehingga instruksi pimpinan dapat dilakukan secara efektif sampai di tingkat anak ranting? Mari kita coba bedah akar masalahnya!

Umumnya warga NU kultural tidak berkarakter ideologis. Sehingga nyaris tidak punya daya juang yang memadai sebagai daya tangkal. Pendek kata, NU kultural ini rendah dalam militansi. NU kultural selain hanya tetap melaksanakan amaliah qunut, wirid, tahlil, yasinan, maulidan dan talqin, juga sangat beragam dalam cara pandang tentang NU sebagai jam'iyah. Mereka umumnya tanpa pendidikan kader dan miskin pengalaman memimpin organisasi.

Malangnya, dari kalangan itulah kepengurusan ranting, wakil cabang dan bahkan beberapa pengurus harian cabang NU berasal. Jadi bisa dipahami, jika jaringan kepengurusan organisasi lemah dalam rantai komando, endingnya launching program-program unggulan banyak yang tidak bisa dipahami warga nahdliyin. Cilakanya kenyataan seperti itu sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lalu.

Masih adakah optimisme untuk melakukan perubahan besar? Menurut hemat saya masih ada! Pendidikan kader secara massal (PKPNU) disemai untuk memenuhi kebutuhan kader, baik di kepengurusan NU maupun di tingkat grassroot.

Harap diketahui, desain dan muatan spiritual PKPNU dalam waktu singkat menjadi primadona pendidikan kader warga nahdliyin. Ini menjadi fakta tak terbantahkan, bahwa PKPNU menjadi model diklat yang sangat digemari masyarakat bawah.

Wataknya yang tidak elitis, membuat pelatihan kader ini sangat mudah diakses oleh semua golongan masyarakat warga nahdliyin. Ongkosnya pun terbilang sangat murah, sehingga bisa berfungsi sebagai medium pengukuhan kebersamaan.

Di hampir semua penyelenggaraan PKPNU, yang membutuhkan waktu berbilang hari selalu melibatkan masyarakat dalam menyokong kebutuhan fisik dasar. Akomodasi, konsumsi dan sanitasi umumnya terbantu oleh subsidi non finansial masyarakat.

Saya rasa sulit memecahkan rekor kecepatan pencetakan jumlah kader seperti yang sudah dilakukan para instruktur PKPNU. Dalam beberapa tahun sejak dilaunching, tercatat sudah terbaiat ratusan ribu bahkan jutaan kader di seantero negeri.

PKPNU juga diketahui sangat efektif dalam mendongkrak level ideologis warga NU, umumnya kader jebolan PKPNU militansinya relatif permanen. Bahkan cenderung makin kuat skor ideologisnya dengan dijalankannya program pertemuan tatap muka model Silatnas, Silatda, Silatcab hingga Silatcam sebagai medium penting untuk Upgrading semangat berjuang.

Memang benar, PKPNU dirancang untuk mendidik kader militan dengan tujuan untuk melahirkan satu lapisan kelas penggerak ditengah warga nahdliyin. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa selapisan kader militan tersebut baru kuat dalam ideologi. Jadi, masih perlu bekal tambahan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam tugasnya sebagai kader penggerak.

Beragamnya matra kerja NU membutuhkan kekuatan agregat yang mencukupi untuk mewujudkan visi satu abadnya. PKPNU akan menjawab kebutuhan kader siap latih, yang selama ini tidak terpenuhi melalui sistem kaderisasi berjenjang.

Bola salju PKPNU akan merapikan shaf jama'ah NU beserta banom-banom dan lembaga-lembaganya. Loyalitas kader penggerak yang diatas rata-rata akan menjamin soliditas dalam menangkal serangan lawan.

Semangat besar yang bersumber dari muatan spiritual para kyai sepuh, akan berubah menjadi energi transformatif yang mengkonversi kekayaan nilai dan ilmu pesantren menjadi aset tangible.

Bersama kader penggerak, NU siap menyongsong “satu abad NU”.

Oleh: Eko S Nurcahyadi, Kader Penggerak NU Kab. Semarang


Editor: Daniel Simatupang