Manhaj Penetapan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia

 
Manhaj Penetapan Fatwa Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - Persoalan-persoalan hukum yang muncul terkait ekonomi syariah itu terus bertambah seiring dengan perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah belakangan ini. Sementara itu, jumlah nas sangat terbatas bahkan sudah terhenti. Dalam situasi seperti itu, maka para ulama harus melakukan ijtihad dan memberikan fatwa mengenai hukum ekonomi syariah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Fatwa-fatwa DSN-MUI banyak yang mempergunakan solusi hukum Islam sebagai landasannya. Setidaknya ada empat solusi fikih yang dijadikan landasan dalam menetapkan fatwa DSN MUI, yaitu al-taysir al-manhaji, tafriq al-halal ‘an al-haram, i’adah alnazar, dan tahqiq al-manat.

Sistem ekonomi syariah melahirkan sub-sub sistem, seperti sistem keuangan syariah. Sistem keuangan syariah bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah sampai kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah adalah terbebas dari unsur-unsur riba, maysir, gharar, haram dan zalim. Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah belakangan ini mengalami kemajuan yang pesat, seperti: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah dengan instrumennya saham syariah, obligasi syariah (sukuk), dan reksa dana syariah, dan baitul mal wat-tamwil (BMT).

Demikian pula di sektor riil, seperti: hotel syariah, multilevel marketing syariah, rumah sakit syariah, dsb. Hal yang harus disikapi dengan cermat dan teliti agar perkembangan ini tidak berakhir dengan stagnan, tentunya pengembangan kualitas sumber daya insani yang merupakan salah satu indikator penting dalam pertumbuhan ekonomi syariah.

Bank syariah pertama didirikan tahun 1991 merupakan tindak lanjut dari hasil lokakarya MUI pada tahun sebelumnya. Satu tahun setelah berdirinya bank syariah pertama tersebut lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat aturan tentang telah dimungkinkannya kegiatan usaha perbankan dengan menggunakan prinsip syariah yang disebut dengan istilah bagi hasil.

Setelah bebarap tahun dan mengeluarkan beberapa UU mengenai perbankan syariah. Terakhir pada tahun 2008 terbit UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang memiliki nuansa mensyariahkan bank syariah, hal tersebut terlihat dari ketentuan tentang jenis dan kegiatan usaha, pelaksanaan prinsip syariah, komite perbankan syariah dan komisaris syariah, serta dewan pengawas syariah.

Pada tahun 2003, MUI merilis fatwa tentang keharaman bunga bank, karena dinilai sama dengan riba. Efek berantai setelah dikeluarkannya fatwa tersebut segera terasakan setelahnya. Hal ini bisa dilihat dari ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah ekonomi syariah, baik di Bank Indonesia melalui Direktorat Perbankan Syariah yang khusus menangani perbankan syariah, maupun di Departemen Keuangan melalui Direktorat Pembiayaan Syariah, Bapepam-LK, Biro Asuransi Syariah, Bursa Efek Indonesia (BEI), yang kesemuanya saat ini disatuatapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Fatwa tersebut juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin berkembangnya industri keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan melalui fakta statistik yang ada.

Manhaj Penetapan Fatwa DSN MUI

Menurut KH. Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (2015-2020), salah satu syarat untuk berijtihad atau menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi atau manhaj. Menetapkan fatwa tanpa manhaj, dilarang oleh agama. Kelompok yang menetapkan fatwa hanya didasarkan kepada kebutuhan (li al-hajah), atau kemaslahatan (li al-maslahah), atau pemahaman tentang intisari ajaran agama (maqasid al-syari’ah), tanpa berpegang kepada al-nusus al-syar’iyyah, termasuk kelompok yang kebablasan (ifrati). Sebaliknya kelompok yang rigid memegangi teks keagamaan (al-nusus al-syari’iyyah) tanpa memperhatikan kemaslahatan (al-maslahah) dan intisari ajaran agama (maqasid al-syari’ah), sehingga banyak permasalahan baru yang tidak dijawab, termasuk kategori bersikap gegabah (tafriti).

Manhaj Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) secara prosedural ialah terlebih dahulu mencari jawaban atas masalah yang dihadapi dengan mengeceknya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jika jawaban itu ternyata ada di sana, maka persoalan itu terjawab sudah dan selesai. Jika tidak ada, barulah mencari kalau-kalau sudah ada ijma’ ulama tentang hal itu. Kemudian jika tidak ada juga dalam ijma’, barulah mencari jawabannya dengan melakukan qiyas. Prosedur empat langkah ini telah disepakati para ulama. Jika terjadi kebuntuan pada langkah keempat (qiyas), maka KH. Ma’ruf Amin mengusulkan ditempuhnya langkah Solusi Hukum Islam (makharij fiqhiyah) sebagai landasannya. Setidaknya ada 4 (empat) solusi fikih yang dijadikan landasan dalam menetapkan fatwa DSN-MUI.

1. Al-taysir al-Manhaji

Al-taysir al-manhaji dapat diartikan memilih pendapat yang ringan namun tetap sesuai aturan. Meskipun mengambil pendapat yang lebih meringankan namun tetap dalam koridor manhaj yang ada. Artinya, fatwa DSN-MUI akan memberikan jalan keluar dengan memberikan solusi terbaik selama tidak bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Hal itu tidak dibenarkan karena menimbulkan sikap meremehkan.

Metode al-taysir al-manhaji dimaksudkan agar menghindarkan fatwa disahkan tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab dengan fatwa yang meringankan namun hanya mempertimbangkan aspek kemaslahatan saja dan tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologis. Dalam pandangan KH. Ma’ruf Amin, hal itu tidak boleh dilakukan karena berpotensi terperosok pada mencari-cari hal-hal yang ringan saja yang dilarang dalam syariah Islamiyah.

2. Tafriq al-Halal ‘an al-Haram

Metode berikutnya adalah terkait dengan pemisahan antara harta halal dan non-halal (at-tafriq bain al-halal ‘an al-haram). Pertimbangan penggunaan metode tafriq al-halal ‘an al-haram pada fatwa DSN-MUI adalah bahwa dalam konteks Indonesia kegiatan ekonomi syariah belum bisa dilepaskan sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Institusi ekonomi syariah masih berhubungan dengan institusi ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Pendirian bank syariah atau unit usaha syariah (UUS) oleh bank konvensional adalah contoh yang nyata terjadi. Metode ini merupakan jawaban atas komentar banyak pihak tentang berdirinya bank-bank syariah, terutama UUS yang dibentuk atau didirikan oleh bank-bank konvensional.

Di antara umat Islam, ada yang meragukan kehalalan produk unit usaha syariah karena modal pembentukan berasal dari bank konvensional yang termasuk perusahaan ribawi. Metode ini diaplikasikan dengan cara mengidentifikasi seluruh uang yang menjadi milik bank konvensional sehingga diketahui mana yang merupakan bunga dan mana yang merupakan modal atau pendapatan yang diperoleh dari jasa-jasa yang tidak didasarkan pada bunga. Pendapatan bank yang berasal dari bunga disisihkan terlebih dahulu, maka sisanya dapat atau boleh dijadikan modal pendirian bank syariah atau UUS karena diyakini halal.

3. I’adah al-Nazar

Metode berikutnya dalam upaya penerapan solusi fikih adalah i‘adah alnazar (telaah ulang). Telaah ulang terhadap pendapat ulama terdahulu bisa dilakukan dalam hal pendapat ulama terdahulu dianggap tidak cocok lagi untuk dipedomani karena faktor sulit diimplementasikan. Telaah ulang salah satu caranya dilakukan dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya ‘illat hukum yang baru dan/atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan; kemudian pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam menetapkan hukum.

Metode ini merupakan jalan tengah atau moderat di antara pemikiran pakar hukum ekonomi syariah yang terlalu longgar (mutasahhil) dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum ekonomi syariah, sehingga ekonomi Islam terjebak pada labeling. Sebaliknya dengan teori ini pengembangan ekonomi Islam tidak terlalu ketat dan terikat dalam kaidah-kaidah dan pemikiran fiqh klasik yang mungkin sulit diaplikasikan kembali pada era sekarang (mutasyaddid). Dasar metode ini adalah kaidah: “Hukum itu beredar pada ‘illat-nya, baik adanya hukum maupun tidak adanya”.

4. Tahqiq al-Manat

Metode berikutnya adalah Tahqiq al-manat (analisis penentuan alasan hukum/’illat), yakni analisis untuk mengetahui adanya alasan hukum (‘illah) lain dalam satu kasus, selain ‘illah yang diketahui sebelumnya, baik melalui nas, ijma’, ataupun istinbat. Dalam kaitan ini, KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa tidak diberikannya bagian zakat oleh Umar bin Khattab kepada kelompok Muallafatu Qulubuhum dan tidak dilaksanakaannya hukuman potong tangan atas pencuri pada masa paceklik atau kelaparan adalah contoh-contoh hasil penerapan tahqiq al-manat. KH. Ma’ruf Amin mengakui bahwa metode tahqiq al-manat telah banyak dikenal oleh para ulama terdahulu; karena itu, ajakannya adalah untuk merevitalisasikannya sehingga hukum Islam menjadi lebih dinamis. Contoh penerapannya adalah Fatwa DSN-MUI No. 77/DSNMUI/V/2010 tentang Murabahah Emas.

Semua hal yang disebutkan di atas dilakukan karena ada kaidah bahwa hukum asal dalam ekonomi syariah adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya. Sehingga membuka lebar pintu untuk melakukan terobosan dan inovasi-inovasi dalam perumusan hukum Islam terkait ekonomi syariah.(*)

***

Penulis: Muhammad Wildan Royandi
Editor: Muhammad Mihrob