Ilmu Kalam dan Imam Hujjatul Islam Ghazali: Kajian Iqtisad fil I'tiqod

 
Ilmu Kalam dan Imam Hujjatul Islam Ghazali: Kajian Iqtisad fil I'tiqod
Sumber Gambar: Ilustrasi/NU Online

Laduni.ID, Jakarta – Kitab berjudul al-Iqtisad fi al-I`tiqad dibahas di mana al-Ghazali menegaskan bahwa Ilmu Kalam adalah Fardu Kifayah. Pernyataan yang disampaikan oleh al-Ghazali adalah, “Ketahuilah bahwa pendalaman (al-tabahhur) dalam ilmu ini (yaitu Ilmu Kalam) dan membahas semua pertanyaan bukanlah dari Fardu` Ayn tetapi dari Fardu Kifayah.”

Sebelum mengemukakan apa alasan al-Ghazali atas pernyataan tersebut, perlu diuraikan kualitas apa yang dimaksud dengan penguasaan Kalam di sini. Dua kata kunci yang disebutkan dalam pernyataan di atas adalah “memperdalam ilmu ini” (al-tabahhur fi hadha al-`ilm) dan “membahas semua pertanyaannya” (al-ishtighal bi majami`iha).

Kedua kata kunci tersebut mengacu pada penguasaan ilmu agama yang komprehensif, mendalam dan lua,s termasuk menguasai segala istilah, masalah, firqah, dalil dan bantahan, serta berbagai ilmu terkait termasuk Mantiq dan Filsafat.  Pernyataan ini menggambarkan bahwa yang dikategorikan sebagai fardu kifayah adalah penguasaan sifat-sifat tersebut.

Secara implisit juga menjelaskan bagaimana seseorang baru bisa disebut atau menyebut dirinya Mutakallim hanya jika ia telah menguasai Ilmu Kalam pada tingkat tersebut, yaitu tingkat “Ahli Referensi” dalam Ilmu Kalam. Ini bukan berarti memahami prinsip-prinsip Aqidah dan meyakininya berdasarkan dalil yang sesuai dengan tingkatan setiap Muslim juga Fardu Kifayah, melainkan Fardu `Ain yang harus dikerjakan setiap Muslim.

Sedangkan dasar atau argumentasi mengapa Ilmu Kalam dengan penguasaan seperti itu adalah Fardu Kifayah adalah:

Pertama, sebagaimana dibahas oleh al-Ghazali, tidak semua orang layak atau mau atau mampu menguasainya, bahkan sebagian orang lebih aman jika dijauhkan dari Ilmu Kalam ini. Semua ini dengan jelas menunjukkan bahwa Ilmu Kalam tidak cocok untuk semua orang dan oleh karena itu tidak adil Ilmu Kalam ini dikategorikan sebagai Fardu `Ain.

Kedua, kita semua tahu bahwa menghilangkan kebingungan dan keraguan umat Islam dalam masalah aqidah adalah kewajiban, dan upaya ini bukan tidak mungkin untuk dicapai. Oleh karena itu, setiap individu Muslim harus bebas dari kebingungan dan keragu-raguan dalam aqidahnya. Namun, umat Islam perlu menyadari bahwa ada kelompok tertentu, yang terus-menerus berusaha menyebarkan kebingungan dan keraguan di antara umat Islam, dan ini dapat disaksikan di setiap zaman dan di setiap tempat.

Oleh karena itu, di setiap zaman dan tempat harus ada seseorang yang menguasai teologi untuk menolak dan mengklarifikasi isu-isu tersebut jika muncul, atau muncul di kalangan umat Islam. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa kedudukan ahli kalam sebagai fardu kifayah sama dengan kedudukan ahli fiqih dan juga kedokteran.

Umat ​​Islam di setiap zaman dan tempat membutuhkan ulama Kalam (Mutakallim) dan ulama Fiqih (Faqih) sebagaimana mereka membutuhkan Dokter. Akan tetapi, beliau juga menyatakan bahwa tingkat kebutuhan ahli tersebut juga dinilai berdasarkan sejauh mana pentingnya ahli dan ilmunya bagi masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat, baik jasmani maupun rohani.

Ketika saya membaca Kitab Iqtisad fil I'tiqod terutama penjelasan (al-Tamhid al-Rabi`) berjudul: “Tentang menjelaskan tata cara periwayatan (Manahij al-`adillah) yang telah di jadikan metode dalam kitab ini” di mana Imam al-Ghazali mencantumkan manhajnya dalam berargumentasi.

Metode argumentasi yang dikemukakan oleh al-Ghazali sendiri merupakan metode yang telah disaring dan disederhanakan, dari apa yang telah diuraikan secara lebih spesifik dan mendalam pada dua karyanya sebelumnya, yaitu Kitab Mihak al-Nazar dan Kitab Mi`yar al-`Ilm.  Secara lahiriah kita dapat melihat bagaimana aturan-aturan ini sebenarnya sederhana dan diarahkan pada pembiasaan apa yang akan dibiasakan. Namun sekaligus bukan berarti metode ini tidak bisa di perdalam dan dideskripsikan secara mendetail, apalagi dalam perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini tentunya bisa dikembangkan, bahkan bisa diterapkan tidak hanya dalam bidang kalam, tetapi di bidang ilmu lain.

Dari kedua pendekatan ini juga dimungkinkan untuk memahami apa yang dikaitkan dengan Fardu `Ain dan apa itu Fardu Kifayah dalam Ilmu Kalam ini; pendekatan ketundukan umum dan langsung dapat dikategorikan sebagai Fardu `Ain, sedangkan pendekatan penyerahan yang lebih rinci dan khusus dikategorikan sebagai Fardu kifayah.

Imam al-Ghazali membagi tiga metode berdebat yang umum digunakan dalam karya ini. Metode pertama adalah metode yang disebut al-Sabr wa al-Taqsim, yaitu Qiyas al-Istithna`i yang terdiri dari dua muqaddimah, al-Shartiyyah al-Munfasilah (Kubra) dan Istithna'iyyah (Sughra). Metode kedua adalah Qiyas Iqtirani Hamli (Shakl al-awwal). Kedua metode ini bertujuan untuk membuktikan dan memperkuat keyakinan yang didukung oleh argumen yang menantang lawan.

Berbeda dengan kedua metode awal tersebut, metode ketiga merupakan metode yang bertujuan untuk tidak memaksakan suatu akidah tertentu kepada lawan secara langsung. Sebaliknya digunakan untuk menjelaskan kepada lawan bahwa keyakinan yang mereka junjung adalah salah. Hal ini dilakukan dengan memberikan penjelasan bagaimana argumentasi lawan dalam menegaskan keyakinannya tidak hanya salah, bahkan sebenarnya tidak mendukung keyakinannya.

Demikianlah tiga dalil yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan diterapkan dalam kitab al-Iqtisad fi al-I`tiqad sebagai dasar, baik untuk memperkuat dalil-dalil terhadap akidah yang akan dikembangkan maupun untuk membuktikan bagaimana posisi lawan tidak didasarkan pada argumentasi yang kokoh, karena argumentasi mereka sebenarnya tidak mampu mendukung akidah yang mereka anut.

Namun yang juga penting ditekankan di sini adalah penekanan al-Ghazali pada konsep-konsep yang perlu dipahami oleh mereka yang berargumentasi. Setidaknya menyangkut konsep dalil, nazar, fikir dan tuntut (talab). Dalam menguraikan konsep-konsep tersebut dan mengacu pada metode-metode yang telah dikemukakan, penjelasan Imam al-Ghazali dapat diringkas dalam bentuk argumentasi sebagai berikut:

1. Dunia ini Huduts dan qadin

2. Tidak mungkin dunia ini Qadim

3. Oleh karena itu, dunia ini Huduts

Dalam premis argumentasi di atas, pernyataan nomor tiga merupakan hasil argumentasi (al-matlub atau al-madlul) yang merupakan fakta yang diklaim dari aktivitas narasi ini. Tidak akan berhasil tanpa dua pernyataan pertama dan kedua, dan agar hasil argumen ini dapat disajikan, harus ada hubungan antara pernyataan pertama dan kedua. Demikian pula untuk memastikan bahwa hasil argumen ini benar, maka pernyataan pertama dan kedua juga harus benar.

Dari sini Imam al-Ghazali menyatakan bahwa dalil adalah hubungan antara dua pernyataan pertama dan kedua, yang kemudian menghasilkan argumentasi (al-matlub), yaitu pernyataan ketiga. Pikiran adalah memilih dan membawa dua pernyataan pertama dan kedua dalam pikiran (dhi). Talab (permintaan) adalah upaya penelitian tentang bagaimana hasil argumentasi (al-matlub), yaitu pernyataan ketiga, lahir dengan pasti dari keterkaitan antara dua pernyataan pertama dan kedua. Sedangkan nazar adalah kumpulan dari dua kegiatan fikir dan talab. Dari sini hanya nazar yang sempurna yang akan menghasilkan hasil penyerahan yang benar dan akurat.

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, Lc
Dikutip dari FB Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi pada 10 Februari 2022


Editor: Daniel Simatupang