Biografi Hasan bin Ali bin Abu Thalib
- by Latif
- 2.196 Views
- Jumat, 12 Agustus 2022

Daftar isi Biografi Hasan bin Ali bin Abu Thalib
1. Riwayat Hidup
1.1 Lahir
1.2 Wafat
2. Kisah-kisah
2.1 Menolak Menjadi Khalifah
3. Referensi
Hasan merupakan putra sulung sahabat Ali bin Abu Thalib dengan Fatimah. Beliau diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya, namun beliau lebih mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim, untuk itu beliau menyerahkan kursi ke khalifahan kepada sahabat Muawwiyah sampai beliau meninggal.
1. Riwayat Hidup
1.1 Lahir
Hasan bin Ali bin Abu Thalib lahir pada bulan Ramadhan tahun ketiga hijriyah menurut kebanyakan para ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar.
1.2 Wafat
Hasan bin Ali bin Abu Thalib wafat pada tahun 50 hijriyah.
2. Kisah-kisah
2.1 Menolak Menjadi Khalifah
Setelah ayah beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syekh Muhibbudin al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz ke-1 hal. 130 setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa hadis dalam masalah ini. Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dia berkata: Demi Allah Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata kepadanya Mu’awiyah dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang: “Wahai ‘Amr! Jika mereka saling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut! Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian.)” Maka keduanya mendatanginya, berbicara dengannya dan memohon padanya) kemudian di akhir hadis Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat kepadanya seraya berkata:
إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٦٤۷ رقم ٢۷٠٤)
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah: “Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas pendapat diatas, tetapi beliau tidak mau menerimanya. Dan kebenaran ada pada Al-Hasan”.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syekh Muhibbudin Al-Khatib mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidlah, bahkan dasar keimanan yang paling utama adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan keturunannya adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang bersumber dari mereka berarti hak yang tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah, maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka.
Tetapi kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua kemungkinan:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran. Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan yang memutihkan wajah kaum mukminin.
3. Referensi
Dikumpulkan dari berbagai sumber
Lokasi Terkait Beliau
Belum ada lokasi untuk sekarang
Memuat Komentar ...