Makna Hikmah dan Keutamaannya

 
Makna Hikmah dan Keutamaannya
Sumber Gambar: foto ist

Laduni.ID, Jakarta - Allah SWT berfirman, “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269).

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim memberikan hadiah yang lebih utama kepada saudaranya dibanding kata-kata hikmah yang menambah petunjuk baginya atau menolak bencana.”

Beliau SAW bersabda, “Tidak ada iri kecuali pada dua hal; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia menguasainya dengan cara menghabiskannya dalam kebenaran, dan seseorang yang diberi hikmah oleh Allah lalu dia memutuskan sesuatu dengannya dan mengajarkannya.”

Imam Nawawi berkata, “Makna hadis di atas adalah tidak ada iri yang disukai kecuali dua sifat itu dan segala yang berada dalam makna keduanya. Dan hikmah adalah segala sesuatu yang mencegah dari kebodohan dan memperingatkan dari sesuatu yang tercela.” 

Dalam kesempatan yang lain beliau berkata, “Hikmah adalah ibarat tentang ilmu yang memiliki hukum-hukum yang mencakup pengenalan terhadap Allah SWT, disertai oleh pengaruh akal, perbaikan jiwa, pendalaman terhadap kebenaran dan mengamalkannya, serta menentang syahwat dan kebatilan. Sedangkan hakim adalah orang yang memiliki sifat-sifat di atas.” Abu Bakar bin Duraid   berkata, “Setiap kata yang menasihati dan menegurmu, atau mengajakmu kepada kemuliaan dan mencegahmu dari perbuatan tercela, maka ia adalah hikmah.

Di antaranya sabda Nabi SAW, ‘Sesungguhnya sebagian dari syair adalah hikmah.’  Dikutip dari Syarh Muslim.

Ibn Qutaibah berkata, “Hikmah adalah ilmu dan amal. Seseorang tidak dapat disebut hakim kecuali meliputi keduanya.” Di dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh para imam tentang hikmah yang disebutkan oleh al-Imam asy-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrn, dikatakan, “Dulu Abu al-Hasan alHarawiy  berkata, ‘Hikmah itu bangkit dari empat sifat, yaitu ; penyesalan atas dosa, persiapan mati, pengosongan perut, dan persahabatan dengan orang-orang zuhud di dunia.”

Sufyan ats-Tsauri pernah berkata, “Muhammad bin Yusuf  menyibukkan diri dengan ibadah, maka dia mewarisi hikmah. Sedangkan kita disibukkan dengan kitab-kitab ilmu, maka kita mewarisi perdebatan.”

Yahya bin Mu’adz berkata, “Hikmah turun dari langit dan tidak akan turun ke dalam hati yang memiliki empat sifat, yaitu ; cinta dunia, terbebani dengan keinginan esok hari, iri kepada seseorang, dan cinta kemulian di mata manusia. Barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat satu sifat dari semua ini, maka hikmah tidak akan masuk ke dalam hatinya.”

 Abu ‘Utsman al-Hirriy berkata, “Barangsiapa memakmurkan sunnah di dalam dirinya pada ucapan dan perbuatan, maka dia akan berbicara dengan hikmah. Barangsiapa memakmurkan syahwat pada dirinya, maka dia akan berbicara dengan bid’ah (kesesatan yang diciptakannya).”

Isa as. Bertanya kepada para sahabatnya, “Di manakah benih itu tumbuh?” Mereka menjawab, “Di tanah.” Maka beliau berkata, “Begitu pula hikmah, ia tidak akan tumbuh kecuali di dalam hati yang seperti tanah.” Yaitu rendah hati, dan merasa tidak memiliki apa-apa dalam puncak kehinaan dan kefakiran.

Cerita dan Hikayat

Rasulullah SAW bersabda, “Hikmah menambah kemuliaan pada syarif (orang yang bernasab mulia), dan mengangkat kedudukan hamba sahaya hingga mendudukannya di tempat duduk para raja.” 

Al-Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya, menyebutkan dari Salim bin Abu al-Ja’di , berkata, “Tuanku membeliku dengan harga tiga ratus dirham dan membebaskanku, lalu aku bertanya kepada diriku, ‘Apakah perkerjaan yang harus kulakukan?’ maka aku menyibukkan diri dengan ilmu. Kemudian tak sampai satu tahun, pemimpin kota hendak mengunjungiku, dan aku tak mengizinkannya.”

 Al-Imam Ali bin Hasan al-Attas dalam kitabnya al-Qirthas menyebutkan, “Sesungguhnya seorang syarif masuk ke rumah asy-Syaikh Yaqutan al-Habasyi  dengan baju yang usang dan mendapati beliau mengenakan baju yang bagus dan mahal. Lalu orang itu berkata, ‘Engkau wahai rubah buas, wahai pencabik dengan cakar (kiasan menunjukkan orang liar-penerj), seorang budak dengan keadaan seperti ini, sedangkan aku seorang syarif dengan keadaanku ini?’ akemudian Yaqut menjawab, ‘Mungkin karena kau menempuh jalan leluhurku, maka orang mengira kau dari golongan mereka dan menempatkanmu pada posisi mereka. Sedangkan aku, kutempuh jalan leluhurmu, maka orang mengira aku dari golongan mereka dan menempatkanku pada posisi mereka.’ Maka menangislah syarif itu dan mohon diri kepadanya.

Dalam kejadian yang lain, seorang syarif mengunjunginya dan menyaksikan manusia mengecup kaki beliau (asy-Syaikh Yaqutan al-Habasyi), dan tidak ada di antara mereka yang menggubrisnya. Kejadian itu berbekas pada hati syarif. Maka Yaqut berkata kepadanya, ‘Wahai tuanku, sesungguhnya betisku ini jika dipotong tidak sebanding dengan dirham di pasar. Tetapi ketika aku mengikuti jalan para leluhurmu yang saleh lagi suci, maka aku mendapat kemuliaan. Sedangkan kau, ketika kau berpaling dari akhlak para leluhurmu yang saleh dan kau mengikuti akhlak yang rendah, maka kau dihinakan.’ Maka syarîf itu berdiam dan tidak menjawab. Asy-Syaikh Yaqut yang tersebut di atas termasuk murid asy-syaikh Abu al-Abbas al-Marsiy yang utama. Syaikh beliau Abu al-Abbas menjulukinya dengan Yaqut al-‘Arsyiy, karena hati beliau selalu melihat ke ‘arsy. Tidak ada yang di bumi kecuali badan beliau. Asy-Syaikh Yaqut wafat di di kota Iskandariyyah pada tahun tujuh ratus tujuh.”


Sumber : Kitab al-Manhaj al-Sawy, hal. 325-329