Tugas dan Tanggung Jawab Umat Islam Era Modern

 
Tugas dan Tanggung Jawab Umat Islam Era Modern
Sumber Gambar: Ilustrasi/Sindonews

Laduni.ID, Jakarta – Pernyataan kita, umat beragama, bahwa Tuhan Maha Kasih, Maha Adil, Maha Besar, bahwa Agama dihadirkan untuk membawa kerahmatan semesta (rahmatan li al alamin) dan bahwa syariah Islam selalu shalih (relevan) untuk segala zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan), adalah kebenaran sepenuhnya. Tidak seorang muslimpun yang meragukannya. Tetapi kita tidak bisa sampai pada pernyataan ini, “Apakah makna semua itu, bagaimana ia bisa dipahami dan mengapa pada tingkat implementatif, ia tidak menjadi niscaya, tidak mewujud secara faktual dan menyejarah?”

Semua problem degradasi sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam masyarakat Islam, seperti hari ini, sungguh-sungguh tidak bisa diatasi dengan menuduh begitu saja atau menyalahkan orang lain dan tidak bisa dengan menghukumnya secara semena-mena, apalagi dengan cara-cara kekerasan, ancaman kekerasan, stigmatisasi atau membunuh karakter. Cara-cara seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan bisa terjadi secara sebaliknya, yaitu menjerumuskan dan menciptakan citra semakin buruk atas Islam. Perbaikan Islam harus dilakukan oleh diri sendiri.

Perubahan kearah yang lebih baik untuk mewujudkan titah-titah Tuhan yang agung dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan sebagaimana disebut di atas, hanya bisa dilakukan oleh diri sendiri. Kekuatan dan kemegahan Islam harus dibangun oleh diri sendiri dan tidak bisa mengharapkan orang lain. Kita harus melakukan kontestasi secara cerdas, sehat dan dengan penuh kerendahan hati. Fastabiqu al-Khairat, sebagaimana perintah Allah SWT dalam al-Qur’an.

Akar dari semua problem tersebut sejatinya adalah “crisis intelectual” dan kebebasan berpikir kritis. Nalar religius kaum muslimin hari ini tidak pernah bergerak jauh dari warisan intelektual produk peradaban Islam-Arab abad pertengahan, dalam situasinya yang tengah meredup setapak demi setapak untuk pada akhirnya hilang, seiring dengan konflik internal dan perang yang panjang dalam konteks eksternalnya.

Ia juga terjadi seiring dengan kegamangan masyarakat untuk melakukan Ijtihad atau eksplorasi dan aktifitas intelektual. Ya, ketika teks-teks agama tidak boleh dipertanyakan lagi. Ketika logika-filsafat dianggap sebagai “entri point” bagi berbagai kejahatan sosial. Manakala analisis ta’wil (hermeneutik) dianggap sebagai kesesatan, dan pada saat ilmu-ilmu pengetahuan produk asing dinyatakan sebagai terlarang dipelajari.

Umat Islam dalam zaman suram itu pada akhirnya hanya boleh mengulang-ulang dan mereproduksi karya-karya ulama sebelumnya. Warisan tersebut selanjutnya diterima sebagai doktrin keagamaan dengan seluruh makna harfiahnya. Pengulangan-pengulangan yang dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang panjang dan tanpa kritik, pada gilirannya melahirkan keyakinan banyak orang bahwa apa yang diwariskan tersebut adalah agama itu sendiri dengan seluruh makna sakralitasnya.

Mereka tidak lagi menyadari bahwa, warisan tersebut sejatinya adalah produk nalar kreatif para pendahulunya, yang berusaha merespon problem-problem sosialnya dalam ruang dan waktunya sendiri. Umat Islam sesudah itu juga tidak lagi tahu, bahwa sebenarnya karya-karya pendahulu tersebut lahir berkat pergumulan dan keterbukaannya dengan beragam peradaban dunia.

Warisan tersebut sejatinya adalah hasil pemikiran para cendekiawan muslim, dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah sosial mereka sendiri. Para sarjana Islam tersebut tidak pernah berpikir bahwa produk pemikirannya dimaksudkan untuk ruang dan waktu yang belum mengada atau di tempat dan waktu yang lain.

Faktanya, hari ini kita hidup dalam peradaban baru dan problem-problemnya yang juga baru. Upaya-upaya mengimplementasikan seluruh produk pemikiran masa lalu tersebut secara apa adanya (literal, tektual) pada tataran realitas peradaban saat ini dalam banyak kasus, menjadikannya terasing dan ter-alienasi-kan (istilah Karl Marx).

Sikap tidak mau berubah pada tradisi secara total dan menerima warisan secara apa adanya di hadapan konsteks sosial yang berubah, pada gilirannya bukan hanya akan melahirkan masyarakat yang tidak produktif dan semakin terbelakang atau tertinggal, malah bisa menciptakan depresi-depresi sosial yang semakin menumpuk.

Maka, tugas dan tanggung jawab keagamaan kita bersama hari ini dan esok adalah memikirkan, menafsirkan, dan merumuskan kembali pikiran-pikiran keagamaan tersebut secara kritis dan kontekstual sedemikian rupa, sehingga hasilnya dapat menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan hari ini. Rekonstruksi tersebut selanjutnya tidak hanya dibatasi pada penyelesaian kasus-kasus partikular, melainkan juga pada teori pengetahuan (nazhariyah al-ma’rifah) dan metodologinya (manhaj al-bahts).

Adakah yang salah jika kaum muslimin untuk kepentingan ini juga mengadopsi teori-teori dan metode-metode baru yang dihasilkan oleh berbagai peradaban dunia yang sudah maju dan menyejahterakan? Umat Islam seharusnya membuka diri terhadap segala kemajuan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang dihasilkan oleh siapapun, bangsa manapun dan beragama apapun. Bukankah ilmu pengetahuan yang berguna bagi manusia merupakan kekayaan Islam yang hilang yang perlu diambil kembali?

Syahdan, air demokrasi, tuntutan keadilan, dan penghormatan kepada martabat manusia (humanisme), akan terus mengalir ke depan dan tak dapat dibendung. Ini adalah keniscayaan sejarah. Lalu kita mau kemana?

18 Maret 2022
Oleh: Gus Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang